Kamis, 13 Februari 2014

POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA RI DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA RI
      DALAM  PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011              TENTANG   PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I
LATAR BELAKANG

Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undangundang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Perluasandari Undang-Undang mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang temuat pada Bab I Bentuk Dan Kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum, yang menunjukkan segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional sebagai hukum yang berlaku di Indonesia yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[1]Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, sebagai salah satu referensi dari babagaimana suatu peraturan perundang-undangan yaitu antara lain:
a.    materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.    teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c.    terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.    penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Dari beberapa defisi terkait dengan politik terdapat “tujuan” sebagai bagian yang terintegral dalam satuan tertentu dari politik itu sediri, sementara dalam pnegetahuan hukum perundang-undangan sendiri merupakah hasil dari produk politik. Mengenai politik itu sendiri dengan tujuannya maka kita mengenal dalam pengetahuan umum  yakni “partai” sebagai bentuk atau cara mengakomudir dari pada kepentingan dari tujuan-tujuan partai politik itu sendiri sehingga diperlukan makenisme dari tata cara penyampaian dari proses demokrasi pada suatu negara. Paratai politik sendiri meruapakan “sarana” guna untuk mencapai suatu tata cara berdemokrasi dalam suatu aturan main yang telah ditentukan perudang-undangan dalam hal ini tidak dibahas mengenai bagaiman tata cara perpolitikan itu dalam kontek “partai” namun akan membahas bagaimana kedudukan politik itu sendiri dalam perundang-undangan, guna untuk mendapatkan gambaran subtasi hukum dalam artian yuridis formalnya terutama tujuan politik dalam kontek Perundang-undangan.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a.    penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.    pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.    pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f.     penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.

Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut; asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangandimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas danpasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundang-undangan,termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah.












BAB II
 RUMUSAN MASALAH
Bagaiamana kedudukan politik dalam Undang-undang Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan













BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang dikatakan dalam pendahuluan diatas diamana “politik” diartikan sebagai “tujuan”. Dalam hal mengenai tujuan-tujuan yang secara internal atau personal memiliki tujuan dalam kehidupanya, yang secara individu sebagai bagian yang sudah terberi dalam dari setiap orang, karena tujuan itu dalam temporal imejinatif setiap orang, maka tujuan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang dalam pengetahuan hukum “tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, undang-undang dan kebiasaan” dan prisnsif berlaku secara umum dan masih bersifat astarak. Dalam dogmatik hukum ada hukum ada yang bersif tertulis dan ada juga yang tidak tertulis. Tidak tertulisnya hukum umumnya ditemukan dalam masyarkat adat yang muncul dari rasa “trush” kepercayaan antara mereka lebih kuat dan unsur-unsur kekeluargaan antar mereka.
Sementara itu Hukum dalam artian undang-undang atau bersifat yuridis-formal tertuang dalam bentuk tulisan-tulisan yang tersusun secara sistematis dengan mekanisme tertentu yang dalam terminologi hukum kita kenal dengan mekanisme “pemilihan umum” untuk mengakomudir dari tujuan-tujuan setiap orang itu untuk ikut berpartisipasi untuk memenuhi kebutuhan menyaluskan ispirasinya dalam tata pemerintahan yang dicita-citakan suatu bagsa. Norma-norma yang hidup dimasyarakat sangat banyak jika dilihat dari perspektif sejarah dari masing-masing daerah yang berbeda-beda, karena dari sejarah tersebut dapat ditarik suatu nilai-nilai budaya dan kultur masayrakat itu dalam norma-norma yang secara tidak langsung mempengaruhi tindakan dari anggota masayarakat tersebut.
Hans Kelsen memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan teori jenjang norma hukum (Stufentbauheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jengan dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki.  Dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (grundnorm).[2] Teori Stufenbau dari Hans Kelsen ini memerikan pengaruh di Indonesia khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari sistem hirarki perundang-undangan di Indonesia, yaitu ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Bentuk hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ini dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan jenis  dan  hierarki  peraturan  perundang-undangan terdiri atas:[3]
1.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
4.     Peraturan Pemerintah;
5.     Peraturan Presiden;
6.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.     Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

          Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa dalam  membentukperaturan perundang-undangan harus dilakukan  berdasarkan  asas  pembentukan peraturan  perundang-undangan  yang  baik meliputi:[4]
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.  Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.

Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlakunya suatu undang-undang  antara lain adalah keberlakuan juridis, keberlakuan sosiologis dan keberlakuan filosofis,[5] Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan ada beberapa asas-asas hukum yang harus diperhatikan antara lain: [6]
1.    Undang-Undang tidak dapat berlaku surut.
2.    Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
3.    Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori).
4.    Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis).
5.    Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori).
6.    Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.

Tujuan dalam artian politik sangatlah dekat dengan apa-apa yang dicita-citakan dari seseorang untuk mendapatkan apa-apa yang dicita-citakan, akan tetapi karena kehidupan bermasayarakat sangatlah bermacam typenya maka keberadaan suatu peraturan perundang-undagan menjadi sangat multlak adanya, sebagai cara untuk mebangun hubungan-hubungan dari tujuan-tujuan yang dimiliki oleh seseorang itu. dengan kata lain pelembagaan tujuan dalam kontek “partai” menjadi hal yang tidakbisa terelakkan bagi seseorang yang yang berkepentingan untuk menjembatani dari tujuanya itu.
Sistem hukum daralam artian yuridis formal dalam hal ini undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, merupakan cara untuk menentukan posisi dari sauatu peraturan dari sumber hukum, terutama mengenai kedudukan atau hirarki perundang-undangan untuk mengawal tujuan dari masing-masing orang yang sebagai kebutuhan dasar atau fundemntal right, jika nilai-nilai interior dari setiap individu. Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk. Pengertian tersebut merupakan definisi yang di­berikan oleh Padmo Wahjono.[7] Adapun Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak para penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[8]
Bermacam-macam jenis kegiatan dalam suatu sistem politik dalam suatu negara yang tidak hanya terkait dengan proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem dalam artian sistem yang lebih besar seperti seperti politik antar negara tetapi juga politik dalam artian tujuan dari daerah-daerah yang menjadi bagain dalam suatu negara untuk melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu dibuat. Penentuan dari hierarki dari peraturan perundang-undangan dalam undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan dalam hal ini dapat dijadikan sebagai kerangka pengetahuan ilmu hukum dalam arti penentuan kedudukan dari peraturan-peraturan yang menjadi bagain dari suatu perudang-undangan yang secara tidak langsung dapat diketahui melalui mekanisme pemilihan umum yang dilaksanankan. Tanpa mengabaikan asas-asas pertauran dalam undag-undang nomor 12 tersebut yang terdapat dalam Pasal 5yang meliputi:[9]
a.     kejelasan tujuan;
b.     kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.      kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.     dapat dilaksanakan;
e.     kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.      kejelasan rumusan; dan
g.     keterbukaan.

Kemudian guna untuk tidak terjadinya tumpang tindih dalam proses perpolitikan mengenai terkait dengan hirarki peraturan perundang-udangan dengan proses pembentukan undang-undang oleh lembaga bertugas dalam pembuatanya terutama lembaga eksekutif dan legislatif yang akan melakukan penataan dalam konteks yuridis-formal dari ansir-ansir kepentingan dari “partai politik” atau “Legeslatif dan Eksekutif” menjadi keharusan untuk masayarakat yang tidak ikut serta dalam pengawasan khusunya terkait dengan fungsi peraturan tersebut seperti yang terdapat dalam Pasal 6
(1)   Materi muatan Peraturan Perundang-undanganharus mencerminkan asas:
a.      pengayoman;
b.     kemanusiaan;
c.      kebangsaan;
d.     kekeluargaan;
e.      kenusantaraan;
f.       bhinneka tunggal ika;
g.     keadilan;
h.     kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.       ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.       keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2)   Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja[10], hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berfungsi sebagai penyalur kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki pembangunan. Setiap masyarakat yang teratur, yang dapat menemukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas. Sedangkan politik adalah bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut. Mempunyai tujuan didahului oleh proses memilih tujuan di antara berbagai tujuan yang mungkin. Oleh karena itu politik adalah juga aktivitas memilih suatu tujuan tertentu. Berbicara mengenai tujuan yang hendak dipilih, L. J. Van Apeldorn mengartikan politik hukum sebagai politik perundang-undangan, yang maksudnya adalah bahwa Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian politik hukum seperti ini lebih terbatas hanya pada hukum tertulis saja. Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia terfokus pada pembanguan sistem hukum nasioanal yang bersumber pada realita kemasayarakatan, jika politik peraturan perundangan-undangan lebih mendominasi dari apa yang dibutuhkan masayarakat maka Kepres juga perlu dikeluarkan oleh pmerintah guna untuk mencapai suatu keseimbangan dari perubahan sistem sosial yang belum teratur.
Karena keterhubungan anatara politik dan hukum sangan dekat, terutama terkait mengenai tujuan dari diadakanya pemilihan umum maka dalam konteks yuridis terkait dengan agar terciptnya suatu keteraturan untuk memilih keduduakan dan fungsi dengan mekanisme yang ada dalam suatu peraturan yang dibuat oleh khusnya legeslatif dan eksekutif maka penegakan dari bagaimana risalah sidang dari rangkain dari proses-proses untuk mendapatkan apa-apa yang termuat dalam udang-undang nomor`12  Tahun 2011 dengan sendirinya harus diakomudir untuk tidak terjadinya tumang tindih dari norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum (legal substance),  dan struktur hukum legal structure yangterdapat didalam sutu lembaga uti menjadi perilaku/cermin dari hukum atau kultur hukum legal  culture seluruh komponen masyarakat hukum. Ketiga elemen ini dikatakan sebagai sebagai susunan sistem hukum there element of legal system oleh Lurence M. Friedmen[11].
Heterogenitas dari beberapa peraturan selain dari apa yang termuat dari pasal 7  yaitu dalam pasal 8 yang merupakan subbagian dari legal struktur undang-undang nomor 12 tahun 2011 maka mahkamah konstitusi diberikan  kewenangan untuk melakukan uji materil atau judicial review  jika terjadi pertentangan substansi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia tahun 1945. Khususnya terkait dengan politik sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi nomor Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011. Selain dari itu jika terjadi pertentangan substansi terhadap materi peraturan di bawah undang-undang maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap   peraturan dibawah undang-undang yang di duga bertentangan dengan Undang-undang sebagaimana termuat dalam pasal 9 undang-undang ini.
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi yudikatif merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan  kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara kesatuan Repuplik Indonesia di terapkan secara adil, tepat dan benar. Selain dari itu berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir ; semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuantan hukum tetap, menguji atau menilai secara materil peraturan perundang-undangan dibawahnya.
Kedua lembaga ini  sebagai proses demokrasi untuk membangun kulture tata hirarki peraturan perundang-undangan di mana indonesia sebagai negara yang memilki nilai-nilai multikultural yang hidup dan berkembang di masyarakat yang dapat dilihat  beberapa perbedaan, ciri khas dari masing-masing daerah seperti; aceh (NAD)-Qonun, Papua dalam bentuk Perdasi-perdasus.
           
         

 


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

K E S I M P U L A N
Dari pembahasan materi diatas dapat di simpulkan jika terdapat pertentangan antara nilai-nilai yuridis formal sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang melingkupi kedudukan dan hirarki dari aturan perundang-undangan dan peraturan lainya tidak pernah terlepas dari unsur-unsur dan tujuan di buatnya suatu peraturan yang didasarkan pada tatanan masyarakat yang sangat heterogen.
Kedudukan negara hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 1 ayat 3 secara eksplisit dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum tanpa mengabaikan tatanan hukum yang hidup di masyarakat melalui  mekanisme-mekanisme yang diatur dalam tatacara pengakomodiran dari substansi hukum dalam pembentukan hukum nasional.

S A R A N
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan asas-asas dalam pembentukan perundang-undangan itu sendiri, selain itu juga harus memperhatikan maksud dan tujuan dari peraturan yang akan di bentuk agar produk perundang-undangan yang di bentuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan Hak Asasi Manusia.




[1] Abdul Rashid Moten,limu Politik Islam (Political Science: An Islamic Perspective), diterjemahkan oleh Munir A. Mu'in dan Widyawati, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 2001), halaman. 20;
[2]  Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan keempat, Terjemahan Raisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2009), halaman. 161.
[3] Indonesia, Undang-Undang No. 12  Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN RI Tahun 2011 No. 82, TLN. No. 5234,   
[4] Ibid, 
[5] Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), halaman. 88-92.
[6] Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2010), halaman. 73-74.
[7]Padmo wahjono, Indonesia Negara berdasarkanatas  Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, halaman. 160.
[8] Sebagaimana dikutip dari Imam syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit., halaman. 27
[9] Indonesia, Undang-Undang No. 12  Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN RI Tahun 2011 No. 82, TLN. No. 5234
[10] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta , 1976), halaman 6.
[11]Darmono,. Pengengenyaminan Perkara Pidana Seponering Dalam Penegakan Hukum, Solusi Publishing, Jakarta; 2013., Halaman. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar