Kamis, 13 Februari 2014

RELEVANSI PENERAPAN TEORI EFEKTIVITAS HUKUM (THERE ELEMENT OF LEGAL SYSTEM) DALAM MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM KEHUTANAN BERKORELASI DENGAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)



RELEVANSI PENERAPAN TEORI EFEKTIVITAS HUKUM (THERE ELEMENT OF LEGAL SYSTEM) DALAM MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM KEHUTANAN BERKORELASI DENGAN KORUPSI  DAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Nama               :  ASTAN WIRYA
NIM                 :  I1B 013 009
Magister  Ilmu Hukum Univ. Mataram


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu bagian dari  lingkungan hidupyang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan  salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi umat manusia. Hal ini di dasarkan pada banyaknya manfaat yang dapat diambil dari hutan, sebagai sumber kehidupan, sebagai penyangga paru-paru dunia di samping mempuyai manfaat juga memiliki fungsi ekologis, ekonomi dan sosial yang sangat penting bagi kehidupan dan ummat manusia. Sehingga perlindungan dalam artian yurdis formal tidak bisa dihindari dikarenakan fungsi hutan yang sangat potensial untuk keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainya.
Fungsi ekologis hutan  adalah sebagai suatu sistem penyangga kehidupan, yaitu  pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklm mikro, sebagai penghasil udara yang bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai pengawetan  keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Fungsi ekonomis hutan juga yaitu; hutan sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur maupun yang tidak terukur. Sedangkan fungsi sosial adalah hutan sebagai sumber  kehidupan  dan lapangan kerja[1].
Permasalahanpenting yang dihadapi bangsa Indonesiasaat ini adalah kelestarian lingkungan hidup,terutama terkait dengan tingginya laju kerusakan hutan deforestation dan menurunya fungsi, sumber daya alam dan lingkungan degradation. Indonesiayang memiliki hutan tropis terbesar dunia kinisecara cepat mulai kehilangan hutan yang juga menjadi paru-paru dunia. Dampak hilangnya hutan tropis tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapijuga seluruh penduduk di muka bumi.
Kerusakan hutan deforestation selama ini di Indonesia disebabkan karena faktor langsung maupun tidak langsung. Pertama, tingginya kebutuhan oleh industri yang membutuhkan kayu sebagai bahan baku seperti pulp&paper dan untuk memenuhi kebutuhan kayu di pasar global tingginya kebutuhan kayu tersebut menimbulkan  praktek illegal logging. Deforestasi juga disebabkan oleh alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan, alih fungsi berbagai areal pemukiman dan transmigrasi. Deforestasi juga disebabkan oleh pembakaran hutan, baik karena faktor  alam atau karena kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membuka lahan. Deforestasi juga dipercepat oleh faktor-faktor tidak langsung seperti karena lemahnya regulasi di sektor kehutanan, desentralisasi atau otonomi daerah. Faktor tidak langsung meningkatnya deforestasi lainnya adalah praktek korupsi corruptiondi Indonesia. Karena korupsi, maka pengawasan terhadap hutan tidak efektif sehingga praktek illegal logging marak dilakukan yang pada akhirnya mempercepat deforestasi.
Alasan pemanfaatan khusnya pemegang kekuasan atas pengelolaan dari peralihan fungsi hutan kadang menjadi suatu alsan potensi korupsi dalam menepatakan kepentingan-kepentingan yang tidak bisa terabaikan dari kebutuhan yang sifatnya umum menjadi direduksi menjadi penguasaan oleh beberapa orang yang didapatkan dari menfaatkan dari fungsi hutan itu pula. Alih fungsi lahandari hutan menjadi perkebunan berjalan tidak terkendali. Berjuta-juta hektar[2] hutan dikonversi menjadi perkebunan dan berbagai keperluan lain. Sehingga tindakan korupsi memiliki kedekatan dalam artian sumber pendapatan yang melimpah dari sumber alam. Cara-cara yang tidak proporsional dalam pemanfaatan dan peralihan fungsi hutan bahkan samapai pada penggunaan kawasan hutan melalui cara pengabain terhdap yuridis-formalnya berpotensi terjadi, jika dilihat dari fungsi yang didaptkan dari alam sebgai sumber pendapatan yang sangat menguntungkan.
Dari pendapatan yang sangat mengiurkan dengan mekanisme yang mengatur kepentingan penguasaan oleh orang-orang yang menjadikan hutan sebagai objek yang dapat diekploitasi melalui insentif yang diterapkan oleh individu-individu yang berkepentingan terhdap keuntungan dari sumber daya alam, maka dimungkinkan adanya cara-cara tertentu untuk ngaburkan hasil “korupsi dan atau illegal logging” tidak terlihat dalam bentuk yang bervariatif salah satunya adalah melalui pencucian uang (money laundering) terhadap hasil yang diapatkan agar terkesan bahwa hasil yang didaptkan itu bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Masalah tingginya deforestasi juga disebabkan oleh penegakan hukum yang tidak efektif. Penegakan hukum (law enforcement)  terhadap kejahatan kehutanan tidak mampu menimbulkan efek jera karena yang dihukum adalah para pelaku di lapangan, bukan aktor utama perusakan hutan. Melihat dampak kerusakan hutan, kerugian negara dan dampaknya bagi kehidupan maka kejahatan kehutanan dapat dikatakan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa very extra ordinary crime [3], dari dampak kejahatan  tersebut pula maka diperlukan cara-cara luar biasa extra ordinary crime untuk memberantas kejahatan kehutanan.
Dari latar belakang tersebut penulis ingin mengkaji permasalahan penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan forest law enforcement dan pendekatan penegakan hukum kejahatan kehutanan berbasis korupsi di indonesia melalui pencucian uang money laudering.

BAB II
RUMUSAN PERMASALAHAN

1.    Bagaimanakah relevansi penerapan teori efektivitas hukum (there element of legal system) dalam mewujudkan penegakan hukum kehutanan?
2.    Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan illegal logging  yang berkorelasi dengan korupsi ?
3.    Apakah pencucian Uang  money laundering  dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengkaburan dari hasil tindak kejahatan kehutanan yang didapatkan ?














BAB III
PEMBAHASAN
Hutan sebagai kebutuhan bersama yang harus dijaga dan dilestariakan untuk keberlangsungan manfaat yang didapatkan manusia dan mahluk lainya guna untuk keberlangsungan dari relasi antara manusia dengan alam manusia dengan individu lainya dan mahluk lainya. Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos dalam bahasa belanda dan forest  dalam bahasa inggris artinya rimba atau wana. Dalam black’s  lawdictionary; forest adalah  a tract of land, not necessarly wonded, reserved to the king or a grantee, for hunting deer and other game” artinya suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang di pesan oleh raja atau suatu penerima beasiswa, untuk berburu rusa dan permintaan lain[4].
Sedangkan hutan menurut Dangler[5]  adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical). 1. Sedangkan Hutan menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa Hutan adalah  “Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Dari pengertian tersebut ada terdapat 4 (empat) unsur dari pasal tersebut adalah;
1.    Unsur lapangan yang cukup luas
2.    Unsur pohon, flora dan fauna
3.    Unsur lingkungan
4.    Unsur penetapan pemerintah

Kemudian dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan, yang dimaksud denganKehutanan adalah “sistem pengurusan yang bersangkutpaut dengan hutan, kawasanhutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.Menurut Immanuel Kant hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan orang yang lain, menurutu peraturan hukum tentang kemerdekaan. Sedang menurut pendapat Utrecht yang memberi batasan hukum, yaitu [6]: “hukum adalah  himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus di taati oleh masyarakat itu”.
Dengan kata lain hukum selain sebagai fungsi mengatur ketertiban untuk kemasyarakatan ia juga berfungsi untuk melakukan pengawalan terhdap nilai-nilai dari kemanusian dengan alam itu sendiri agar tercapai kesejajaran atau keseimbangan terhadap manusia dan mahluklainya dengan alam lingkunganya. Jadi, hukum kehutanan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang kehutanan dengan memberikan fungsi manusia sebagai mahluk yang dapat mengatur fungsi dari apa-apa yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga terdapat korelasi antara masayarakat dengan hutan sebagi fungsi pemanfaatannya antara lain :
1.      Hutan Berdasarkan Status dan Fungsi
Berdasarkan statusnya hutan didasarkan pada sataus kedudukannya antara orang, berdasarkan hukum dan institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan, maka hutan di bagi menjadi dua yaitu ;
a.       Hutan negara
b.      Hutan hak
Dimana dapatdijelaskan bahwa yang dimaksud hutan negara adalah hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah, dengan kata lain tidak terdapat hak seorang atau penguasaan hak lainya seperti HGU atau lainya. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada hak atas tanah. Bahwa  yang dimaksud hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lainnya menurut undang-undang.
Menurut fungsi Hutan dapat digolongkan berdasarkan pada kegunaanya yaitu; berdasarkan pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di bagai sebagai berikut ;
1.      Hutan konservasi
2.      Hutan lindung
3.      Hutan produksi
Dari penegelompokan hutan berdasarkan fungsi dan penggunaanya tersebut  bahwa hutan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi fokok pengawetan keanekaragaman dan tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi ini juga terbagi menjadi ; (1) kawasan hutan suaka alam (2). Kawasan hutan pelestarian alam (3). Taman buru.  Sedangkan hutan lindung adalah kaw asan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistim penyagga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,  mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Kemudian hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Disamping pembagiaan kawasan hutan bedasarkan penggunaanya terdapat juga pembagian hutan berdasarkan tujuan khusus (KHDTK) yaitu; hutan di peruntukkan untuk kepentingan umum seperti; penelitian dan pengembagan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya serta berdasarkan kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air di setiap kota.
2.      Aspek  Hukum Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan menurut pasal 47 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 ditentukan bahwa perlindungan hutan merupakan usaha untuk; mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit, kemudian perlindngan hutan juga di tujukan untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Jadi tujuan perlindungan hutan adalah agar fungsi hutan yang  meliputi fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi dapat tercapai. Dari tujuan tersebut dapat digolongkan kerusakan hutan yang perlu di cegah untuk menjaga kelestarian lingkungan dan hutan adalah sebagai berikut ;
1.      Kerusakan hutan akibat pengerjaan/pendudukan hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggung jawab
2.      Kerusakan hutan akibat pengabilan batu, tanah dan bahan galianlainnya serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/tegalan.
3.      Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa ijin
4.      Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan kebakaran
5.      Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, ganguan hama dan penyakit serta daya alam[7]
Perlindungan hutan akan efektif  apabila semua pihak dalam upaya perlindungan hutan mempunyai tanggung jawab dalam upaya perlindungan hutan berdasarkan porsi masing-masing oleh karena itu seluruh komponen masyarakat diikutsertakan dalam usaha perlindungan hutan (pasal 48 UU No. 41 tahun 1999).
3.      Kejahatan Kehutanan dan Praktek Illegal Logging
Bahwa didalam peraturan perundang-undangan terdapat  larangan bagi siapa saja atau badan hukum (korporasi) dan pemerintah sebagi penyelenggara yang melakukan pembiaran (omission) terhadap terjadinya pelanggaran kejahatan kehutanan yang melakukan perbuatanyang dapat menimbulkan kerusakan hutan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang  Pencegahan Pemberantasan Kerusakan Hutan[8]   diatur juga tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum atau tindak kejahatan kehutanan, pelanggaran mana dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan kehutanan. 
Illegal logging menjadi permasalahan yang sulit untuk diberantas dan masih terjadi hampir diseluruh dunia. Terjadi di kawasan asia pasifik dan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia menjadi salah satu sasaran illegal logging  yang merupakan suatu kejahatan yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala nasional dan internasional. Praktek-praktek illegal logging merupakan permasalahan yang berdampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Data dari Kementerian Kehutanan (enforcement economic program concervation international indonesia EEPCI) bahawa kerusaka hutan di indonesia elah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara kehilangan Rp. 83 miliar per hari akibat illegal logging. Kerugian tersebut belum termasuk punahnya species langka, terganggunya habitat satwa, bencana banjir dan erosi.
A.    Teori Efektivitas Hukum
Dalam mewujudkan penegakan hukum kehutanan forestlaw enforcement tidak saja di perlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum (legal substance),  tetapi diperlukan juga lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum legal structure dan dengan didukung oleh perilaku hukum atau kultur hukum legal  culture seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga elemen ini dikatakan sebagai sebagai susunan sistem hukum there element of legal systemoleh Lurence M. Friedmen[9]. Hukum itu merupakan gabungan antara komponen:[10]
1.        Struktur
       Kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2.        Substansi
       Sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
3.        Kultur
Terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

Dari ketiga komponen sistem hukum yang dikemukakan oleh Lurence M. Friedmen harus dimanfaatkan dan digunakan fungsinya masing-masing, agar penegakan hukum kehutanan forestlaw enforcement dapat berjalan dengan baik. Ketiga komponen tersebut saling terkait dan pelaksanaan masing-masing komponen harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Teori ini relevan digunakan dengan keadaan negara Indonesia dimana ketiga elemen tersebut memiliki fungsi dan corak khas dalam masyarakat Indonesia, terlebih khusuanya dalam hal penegakan hukum kehutanan  forestlaw enforcement.
Sedangkan Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto.[11] dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo[12] membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang yang teraplikasi melalui lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum teraplikasi melalui polisi, jaksa dan hakim. Dan Ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.

B.     Penegakan Hukum Tindak Kejahatan Kehutanan
Mengingat hutan mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dan penting bagi kehidupan, maka terhadap setiap setiap perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan, termasuk di dalamnya adalah tindak pidana kehutanan, harus dilakukan penegakan hukum secara tegas dan konsisten oleh negara. Penegakan hukum sepenuhnya menjadi kewenangan negara yang sepenuhnya dilakukan oleh institusi penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice syistem). Proses peradilan pidana dimulai dari, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan di pengadilan sampai dengan pelaksanaan putusan eksekusi berdasarkan konpetensi dari kewenangan masing-masing.
1.      Penyidikan Tehadap Kejahatan Kehutanan
Proses penegakan hukum pidana termasuk kejahatan kehutanan melalui system yang terdiri dari tahapan proses  Penyidikan, penuntutan, pemidanaan dan tahapan pelaksanaan/eksekusi. Penyidikan merupakan tahap yang menentukan dalam proses penegakan hukum, oleh karena dalam tahap penyidikan seseorang dapat ditentukan sebagai tersangka pelaku tindak pidana yang dapat di kenakan sanksi atau tidak. Mengenai penyidik menurut Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah pejabat Polisi negara republik indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.
Ketentuan lain juga mengenai kewenangan penyidikan terhadap kejahatan kehutanan diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa dijelaskan kewenangan Penyidikan yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan, yang ditetapkan dalam Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Penetapan Undang-undang No.19 tahun 2004 tentang Kehutanan. Hukum pidana formil  yang digunakan dalam menjalankan penegakan hukum di bidang kehutanan adalah Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana yang sering di sebut (KUHAP). Dalam KUHAP dijelaskan bahwa “Penyidikan adalah  serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang  untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-bukti itu membuat terang tentang  tindak pidana yang terjadi  dan guna menemukan tersangkanya. [13]


2.      Penyidikan Tehadap Kejahatan oleh Polri dan PPNS
Dalam  penyidikan selanjutnya yang bertindak sebagai Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) atau Polisi Kehutanan/Pejabat  Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan yang di berikan wewenang khusus oleh undang-undang  untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Pejabat Penyidik di lingkugan Polri  diangkat oleh Kapolri, sedangkan Pejabat Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas usulan dari menteri yang membawahi pegawai negeri tersebut. Tentunya tanpa menghilangkan kompetensi dari masing-masing tindak kejahatan extra ordenrty crime yang dilakukan oleh individu-individu maupun kolektif (coorporation) untuk melakukan tindakan kejahatan yang melingkupi kejahatan-kejahatan lainya seperti korupsi maupun pencucian uang (money loundering).
Bahwa dalam prakteknya  proses penegakan hukum pidana, pada tahap penyidikan ini sering timbul masalah  karena keberadaan berbagai instansi penyidik yang masing-masing  mempunyai kewenangan melakukan penyidikan  dengan tugasnya yang di dasarkan pada perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Berdasarkan kewenagan  penyidikan ada beberapa institusi penyidik menurut perundang-undangan yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhaaadap kejahatan kehutanan yaitu; Penyidik Polri, Penyidik PPNS, Penyidik Kejaksaan, dan Penyidik Perwira Angkatan Laut. Pengangkatan Penyidik Perwira AL dilakukan pengangkatan oleh Panglima ABRI, sedangkan Penyidik Kejaksaan dilakukan pengangkatan oleh Jaksa Agung yang memiliki kewenangan terkait dengan dugaan adanya unsur korupsi atau  pencucian uang dari kejahatan kehutanan.  Dalam hal Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Perwira Angkatan Laut sesuai dengan Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983 bahwa lingkup kewenangan penyidikan meliputi wilayah perairan indonesia, zona tambahan, landasan kontinental dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) indonesia terhadap para pelanggar kejahatan kehutanan yang diakukan lewat laut.


C.    Praktek Korupsi Dan Pencucian Uang (Mony Laondring) Kejahatan Kehutanan

1. Korupsi di Sektor Kehutanan
Multidimensi dari permasalahan tata kelola kehutanan dan penegakan hukum tidak muncul dari ruang kosong tapi adanya kepentingan-kepentingan yang dapat dikaburkan dari permasalahan lainya seperti korupsi dari hasil yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh para pelaku korupsi atau lembaga-lembaga terkait dengan stuktur (lembaga yang memangku kepentingan) yang dapat mempasilitasi kepentingan urusan kehutanan dari pengelolaan, pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Keuntungan yang menjanjikan dari sumber yang ada dapat berpotensi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan melibatkan berbagai pihak yang dapat mepasilitasi kemudahan untuk mendapatkan keuntugan sperti izin untuk melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya hutan. Dengan kata lain semakin tinggi sumber pendapatan (sumber daya alam) yang akan dihasilkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhdap amanya suatu tindakan korupsi semakin kabur pula tindakan kejahatan.
Salah satu persoalan yang mendasar dalam mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan adalah dengan menyelesaikan persoalan korupsi. Tingginya praktek korupsi di Indonesia menjadikan deforestasi berjalan dengan cepat dan jutaan hektar hutan ditebang habis, terutama secara illegal, untuk berbagai keperluan. Karena korupsi, tidak banyak pelaku yang berhasil diproses secara hukum atau mendapatkan sanksi. Kalau pun ada yang diposes secara hukum, itu hanya para pelaku di lapangan, bukan pelaku utama. Sulit untuk memisahkan antara korupsi dengan kejahatan kehutanan. Korupsi seringkali menjadi prasyarat terjadinya kejahatan kehutanan. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan mencermati korelasi antara korupsi dengan melemahnya fungsi negara dalam tata kelola kehutanan maupun penegakan hukum.
Dalam  penjelasan Milledge Gelvasdan Ahrends (2007)[14] dalam Soreide (2007) yang menyatakan bahwa setidaknya ada 8 (delapan) sendi korupsi dalam konteks pengelolaan hutan yang mengakibatkan hancurnya tata kelola kehutanan. Mulai dari pembalakan liar yang didukung oleh aparat dan penegak hukum dan pejabat kehutanan sendiri hingga ke soal bagaimana regulasi dalam tatakelola kehutanan dibentuk secara koruptif hingga  mendukung perusakan hutan. Ketika hal ini terjadi, hancurnya tata kelola pengurusan kehutanan dan penegakan hukum selama beberapa dekade terakhir khususnya yang terkait infestasi korupsi di dalamnya akan termanifestasi dalam banyak hal, termasuk inefisiensi usaha, diskriminasi dan hambatan terhadap kompetisi, kronisme dan patrimonialisme, diskresi kekuasaan sekaligus kelemahan dan ketidak pastian hukum dalam pengurusan hutan dan kehutanan.
2. Tipologi Korupsi Kehutanan
Penelitian Bank Dunia (1999)[15] membuat tipologi korupsi kehutanan menjadi dua, yakni grandcorruption atau korupsi besar dan petty corruptionatau korupsi kecil. Grand corruption dalam bentuk suap kepada partai politik, politisi dan pejabat pemerintah atau militer senior. Diantaranya untuk mendapatkan konsesi atau memperpanjang konsesi yang didapat. Menghindari pembayaran pajak atau retribusi hutan, juga mengurangi kewajiban pembayaran pajak dan berbagai pungutan lainnya. Korupsi juga bisa dilakukan dalam bentuk berbeda seperti membayar kelompok masyarakat untuk memberikan konsesi mereka kepada perusahaan.
Sedangkan korupsi kecil-kecilan (petty corruption) di sektor kehutanan dilakukan dalam bentuk memalsukan surat tentang volume dan jenis kayu, terutama untuk kayu yang dilindungi. Juga memalsukan dokumen untuk ekspor, mengabaikan aturan untuk penebangan kayu seperti yang diatur dalam kontrak, dan mengabaikan penebangan hutan hingga di luar konsesi atau hutan lindung. Untuk itu semua, pelaku harus menyuap pejabat pemerintah dan personel militer rendahan yang bertugas dilapangan. Korupsi jenis ini juga dilakukan dengan melakukan penebangan tanpa persetujuan terlebih dahulu atau tanpa melalui proses Rencana Kerja Tahunan serta mengizinkan transportasi kayu-kayu illegal. Selama ini kayu hasil illegal logging dibawa melalui jalan darat atau sungai yang melintasi kota sehingga hampir semua orang mengetahuinya. Karena korupsi maka tidak ada tindakan dan lemahnya penegak hukum.
3.      Korupsi Kehutanan berdasarkan tahapan
Praktek korupsi di sektor kehutanan terjadi dalam beberapa tahap dalam rantai supply industri kayu, mulai tahap perizinan, penebangan, pengangkutan, pelelangan dan pada saat pembayaran pajak dan retribusi.Tahap Perizinan Sejumlah perkara korupsi dilakukan terkait dengan pemberian suap dan gratifikasi terahadap pejabat daerah maupun pejabat di Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan izin konversi hutan. Suap diberikan tidak hanya dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk pemberian saham perusahaan. Bentuk korupsi lainnya dalam tahap ini adalah menjualizin usaha kepada perusahaan asing yang membutuhkan lahan dalam jumlah luas. Praktekkorupsi lainnya juga dilakukan dengan dalih alih fungsi lahan untuk perkebunan, tetapi setelah mendapatkan kayu, perkebunan tidak kunjungditanam. Praktek korupsi lainnya dalam tahap ini adalah pencurian kayu yang berlindung di balik izin pinjam pakai, tukar-menukar kawasan hutan untuk fasilitas umum, pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman dan transmigrasi. Pelepasan kawasan hutan juga dilakukan secara sistematis melalui revisi RencanaTata Ruang Wilayah Propinsi (RTWP).
D.    Pencucian Uang Kejahatan  Kehutanan

Sebagaimana diketahui pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luarnegeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atasharta kekayaan yang diketahuinya atau patut didugamerupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi hartakekayaan yang sah. (Pasal 1 ayat (1) UU TPPU).
Posisi Kejahatan Kehutanan sebagai salah satu tindak pidana asal baru, prakteknya pelaku korupsi kejahatan kehutanan umumnya juga melakukan pencucian uang hasil kejahatannya. Julie Walters dari Australian Instituteof Criminology[16] bahkan mengatakan, korupsi kehutanan sangat dekat dengan kejahatan pencucianuang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuanganatau PPATK (2012) mempetakan typologi pencucian uang di sektor kehutanan dilakukan berdasarkan tahapan dan pelaku, sebagai berikut:
1.    Pencucian Uang Kejahatan Kehutanan berdasarkan tahapan

a.    Tahap Penempatan (Placement)

Merupakan tindakan menempatkan harta kekayaan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan. Contohnya, uang tunai atau cek hasil transaksi illegal logging atau, illegal wildlife trade atau uang hasil korupsi/suap dari sektor kehutanan:
a. Disetor ke bank atau digunakan untuk membeli polis asuransi jiwa.
b. Ditransfer dari satu rekening ke rekening lain.
c. Ditempatkan di bank dan/atau yang langsung digunakan untuk membeli suatu aset seperti truk, dan adakalanya truk ini kemudian dijual kembali untuk memperoleh uang tunai.
d. Ditukarkan ke dalam mata uang asing atau sebaliknya.
e. Dimasukkan ke dalam safe deposit box di bank.
f. Diinvestasikan ke dalam bentuk portofolio saham.

b.    Tahap Pelapisan (Layering)
Merupakan proses pemindahan atau pengubahan harta kekayaan hasil kejahatan melalui beberapatransaksi yang kompleks dalam rangka mempersulitpelacakan asal usul dana.Contoh dalam proses ini adalah memperoleh uang,menerima pembayaran atau transfer, atau membelibarang atau jasa dengan cara:
1.      Menjual kayu hasil curian/ilegal dengan menggunakan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang asli atau lebihdikenal dengan modus SKSHH terbang.
2.      Mencampur kayu hasil curian/ilegal dengan kayulegal dan menjualnya dengan SKSHH asli yang mencantumkan seluruh kayu yang dijual baik kayu hasil curian/ilegal maupun kayu legal.
3.      Mencampur satwa yang dilarang diperdagangkan dengan satwa legal dan menjualnya dengan menggunakan SAT DN (Surat Angkut Satwa Dalam Negeri) dan SAT LN (Surat Angkut Satwa) Luar Negeri legal.
c.    Tahap Integrasi (Integration)
Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.Contoh integration yaitu uang hasil illegal logging,illegal wildlife trade, atau korupsi/suap: Yang telahdi-placement atau di-layering diinvestasikan kedalam bisnis properti.
a.       Langsung diinvestasikan ke dalam bisnis  pengangkutan atau jasa perkreditan (BPR).
b.      Uang tunai dari hasil illegal logging atau korupsi diinvestasikan ke dalam bisnis.
2.    Pencucian Uang Kejahatan Kehutanan berdasarkan Pelaku

Dalam Undang-undang TPPU adalah orang perseorangan maupun korporasi. Orang perseorangan adalah individu, sedangkan korporasi adalah kelompok usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
a.       Pelaku orang perseorangan dalam perkara ilegal logging dan illegal wildlife trade yangberpeluang melakukan pencucian uang :
1.      Cukong (financial backer), adalah orang yang secara finansial mempunyai potensi menggerakan aktivitas ilegal logging dan illegal wildlife trade, termasuk ke dalamnya pemilik sawmill liar.
2.      Broker kayu, adalah orang yang menjalankanperan penghubung antar pelaku illegal logging.
3.      Beking (backing), adalah pihak yang menjalankan peran perlindungan terhadap aktivitas ilegallogging dan illegal wildlife trade, termasukpreman dan oknum tokoh ormas.
4.      Politically Exposed Person (PEP), adalah orang yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi yang dapat menggerakan aktivitas illegallogging dan illegal wildlife trade, termasuk oknum pejabat, oknum penegak hukum dan tokoh masyarakat
b.      Pelaku korporasi dalam perkara illegal logging yang berpeluang melakukan pencucian uang:
1.     Perusahaan pemegang konsesi kehutanan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan antara lain; IUPHHK-HA(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam) atau yang dulunya dikenal dengan Ijin Hak Pengusahaan Hutan/HPH, IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Tanaman yang dulunnya dikenal dengan izin Hutan Tanaman Industri/HTI), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
2.     Perusahaan pemegang konsesi atas izin Bupati atau Kepala Daerah antara lain: IPKTM Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik, IPHHH (Izin Pengusahaan Hak Hasil Hutan, HPHKM (Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan), Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK). Izin-izin tersebut umumnya dalam bentuk koperasi masyarakat, dan yayasan)
3.     Industri kehutanan skala besar antara lain ; industri bubur kertas, industri  plywood.
c.       Pelaku korporasi dalam perkara illegalwild life trade yang berpeluang melakukan pencucian melakukan pencucian uang:
1. Perusahaan pemegang izin pengedar tumbuhan dan satwa liar yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.
2. Perusahaan pemegang izin penangkar tumbuhan dan satwa liar yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Selain pelaku langsung yang melakukan pencucian uang, tindak pidana pencucian uang juga dapat dilakukan oleh setiap orang dalam bentuk :
a.       Percobaan Contoh dari percobaan adalah orang perseorangan/korporasi yang akan melakukan penyetoran uang hasil tindak pidana kehutanan (misalnya: illegal logging) ke bank namun batal dilakukan karena petugas bank meminta dokumen tertentu.
b.      Pembantuan Bentuk dari pembantuan adalah orang perseorangan/korporasi yang meminjamkan rekening untuk menampung uang hasil Tindak Pidana Kehutanan.
c.       Pemufakatan jahat orang perseorangan/korporasi yang terlibat langsung dalam melakukan proses pencucian uang baik dengan menyiapkan sarana dalam bentuk rekening maupun lainnya.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1.      Dapat disimpulkan bahwa Hukum kehutanan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang kehutanan. Dalam mewujudkan penegakan hukum kehutanan forestlaw enforcement tidak saja di perlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum legal substance, legal structur, legal  culture  dikatakan sebagai sebagai susunan sistem hukum there element of legal system oleh Lurence M. Friedmen. Teori Efektiviras ini masi relevan digunakan dengan keadaan negara Indonesia dimana ketiga elemen tersebut memiliki fungsi dan corak khas dalam masyarakat Indonesia, terlebih dalam hal penegakan hukum kehutanan.
2.      Hukum pidana formil  yang digunakan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan adalah Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan khusus tentang Penyidikan dalam pasal 77 UU Nomor 41 tentang Kehutanan lex specialist. Proses penegakan hukum tindak kejahatan kehutanan juga melalui tahapan proses  Penyidikan, Penuntutan,  Persidangan dan Pemidanaan/eksekusi
3.      Praktek Korupsi dan Pencucian Uang (money laundering) kejahatan kehutanan menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK (2012) mempetakan typologi pencucian uang di sektor kehutanan dilakukan berdasarkan tahapan dan pelaku, sebagai berikut:
1.         Pencucian Uang Kejahatan Kehutanan berdasarkan tahapan.
Tahap Penempatan Placement, Tahap Pelapisan Layering, Tahap Integrasi  Integration.
2.         Pencucian Uang Kejahatan Kehutanan berdasarkan Pelaku
Pelaku orang perseorangan dalam perkara ilegal logging dan illegal wildlife trade yang berpeluang melakukan pencucian uang adalah Cukong financial backer, Broker kayu, Beking, Politically Exposed Person (PEP).
Pelaku korporasi dalam perkara illegal logging yang berpeluang melakukan pencucian uang adalah Perusahaan pemegang konsesi kehutanan, Perusahaan pemegang konsesi atas izin Bupatiatau Kepala Daerah antara lain, Industri kehutanan.
Pelaku korporasi dalam perkara illegal wild life trade yang berpeluang melakukan pencucian uang adalah Perusahaan pemegang izin pengedar tumbuhan dan satwa liar yang dikeluarkan, Perusahaan pemegang izin penangkar tumbuhan dan satwa liar yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan RI.

SARAN
Sebaiknya seluruh element terkait masyarakat, pemerintah sebagai penyelenggara negara stakeholders tidak menjadikan kelemahan hukum legal substacesebagai celah untuk melakukan kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian negara dan kerusakan  hutan dan lingkungan yang berakibat terganggunya keseimbangan alam, sosial, ekonomi, sosial budaya dan politik.










[3]Ibid. hal 11.
[4]Nurjaya, IGM,. Praetyo Teguh dan Sukardi,. Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2008, hal.35.
[4]Salim, H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Cet. I Sinar Grafika: Jakarta; hal.40.

[6] Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Huhum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.  Hal.38.
[7]Salim H.S., Op Cit. Hal. 144.
[8]UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130.
[9]Darmono,. Pengengenyampingan Perkara Pidana Seponering Dalam Penegakan Hukum, Solusi Publishing, Jakarta; 2013., Hal. 19.
[10]  Ibid.
[11] Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali, hal.: 4,5.
[12] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.
[13]Andi Hamzah, 1990, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.21
[15]Febri Diansyah dkk,Ibid, hal. 23.
[16]Febri Diansyah dkk,Ibid, hal. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar