POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA RI
DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB I
LATAR BELAKANG
Peraturan
Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan undangundang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Perluasandari
Undang-Undang mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum yang temuat pada Bab I Bentuk Dan Kedaulatan dalam Pasal 1 ayat
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum, yang menunjukkan segala aspek
kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum
nasional.
Sistem
hukum nasional sebagai hukum yang berlaku di Indonesia yang saling menunjang
satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu.[1]Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, sebagai salah satu referensi dari babagaimana suatu
peraturan perundang-undangan yaitu antara lain:
a.
materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak
memberikan suatu kepastian hukum;
b.
teknik penulisan rumusan banyak yang tidak
konsisten;
c.
terdapat materi baru yang perlu diatur
sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; dan
d.
penguraian materi sesuai dengan yang diatur
dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Dari beberapa defisi
terkait dengan politik terdapat “tujuan” sebagai bagian yang terintegral dalam
satuan tertentu dari politik itu sediri, sementara dalam pnegetahuan hukum
perundang-undangan sendiri merupakah hasil dari produk politik. Mengenai
politik itu sendiri dengan tujuannya maka kita mengenal dalam pengetahuan
umum yakni “partai” sebagai bentuk atau
cara mengakomudir dari pada kepentingan dari tujuan-tujuan partai politik itu sendiri
sehingga diperlukan makenisme dari tata cara penyampaian dari proses demokrasi
pada suatu negara. Paratai politik sendiri meruapakan “sarana” guna untuk
mencapai suatu tata cara berdemokrasi dalam suatu aturan main yang telah
ditentukan perudang-undangan dalam hal ini tidak dibahas mengenai bagaiman tata
cara perpolitikan itu dalam kontek “partai” namun akan membahas bagaimana
kedudukan politik itu sendiri dalam perundang-undangan, guna untuk mendapatkan
gambaran subtasi hukum dalam artian yuridis formalnya terutama tujuan politik
dalam kontek Perundang-undangan.
Sebagai
penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru
yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a.
penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya
ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Perundang-undangan lainnya;
c.
pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu
persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.
pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang
Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f.
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik
dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Secara umum Undang-Undang ini memuat
materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut; asas pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan
Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan;
partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan
lembaga negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang
pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi
serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang
pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1).
Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangandimaksudkan untuk semakin memperjelas dan
memberikan pedoman yang lebih jelas danpasti yang disertai dengan contoh bagi
penyusunan Peraturan Perundang-undangan,termasuk Peraturan Perundang-undangan
di daerah.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Bagaiamana kedudukan
politik dalam Undang-undang Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perudang-undangan
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana
yang dikatakan dalam pendahuluan diatas diamana “politik” diartikan sebagai
“tujuan”. Dalam hal mengenai tujuan-tujuan yang secara internal atau personal
memiliki tujuan dalam kehidupanya, yang secara individu sebagai bagian yang
sudah terberi dalam dari setiap orang, karena tujuan itu dalam temporal
imejinatif setiap orang, maka tujuan itu tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang dalam pengetahuan hukum “tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, undang-undang dan
kebiasaan” dan prisnsif berlaku secara umum dan masih bersifat astarak.
Dalam dogmatik hukum ada hukum ada yang bersif tertulis dan ada juga yang tidak
tertulis. Tidak tertulisnya hukum umumnya ditemukan dalam masyarkat adat yang
muncul dari rasa “trush” kepercayaan antara mereka lebih kuat dan unsur-unsur
kekeluargaan antar mereka.
Sementara
itu Hukum dalam artian undang-undang atau bersifat yuridis-formal tertuang
dalam bentuk tulisan-tulisan yang tersusun secara sistematis dengan mekanisme
tertentu yang dalam terminologi hukum kita kenal dengan mekanisme “pemilihan
umum” untuk mengakomudir dari tujuan-tujuan setiap orang itu untuk ikut
berpartisipasi untuk memenuhi kebutuhan menyaluskan ispirasinya dalam tata
pemerintahan yang dicita-citakan suatu bagsa. Norma-norma yang hidup
dimasyarakat sangat banyak jika dilihat dari perspektif sejarah dari
masing-masing daerah yang berbeda-beda, karena dari sejarah tersebut dapat
ditarik suatu nilai-nilai budaya dan kultur masayrakat itu dalam norma-norma
yang secara tidak langsung mempengaruhi tindakan dari anggota masayarakat
tersebut.
Hans Kelsen memiliki pengaruh
yang sangat kuat dengan teori jenjang norma hukum (Stufentbauheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum
itu berjenjang-jengan dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki. Dalam arti suatu norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (grundnorm).[2]
Teori Stufenbau dari Hans Kelsen ini memerikan
pengaruh di Indonesia khususnya
dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari sistem hirarki
perundang-undangan di Indonesia, yaitu ada peraturan perundang-undangan yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.
Bentuk hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ini dapat dilihat
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan jenis
dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:[3]
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, disebutkan bahwa dalam membentukperaturan perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan asas
pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik meliputi:[4]
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat
diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan
kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlakunya suatu undang-undang antara lain
adalah keberlakuan juridis,
keberlakuan sosiologis dan keberlakuan filosofis,[5] Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip oleh Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi dalam pembentukan
peraturan perundangan-undangan ada beberapa asas-asas hukum yang harus
diperhatikan antara lain: [6]
1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut.
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang tinggi pula (Lex superiori derogat
legi inferiori).
4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan
undang-undang yang bersifat umum (Lex
specialis derogat legi generalis).
5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang
lama (Lex posteriori derogat legi
priori).
6. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil
masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.
Tujuan
dalam artian politik sangatlah dekat dengan apa-apa yang dicita-citakan dari
seseorang untuk mendapatkan apa-apa yang dicita-citakan, akan tetapi karena kehidupan
bermasayarakat sangatlah bermacam typenya maka keberadaan suatu peraturan
perundang-undagan menjadi sangat multlak adanya, sebagai cara untuk mebangun
hubungan-hubungan dari tujuan-tujuan yang dimiliki oleh seseorang itu. dengan
kata lain pelembagaan tujuan dalam kontek “partai” menjadi hal yang tidakbisa
terelakkan bagi seseorang yang yang berkepentingan untuk menjembatani dari
tujuanya itu.
Sistem
hukum daralam artian yuridis formal dalam hal ini undang-undang nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, merupakan cara untuk
menentukan posisi dari sauatu peraturan dari sumber hukum, terutama mengenai
kedudukan atau hirarki perundang-undangan untuk mengawal tujuan dari
masing-masing orang yang sebagai kebutuhan dasar atau fundemntal right, jika nilai-nilai interior dari setiap individu. Politik
hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari
hukum yang dibentuk. Pengertian tersebut merupakan definisi yang diberikan
oleh Padmo
Wahjono.[7] Adapun
Teuku Mohammad
Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak para
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai
arah perkembangan hukum yang dibangun.[8]
Bermacam-macam
jenis kegiatan dalam suatu sistem politik dalam suatu negara yang tidak hanya
terkait dengan proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem dalam artian sistem
yang lebih besar seperti seperti politik antar negara tetapi juga politik dalam
artian tujuan dari daerah-daerah yang menjadi bagain dalam suatu negara untuk melaksanakan
tujuan-tujuan dari sistem itu dibuat. Penentuan dari hierarki dari peraturan
perundang-undangan dalam undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perudang-undangan dalam hal ini dapat dijadikan sebagai kerangka pengetahuan
ilmu hukum dalam arti penentuan kedudukan dari peraturan-peraturan yang menjadi
bagain dari suatu perudang-undangan yang secara tidak langsung dapat diketahui
melalui mekanisme pemilihan umum yang dilaksanankan. Tanpa mengabaikan
asas-asas pertauran dalam undag-undang nomor 12 tersebut yang terdapat dalam Pasal 5yang meliputi:[9]
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan
kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Kemudian
guna untuk tidak terjadinya tumpang tindih dalam proses perpolitikan mengenai
terkait dengan hirarki peraturan perundang-udangan dengan proses pembentukan
undang-undang oleh lembaga bertugas dalam pembuatanya terutama lembaga
eksekutif dan legislatif yang akan melakukan penataan dalam konteks
yuridis-formal dari ansir-ansir kepentingan dari “partai politik” atau
“Legeslatif dan Eksekutif” menjadi keharusan untuk masayarakat yang tidak ikut
serta dalam pengawasan khusunya terkait dengan fungsi peraturan tersebut
seperti yang terdapat dalam Pasal 6
(1)
Materi muatan Peraturan
Perundang-undanganharus
mencerminkan asas:
a.
pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2)
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja[10],
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berfungsi sebagai penyalur
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki pembangunan. Setiap masyarakat yang
teratur, yang dapat menemukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara
para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas. Sedangkan
politik adalah bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan
masyarakat tersebut. Mempunyai tujuan didahului oleh proses memilih tujuan di
antara berbagai tujuan yang mungkin. Oleh karena itu politik adalah juga
aktivitas memilih suatu tujuan tertentu. Berbicara mengenai tujuan yang hendak
dipilih, L. J. Van Apeldorn mengartikan
politik hukum sebagai politik perundang-undangan, yang maksudnya adalah bahwa
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan.
Pengertian politik hukum seperti ini lebih terbatas hanya pada hukum tertulis
saja. Arah politik hukum yang dicanangkan oleh
Pemerintah Indonesia terfokus pada pembanguan sistem hukum nasioanal yang
bersumber pada realita kemasayarakatan, jika politik peraturan
perundangan-undangan lebih mendominasi dari apa yang dibutuhkan masayarakat
maka Kepres juga perlu dikeluarkan oleh pmerintah guna untuk mencapai suatu
keseimbangan dari perubahan sistem sosial yang belum teratur.
Karena keterhubungan anatara politik dan hukum sangan dekat,
terutama terkait mengenai tujuan dari diadakanya pemilihan umum maka dalam
konteks yuridis terkait dengan agar terciptnya suatu keteraturan untuk memilih
keduduakan dan fungsi dengan mekanisme yang ada dalam suatu peraturan yang
dibuat oleh khusnya legeslatif dan eksekutif maka penegakan dari bagaimana
risalah sidang dari rangkain dari proses-proses untuk mendapatkan apa-apa yang
termuat dalam udang-undang nomor`12 Tahun 2011 dengan sendirinya harus diakomudir
untuk tidak terjadinya tumang tindih dari norma-norma hukum atau peraturan
perundang-undangan sebagai substansi hukum (legal substance),
dan struktur hukum legal structure yangterdapat didalam sutu lembaga uti
menjadi perilaku/cermin dari hukum atau kultur hukum legal culture seluruh komponen masyarakat
hukum. Ketiga elemen ini dikatakan sebagai sebagai susunan sistem hukum there
element of legal system oleh Lurence
M. Friedmen[11].
Heterogenitas dari beberapa
peraturan selain dari apa yang termuat dari pasal 7 yaitu dalam pasal 8 yang merupakan subbagian
dari legal struktur undang-undang nomor 12 tahun 2011 maka mahkamah konstitusi
diberikan kewenangan untuk melakukan uji
materil atau judicial review jika
terjadi pertentangan substansi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indinesia tahun 1945. Khususnya terkait dengan politik sebagaimana yang diatur
dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi nomor Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011. Selain dari itu jika terjadi
pertentangan substansi terhadap materi peraturan di bawah undang-undang maka
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan
dibawah undang-undang yang di duga bertentangan dengan Undang-undang
sebagaimana termuat dalam pasal 9 undang-undang ini.
Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan negara tertinggi yudikatif merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar
semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara kesatuan Repuplik
Indonesia di terapkan secara adil, tepat dan benar. Selain dari itu berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir ; semua sengketa
tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuantan hukum tetap, menguji atau menilai secara
materil peraturan perundang-undangan dibawahnya.
Kedua lembaga ini sebagai proses demokrasi untuk membangun
kulture tata hirarki peraturan perundang-undangan di mana indonesia sebagai
negara yang memilki nilai-nilai multikultural yang hidup dan berkembang di
masyarakat yang dapat dilihat beberapa
perbedaan, ciri khas dari masing-masing daerah seperti; aceh (NAD)-Qonun, Papua
dalam bentuk Perdasi-perdasus.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
K E
S I M P U L A N
Dari pembahasan materi diatas dapat di
simpulkan jika terdapat pertentangan antara nilai-nilai yuridis formal sebagaimana
yang diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan yang melingkupi kedudukan dan hirarki dari aturan
perundang-undangan dan peraturan lainya tidak pernah terlepas dari unsur-unsur
dan tujuan di buatnya suatu peraturan yang didasarkan pada tatanan masyarakat
yang sangat heterogen.
Kedudukan negara hukum yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 1 ayat 3
secara eksplisit dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum tanpa
mengabaikan tatanan hukum yang hidup di masyarakat melalui mekanisme-mekanisme yang diatur dalam
tatacara pengakomodiran dari substansi hukum dalam pembentukan hukum nasional.
S
A R A N
Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan asas-asas dalam
pembentukan perundang-undangan itu sendiri, selain itu juga harus memperhatikan
maksud dan tujuan dari peraturan yang akan di bentuk agar produk
perundang-undangan yang di bentuk tidak bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan Hak Asasi Manusia.
[1] Abdul Rashid
Moten,limu Politik Islam (Political Science: An Islamic Perspective), diterjemahkan
oleh Munir A. Mu'in dan Widyawati, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 2001), halaman.
20;
[2] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan keempat, Terjemahan
Raisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2009), halaman. 161.
[3] Indonesia,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN RI Tahun 2011 No. 82, TLN. No.
5234,
[4] Ibid,
[5] Soerjono
Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal
Kaidah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), halaman. 88-92.
[6] Ellydar
Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum
Perbandingan Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2010), halaman. 73-74.
[7]Padmo wahjono, Indonesia Negara berdasarkanatas Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
1986, halaman. 160.
[8] Sebagaimana dikutip dari
Imam syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit., halaman. 27
[9] Indonesia,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN RI Tahun 2011 No. 82, TLN. No.
5234
[10] Mochtar Kusumaatmadja,
Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina
Cipta , 1976), halaman 6.
[11]Darmono,. Pengengenyaminan
Perkara Pidana Seponering Dalam Penegakan Hukum, Solusi Publishing,
Jakarta; 2013., Halaman. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar