KEBIJAKAN FORMULASI
HUKUM PIDANA
DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
Nama : ASTAN WIRYA
Lembaga
: Proram Pascasarjana
Ilmu Hukum
Univ.
Mataram
e-mail : wirya_astan@yahoo.com
THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT
PENAL FORESTRY
ABSTRACT
The criminal
policy formulation at law enforcement penal forestry on this thesis is about
problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry criminal
act and what competence and effort to eliminate forestry destruction institution
(LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention, and elimination
of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal law and
supporting by law element such premier, secondary and tarsier law.
Approach
system in this thesis using statue approach, conceptual approach, historical
approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with
deductive and inductive concept as the explanation, logic
interpretation and systematic.
The
criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been
direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years
1990 regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41
years 1999 regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding
prevention and elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement
policy on the ordinance number 18 year
2013 has been divide a type of criminal case, criminal responsibilities and
criminality system with minimum particularly up to maximum which criminal responsibilities distinguish
into personal, person to person around forestry, corporate, and government
authorities
An
ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare tackling
a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry
destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise,
institution element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others,
institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as
prevention deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community complain
deputy, P3H institution has right and function for forest destruction
prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource,
campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit,
up to court interrogation. Institution P3H
also has right and function to coordinate supervise a criminal forest lawsuit act.
Key word : Criminal policy, formulation law and
penal forestry.
A.
Latar Belakang
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
lahir dari proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan tonggak sejarah
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik
Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum[1]. Tujuan politik hukum negara Indonesia juga dinyatakan jelas dalam
alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu :
1. Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia;
2. Untuk memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut memelihara ketertiban dunia.
Berlandaskan pada hal itu, negara kesatuan Republik Indonesia membentuk
pemerintahan dengan menyelenggarakan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya merupakan
perubahan positif, perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh suatu
pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai tujuan ke arah
kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan kata lain hakikat pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus-menerus
dan berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan atau
perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan.
Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih
terbuka dan transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang
khususnya juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak
yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non
prosedural, pertambangan tanpa izin
(illegal mining), perkebunan dalam
kawasan hutan tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan
dengan melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya
mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan,
pemodal (cukong), perusahaaan
berbadan hukum atau korporasi, broker, penyedia
angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari
kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi[2].
Kebijakan
baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya
berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan
(degradation)[3]
dan menurunnya fungsi-fungsi hutan (deforestration),[4]
sebagai akibat dari kebebasan individu-individu atau korporasi, bahkan potensi
keikutsertaan dari komponen personal pemangku kebijakan dari pemerintah atau
negara ikut serta dalam pelanggaran hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana
bisa berharap jika dari pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu
peraturan perudang-undangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang
efektifnya sumber hukum matriel.
Kebijakan hukum
pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat
pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan
penguasa
atau aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan
hukum yang telah ditetapkan. Kebijakan
hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni
:
a. Tahap
kebijakan legislatif/formulatif
b. Tahap
kebijakan yudikatif/aflikatif; dan
c. Tahap
kebijakan eksekutif/administratif
Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut terterkandung
di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada
permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan
hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels dikutif
oleh Hj. Rodliyah[5]
disebutkan “merupakan usaha rasional
dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari
reaksi sosial terhadap kejahatan” (criminal policy is the rational
organization of the social re-actions to crime).
Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang optimal
harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary), salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013, didalamnya mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi
dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain
melakukan upaya pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan pemberantasan atau penindakan terhadap tindak
pidana perusakan hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun
perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan fungsi
pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui penyelidikan dan
penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan terintegrasi, LP3H juga memiliki fungsi koordinasi dan
supervisi terhadap lembaga lain yang
menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penelitian ini
menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum
pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan dan permasalahan mengenai
Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan
pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah
dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan.
B.
Rumusan Permasalahan
Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan
menjadi sangat penting, agar lebih memahami perkembangan atau kebaruan
mengenai permasalahan hukum khususnya dibidang kehutanan. Berdasarkan pada latar
belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan
sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan?
2.
Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?
C.
METODE
PENELITIAN
Penelitian hukum dalam ini adalah jenis penelitian
hukum normatif atau doktrinal. Pendekatan masalah yang digunakan dalam
penelitian hukum ini adalah sebagai berikut; Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan ini
mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah hkum kehutanan atau tindak pidana kehutanan, serta peraturan
perundang-undangan lain yang terkait. Pendekatan konsep (conseptual approach), yaitu
pendekatan ini digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat dalam
pikiran dan Pendekatan sejarah (historical
approach), yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui, memahami
dan mengkaji bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu perundang-undangan.
Dalam melakukan analisis bahan hukum
sekunder terhadap penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa
penafsiran yakni, penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran
memperluas, dan penafsiran yang
mempertentangkan[6]. Semua
tipe penafsiran di atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka
berfikir deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi
secara logis dan sistematis.
B.
TINJAUAN UMUM DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KEHUTANAN DI INDONESIA
1. Tinjauan Umum Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan “hutan”, misalnya
hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam bahasa
Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut dengan jungle.
Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh dengan pohon-pohonan
yang tumbuh tidak beraturan.[7]
Dalam
Black Law’s Dictionary hutan di definisikan “Forrest is a tract of land, not
necessarily wooded, reserved to the king or a grantee, for hunting deer and other
game” [8].
“Hutan adalah suatu bidang daratan,
berpohon-pohon yang dipesan oleh raja
untuk berburu rusa dan permainan lain”.
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Kawasan Hutan sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan
hutan adalah “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap”.
Dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka penunjukan kawasan hutan
masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai kepastian hukum dan tidak
dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan hutan. Dapat
dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses penetapan
kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata batas kawasan
hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.
2.
Jenis-jenis Hutan
Berdasarkan
pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI
Pembagian
hutan hutan menurut statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada
status (kedudukan) antara orang,
badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan
perlindungan terhadap hutan tersebut[9]. Hutan menurut statusnya pasca
putusan judicial review Mahkamah Kontitusi terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012 menyebutkan
bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara,
sehingga Hutan
Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari Hutan Negara[10], harus dimaknai sebagai Hutan Hak.
Berdasarkan
pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis, yakni sebagai berikut :
1.
Hutan Negara adalah hutan yang
berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang
pengelolaannya dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri
(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya diberikan pemerintah
yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke
person), koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson).
Hutan
negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa
disekitar kawasan hutan disebut hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat
berbentuk :
a. Hutan Taman Industri (HTI),
ialah hutan negara yang dikelola oleh
badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan suatu industri
dan masyarakat.
b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah
hutan negara yang dikelola oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha.
c.
Hutan Desa, adalah hutan
negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa
d.
Hutan Kemasyarakatan (HKm),
ialah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
yang berada disekitar kawasan hutan.
2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan
yang dibebani alas hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara
komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara
personal dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Hutan Adat adalah
kawasan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).
Pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan
pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan negara, dan hak
menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai
wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan dan hubungan-hubungan
hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap hutan adat, wewenang
negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan
adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah
(ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat.
2.
Hutan hak/hutan milik adalah hutan yang berada pada
tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Hutan yang berada pada hak/milik masyarakat
baik yang ditanami maupun yang tumbuh alami pada lahan hak/milik.
2.2. Fungsi Hutan
Hutan berdasarkan
fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan
Konservasi, (2) Hutan Lindung dan, (3) Hutan Produksi.
1.
Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang mempunyai pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya[11]. Hutan konservasi ini
terdiri atas :
1.1.
Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan
dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
penyangga[12]. Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan
cagar alam dan suaka margasatwa[13].
1.2.
Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu
hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan, dinyatakan
kawasan pelestarian alam ini terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
1.3.
Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Hutan Lindung
Hutan lindung
merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah sebagaimana
dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
3. Hutan Produksi
Hutan produksi adalah
hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan
yang mempunyai fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga
dibedakan menjadi hutan produksi tetap
dan hutan produksi terbatas.
2.1.
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan
Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan umum
seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya.
2.2.
Hutan
Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan Resapan Air
Hutan jenis ini, disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu
sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan
resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
3. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA
Kebijakan
formulasi
hukum pidana didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konsideran yang
terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam menentukan kebijakan
baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang secara sadar dilakukan oleh
institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang kemudian
ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan
hukum pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak
pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana
Suatu
perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada kerusakan hutan merupakan
tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan
hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang
yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum
menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu
apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah
terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak perbuatan pidananya.
Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan pada
asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak ada aturan
pidananya”, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan menentukan adanya
pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari
asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”,
disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan istilah bahasa Belanda “geen
straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne schuld” dalam bahasa Jerman.
a.
Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang
terkait Tindak Pidana Kehutanan
Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang
dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang
terdapat dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)[14].
Perbuatan pidana pada Buku II KUHP tentang Kejahatan, berkaitan dengan
kebijakan formulasi tindak pidana kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara
umum sebagai
berikut :
1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai
dengan pasal 412 KUHP)
Perbutan pengerusakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana
perusakan hutan atau dalam tindak pidana kehutanan, berkaitan dengan pengerusakan
dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa “setiap orang
dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau merusak,
memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi
kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan bentuk dan atau luasan kawasan hutan”.
Umumnya
tindak pidana kehutanan hakekatnya
merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki
izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah berkaitan dengan
penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan terhadap hasil hutan, contohnya
pemanfaatan hasil hutan yang diberikan izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu
Hutan Alam (IPKHA) terjadi
over atau penebangan di
luar areal konsesi yang dimiliki
termasuk penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang menyalahi
prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian secara materil
maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan ekosistemnya tersebut.
2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP)
Kegiatan
penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan
pidana pencurian dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu
adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk
dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan “barang siapa mengmabil barang
sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
dapat dipidana”, perbuatan tersebut dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b dan c, “menebang pohon dalam
kawasan hutan tidak sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah.
3.
Penyelundupan
Pasal 121 KUHP
Perbuatan penyelundupan hingga saat ini,
belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang
penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang merupakan
ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur tentang penyelundupan. Kegiatan
selama ini berkaitan dengan penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak
pidana pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil
barang milik orang lain.
Berdasarkan pada
pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak
sah atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak
pidana kehutanan. Penyelundupan hasil hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin
yang sah dapat dikategorikan sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf
e, f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan dengan
pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau dengan dokumen
atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak sesuai dengan dokumen terhadap
penguasaan hasil hutan. ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan
dan perkebunan, diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan
pada Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana
perkebunan dalam kawasan hutan dan Pasal
17 ayat 2 huruf a, b, c, d, e, Pasal 19
huruf f “mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan
kawasan huttan secara tidak sah.
4.
Pemalsuan (Pasal
261-276 KUHP)
Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu
menurut penjelasan Pasal 263
KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat
sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini
adalah yang dapat menerbitkan suatu hal,
suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana.
Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat
menurut Pasal 263 KUHP ini adalah pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
Perbuatan pidana Pemalsuan dalam KUHP direformulasikan
kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam ketentuan
Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin pemanfaatan hasil
hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan, menggunakan izin palsu dan/atau
memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri.
5. Penggelapan (Pasal
372 -377 KUHP)
Unsur-unsur penggelapan
dalam tindak pidana dibidang kehutanan atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di luar
areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan
sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya,
penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus dalam ketetuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
6.
Penadahan (Pasal
480 KUHP)
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan
persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa
asingnya “heling “ (penjelasan Pasal
480 KUHP).
Perbuatan
penadahan atau persekongkolan atau pertolongan jahat dalam ketentuan yang
terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tetang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di persamakan sebagai perbuatan yang
diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d, f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan
sebagai perbuatan, menyuruh, mengorganisasi atau menggerakkan penebangan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan
jahat, mendanai, mengubah status pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan, bahkan pesekongkolan dalam menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menitipkan dan/atau
menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya dan/atau
menyembunyikan atau menyamarkan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan
hasil dari pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
b. Ketentuan Tindak
Pidana Kehutanan dalam Undang-undang dibidang Kehutanan
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di
dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan Undang-undang ini, diatur dua
macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana
dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.
Perbutan
pidana atau tindak pidana dalam
undang-undang ini, ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 dan sistem pemidanaan atau ketentuan sanksi
pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan
unsur-unsur perbuatan pidana lainya
diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi pidananya ditentukan dalam
pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE.
2.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Kegiatan
penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan
dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada ketentuan pasal 50 ayat 3
huruf a sampai dengan huruf m dan
ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian besar dicabut
dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ketentuan
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j,
serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana
terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap
Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat
(10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Kebijakan Formulasi
Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Pengaturan jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang,
subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi. Pengaturan
sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan
orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar
kawasan hutan, korporasi atau badan hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari sitsem pemidanaan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat pada tabel di bawah ini :
Tabel :
Formulasi Tindak Pidana Kehutanan
Dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
No.
|
Jenis Tindak Pidana
|
Kesalahan
|
Sanksi Pidana
|
1.
|
Pasal 82 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.
melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin. (Pasal 12 huruf a).
b.
melakukan
penebang pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf b ).
c.
melakukan
penebang pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 12 huruf c ).
ayat (2) Orang perseorangan bertempat tinggal di
dalam dan/atau sekitar kawasan hutan
ayat (3) Korporasi
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp. 500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pidana
penjara paling singkat 3 bulan dan
paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas
miliar rupiah).
|
2.
|
Pasal 83 ayat (1) Orang
Perseorangan ;
a.
memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan
tanpa izin. (Pasal 12 huruf d )
b. mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan. (Pasal 12 huruf e)
c. memanfaatkan
hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar. (Pasal 12 huryf
h ).
ayat 2 orang perseorangan
ayat 3 orang perseorangan bertempat tinggal di dalam
dan/atau sekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) c) dan ayat (2) c )
ayat 4 Korporasi;
|
Kesengajaan
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
Pidana
penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,- sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pidana
penjara paling singkat 3 bulan dan
paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- dan
paling banyak Rp.500.000.000,-
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
3.
|
Pasal 84 ayat (1) Orang
perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah).
|
Pasal 84 ayat (2) Orang
perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
|
|
Pasal 84 ayat 3 Orang perseorangan
bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan, pada ayat (1) dan ayat
(2)
|
Pidana
penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 2 tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp.500.000-, (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
|
||
Pasal 84 ayat 4 Korporasi membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon
di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f )
|
Pidana
denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000-, (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
4.
|
Pasal 85 ayat 1 Orang perseorangan membawa
alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf g ).
|
Kesegajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda
paling sedikit
Rp.2.000.000.000,-
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar
rupiah).
|
Pasal 85 ayat (2) Korporasi yang membawa
alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang. (Pasal huruf 12
g ).
|
Pidana
denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima
belas miliar rupiah).
|
||
5.
|
Pasal 86 ayat 1 Orang perorangan ;
a.
mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara.
(Pasal 12 huruf i ).
b.
menyelundupkan kayu yang berasal dari
atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai,
darat, laut, atau udara. (Pasal 12 huruf j ).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
|
Pasal 86 ayat (2)
Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
6.
|
Pasal 87 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.
menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar. (Pasal 12 k ).
b.
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf l
).
c.
menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
(Pasal 12 m )
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.2.500.000.000,-
(dua miliar lima ratus juta
rupiah).
|
Pasal 87 ayat (2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.250.000.000,- (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).
|
|
Pasal 87 ayat 3 Orang perorangan yang bertempat tinggal di
dalam dan/atau disekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) dan ayat (2)
|
Pidana
penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
||
Pasal 87 ayat (4) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
7.
|
Pasal 88 ayat (1) Orang perseorangan ;
a. melakukan
pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat
keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(Pasal
16)
b.
memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan
surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu. (Pasal 14 )
c.
melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 15 )
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp.500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.2.500.000.000,-
(dua miliar lima ratus juta rupiah).
|
Pasal 88 ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
7.
|
Pasal 89 ayat (1) Orang Perseorangan :
a.
melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.
(Pasal 17 ayat
(1) huruf b) dan/atau
b.
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (1) huruf a).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.10.000.000.000,-
(sepuluh
miliar rupiah).
|
Ayat (2) Korporasi ;
|
Pidana
denda paling sedikit
Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah)
dan
paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima
puluh
miliar rupiah).
|
||
8.
|
’
Pasal 90 ayat (1) Orang perseorangan mengangkut
dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf c).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.500.000.000,-
(satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah).
|
ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas
miliar rupiah).
|
||
9.
|
Pasal 91 ayat (1) Orang perseorangan :
a.
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau enyimpan hasil tambang yang berasal
dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat
(1) huruf d) dan/atau
b.
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin
(Pasal 17 ayat (1) huruf e).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
|
ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
10.
|
Pasal 92 ayat (1) Orang perseorangan;
a.
melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan.
(Pasal 17 ayat (2) huruf b ) dan/atau
b.
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut
hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (2)
huruf a).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.500.000.000,-
(satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
|
ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh
miliar rupiah).
|
||
11.
|
Pasal 93 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2)
huruf c).
b.
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang
berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17
ayat (2) huruf d ) dan/atau
c.
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang
berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
|
ayat (2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah).
|
|
ayat (3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan
paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah)
|
||
12.
|
Pasal 94 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.
menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan membalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf a).
b.
melakukan permufakatan jahat untuk melakukan embalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf c ).
c.
mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
secara langsung atau tidak langsung. (Pasal 19 huruf d ) dan/atau
d.
mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil
penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di
dalam maupun di luar negeri. (Pasal 19 huruf f ).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,-
(seratus
miliar rupiah).
|
ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,-
(dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,-
(satu
triliun rupiah).
|
||
12.
|
Pasal 95 ayat (1) Orang perseorangan :
a.
memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran,
termasuk pemanfaatan limbahnya. (Pasal 19 huruf g
b.
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri dan/atau menukarkan
uang atau surat berharga lainnya serta
harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf h) dan/atau
c.
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut
diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
(Pasal 19 huruf i ).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).
|
ayat (2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 serta pidana denda paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
|
|
ayat (3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit
Rp.20.000.000.000,-
(dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,-
(satu
triliun rupiah)
|
||
13.
|
Pasal 96 ayat (1) Orang perseorangan :
a.
memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan. (Pasal 24huruf a).
b.
menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan. (Pasal 24 huruf b)
dan/atau
c.
memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Pasal 24 huruf c)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp500.000.000,-
(lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
|
ayat (2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,-(lima belas miliar rupiah).
|
||
14.
|
Pasal 97 ayat (1) Orang perseorangan :
a.
merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25 ) dan/atau
b.
merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas
fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas
negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
(Pasal 26)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000,-
(dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
ayat (2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
|
|
ayat (3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan
paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
15.
|
Pasal 98 ayat (1) Orang perseorangan turut
serta
melakukan atau membantu terjadinya
pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan
secara tidak sah.
(Pasal
19 huruf b)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda
paling
sedikit
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.500.000.000,-
(satu
miliar lima ratus juta rupiah).
|
ayat (2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun
serta
pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
|
ayat (3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan
paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
16.
|
Pasal
99 ayat (1) Orang perseorangan menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19
huruf e)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000.000,-(sepuluh miliar rupiah)
dan
paling banyak Rp.100.000.000.000,00
(seratus
miliar rupiah).
|
ayat
(2) Orang perseorangan
|
Kelalaian
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.500.000.000,-
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
|
ayat
(3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000.000,-
(satu
triliun rupiah).
|
||
17.
|
Pasal
100 ayat (1) Orang perseorangan mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan
secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 20).
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah).
|
ayat
(2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
18.
|
Pasal
101 ayat (1) Orang perseorangan memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.
(Pasal
21)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,-
(dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.500.000.000,-
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
ayat
(2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar
kawasan hutan
|
Pidana
penjara paling singkat 3 bulan serta
paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit
Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
|
||
ayat
(3) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
19.
|
Pasal
102 ayat (1) Orang perseorangan
menghalang-halangi dan/atau menggagalkan
penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara
tidak sah. (Pasal 22)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima
miliar rupiah).
|
ayat
(2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
|
||
20.
|
Pasal
103 ayat (1) Orang perseorangan melakukan intimidasi dan/atau ancaman
terhadap
keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan
liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah.
(Pasal 23)
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
|
ayat
(2) Korporasi
|
Pidana
denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
|
||
21.
|
Pasal
104 Setiap Pejabat yang melakukan
pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak
menjalankan
tindakan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 27.
|
Kesengajaan
|
Pidana
penjara paling singkat 6 bulan dan
paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.7.500.000.000,- (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
|
22.
|
Pasal
105 Setiap pejabat yang ;
a.
menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya. (Pasal
28 huruf a).
b.
menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 28 huruf b).
c.
melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah (Pasal 28 huruf c)
d.
ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf d).
e.
melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf e).
f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil
hutan tanpa hak. (Pasal 28 huruf f)
dan/atau
g.
dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi
tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah. (Pasal 28 huruf g)
|
Pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan
Dalam Undang-undang
ini juga diatur berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak
menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana
Pasal 104, dan setiap pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena
jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana
dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan pidana
tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman sanksi pidana penjara
minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau denda.
Dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur pertanggungjawaban pidana adalah subjek
hukum adalah korporasi atau badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak
pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat
dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada
korporasi adalah pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103,
selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran
sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan hukum atau
korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan pemerintah, uang
paksa dan/atau pencabutan izin.
2. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana
2.1. Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability)
Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak
pidana sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana
dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.
Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat sebagai
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without faul).
2.2.
Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld)
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana
belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana,
terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa
merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan
atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak pidana maka didasarkan pada asas
legalitas sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan menentukan adanya
pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari
asas kesalahan ini adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas”
atau “geen straf zonder schuld”
Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan
dengan tindak pidana, sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang
berbuat atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana
ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “, “criminal responsibility” atau “criminal
liability”, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan
atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau
tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon,
dikenal dengan asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau
disingkat asas “mens rea”, terjemahan aslinya ialah “evil mind”
atau “evil will” atau “guilty mind”.
2.3.
Asas pertanggungjawaban vicarious liability
Asas pertanggunjawaban vicarious liability diartikan sebagai pertanggungjawaban
menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain
merupakan bentuk pertanggungjawaban
sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Adapun
cara untuk mempidana korporasi adalah sebagai berikut :
1. Korporasi
dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan oleh
pegawainya.
2. Korporasi
dapat dikenakan pidana berdasarkan asas
identifikasi, dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi,
dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini menyebutkan bahwa
tindakan dan kehendak dari direktur juga merupakan tindakan kehendak dari
korporasi.[15]
Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah
dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di dalamnya
pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif. Masalah pertanggungjawaban
pidana dan khususnya pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan beberapa
hal antara lain sebagai berikut [16]
:
a.
Ada
atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak.
a.
Tingkat
kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu, tidak mampu.
b.
Batas umur
untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab
Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur kehilangan atau
kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang karenanya pemidanaan
bukan merupakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang
mengakibatkan penderitaan.
3. Kebijakan
Formulasi Sistem
Pemidanaan (Punishment Syistem)
Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan
sistem pemidanaan terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan dapat
diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau sanksi pidana.
Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut fungsional dan
dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut fungsional dapat
diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana atau keseluruhan
sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial
Belanda yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2 Maret 1881 dan mulai berlaku
pada tanggal 1 September 1886 sesuai dengan ketentuan terakhir invoeringswet
April 1886, Stb. 64[17]. Wetbook van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie berlaku berdasarkan asas konkordansi kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau
penambahan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia
merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana.
a.
Jenis-jenis pidana
Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu
tindak pidana atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari
sanksi pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan pidana. Jenis-jenis
pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat
ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP dinyatakan
tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas[18] :
a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara
tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan sanksi pidana secara khusus juga
ditentukan dalam Ketentuan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana
tersebut diatur dalam BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal
109, baik yang dilakukan dengan unsur kesengajaan
atau karena kelalaian, melingkupi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pelaku sebagai subjek hukum yang berupa manusia alamiah (naturlijke person) ataupun
sebagai badan hukum atau korporasi (rechtsperson),
tindak pidana perusakan hutan, baik Perorangan dan Korporasi atau Pejabat Pemerintah
b.
Syarat
Pemidanaan
Syarat
pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan
atau kealpaan. Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat
salah satu bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara
pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of inosance), kesalahan diartikan sebagai telah
melakukan tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak
pidana, karena dari segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak
ingin melakukan perbuatan tersebut.
c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan
Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak
pidana kehutanan dibedakan
terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada disekitar kawasan hutan,
badan hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas
sesuai kewenangannya. Dengan
dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana
kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada
korporasi
Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap
orang-perorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan tindak
pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan
pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar
kawasan hutan, korporasi dan
pejabat pemerintah dengan ancaman sanksi pidana atau sistem
pemidanaan dengan ancaman sanksi
pidana minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum.
d. Lembaga
atau Instansi lain yang berwenang
menangani Tindak Pidana dibidang Kehutanan
a.
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI)
Kepolisian
Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peranan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ;
1.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum dan,
3. Memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan
tugas salah satunya menegakkan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan
kewenangan oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum
atau kejahatan, termasuk penanganan
tindak pidana khusus/tertentu. Penegakan hukum dilakukan meliputi upaya
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus
yang diatur dalam Undang-undang Khusus.
2.
Polisi
Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan PPNS Kehutanan
Sejarah
panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan kemerdekaan pengelolaan dan
perlindungan hutan menjadi sangat strategis dan penting, kekhususan dibidang
kehutanan, sumber daya alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan
karakternya hal ini melahirkan fungsi-fungsi dalam usaha pengelolaan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya
satuan khusus Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)[19]
sebagai bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum kehutanan
merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai Pasal 51, Pasal 77 dan
Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan. Pelaksanaan
ketentuan Undang-undang ini kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Pada
ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15
bahwa Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam
lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat
pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan
yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang
kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada
dalam satu kesatuan komando.
3.
Kejaksaan
Republik Indonesia
Diketahui
bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan baik dalam bidang
pidana, perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tetang
Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1 kewenangan dibidang Pidana
Kejaksaan berwenang melakukan ;
a.
Melakukan penuntutan,
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas
bersyarat.
d.
Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang.
e.
Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan
dengan penyidik.
Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas
pokok melakukan penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun
2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.
d.
Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya
TNI dalam dalam penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah
sebagai berikut ;
a.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)
RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam
urusan domestik Civic Mission.
b. Instruksi Presiden
Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk melakukan pencegahan dan
penangkapan terhadap terjadinya penebangan liar illegal logging diseluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Kerjasama
anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan Nomor : 51/II/PIK-I/2003
melakukan kegiatan menyelamatkan hutan tropis Indonesia.
Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan
upaya pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan dari
masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk dilimpahkan kepada
penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat penyidik pegawai negeri sipil, peyidik kejaksaan terkait dengan tindak
pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan Laut yang
berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan
yang diberikan oleh Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya.
C. Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(P3H), Kedudukan dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Kehutanan
Dalam
melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan
hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan
asas-asas hukum yaitu, dengan memperhatikan keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum bersifat umum dan mengikat semua orang selalu
identik dengan keadilan. Amanat yang ada
dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap
perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan selain lembaga atau
instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga oleh Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa; dalam rangka
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk
lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan selanjutnya
dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden.
a.
Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak
pidana perusakan hutan
dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pembentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)
untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam ketentuan yang terdapat pada
ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan.
b. Kerjasama
antar lembaga penegak hukum
Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan, kerjasama dan koordinasi antar lembaga
penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a antara
lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia,
Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Lembaga atau instansi
tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan terintegrasi[20]. Upaya untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan
perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter berbagai kepentingan
ekonomi, sosial budaya dan politik.
2. Struktur Kelembagaan dalam Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)
a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan
P3H
Struktur pelaksanaan tugas
kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam
ketentuan pasal 55 ayat 1 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang Sekretaris
Jenderal dan beberapa orang Deputi. Dalam
ketentuan yang terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas
menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab
lembaga dimaksud.
Selanjutnya pada ketentuan
Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
dengan bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
membidangi antara lain sebagai berikut[21] :
a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja
Sama, dan
d. Bidang Pengawasan
Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan
hutan, struktur atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan
atau penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau penegakan
hukum terhadap tindak pidana perusakan.
b. Unsur-unsur dalam kelembagaan
P3H
Dalam penanganan penanggulangan
dan pencegahan tindak pidana perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3 Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga P3H
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur antara lain :
a.
Unsur Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
b. Unsur
Kepolisian Republik Indonesia
c.
Unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
Pada ketentuan
yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam lembaga/badan pencegahan dan
pemeberantasan perusakan hutan, menjadi kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat
optimal dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan.
3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)
Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan sebagimana disebut sebagai kewenangan atribusi. Kewenangan
atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh Undang
Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan
demikian kekuasaan mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum,
sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undang-undang.
1.
Ruang lingkup Tugas dan Fungsi
1.1.
Pencegahan
Dalam
rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui
organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi dalam usaha pencegahan dan
pencegahan perusakan hutan yang dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana (non penal), dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban membuat kebijakan berupa[23]
:
a.
Koordinasi
lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b.
Pemenuhan
kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
c.
Insentif
bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga
kelestarian hutan;
d.
Peta
penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat
geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e.
Pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan
yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya adalah dengan
mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan
termasuk melakukan kampanye anti perusakan hutan. Selain membuat kebijakan
sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui
penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat melalui
kegiatan partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.
Kegiatan
atau upaya pencegahan perusakan hutan yang dilakukan seperti tersebut di atas,
adalah temasuk juga upaya pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana
diantaranya juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum administrasi
negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan pemanaatan hasil hutan, guna
untuk pencegahan perusakan hutan.
1.2.
Penindakan atau Penegakan Hukum
Dalam rangka
untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan
hutan yang dilakukan dengan cara menindak secara hukum atau penegakan hukum terhadap pelaku
perusakan hutan.
Penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, dalam
hal melakukan 3 (tiga) unsur yang
selalu harus diperhatikan yaitu; Kepastian Hukum
Keadilan dan Kemanfaatan terhadap Perbuatan perusakan
hutan atau tindak pidana yang dilakukan terhadap hutan, kawasan hutan dan
peredaran hasil hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait
lainnya.
1.
Penyelidikan dan Penyidikan
1.1.
Penyeledikan.
Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini[24]. Berkaitan dengan tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Proses
penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap perbuatan
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari peyelidikan,
penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, proses
hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana terpadu
yang dikenal dengan istilah (integreted criminal justice syistem),
tahapan-tahapan dalam proses hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ;
1.2. Penyidikan
Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime
investigation) tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang
temukan atau tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang
berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa pidana
atau delik, dan dengan ditemukan adanya
barang bukti atau alat bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan.
Dalam
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa, Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.[25]
Dalam ketentuan
Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang dapat melakukan Penyidikan[26] adalah pejabat Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, sementara dalam ketentuan
yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana
dalam ketentuan Pasal 30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang
untuk sebagai berikut [27] :
a.
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan
b.
Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana perusakan hutan
c.
Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan
d.
Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.
e.
Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana perusakan hutan
f.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
g.
Meminta bantuan ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan
hutan
h.
Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang
adanya tindakan perusakan hutan
i.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
j.
Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang
menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat
perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat
dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan.
Dalam hal melaksanakan tugas
dan kewenangannya pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan
wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
termasuk Wilayah Kepabeanan.
2.
Penuntutan
Rangkaian kegiatan
penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai penuntut terhadap perkara tindak
pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam
penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus juga dalam ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
Pada ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
disebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain jaksa
diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrahts)
sebagai eksekutor.
3.
Persidangan di Sidang Pengadilan
Proses persidangan merupakan proses
pemeriksaan dan pembuktian yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam
penanganan perkara pidana secara hukum (litigasi). Tahapan pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses peradilan, karena sebagai institusi lembaga pengadilan
merupakan institusi/lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk menyatakan dan
memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu
tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya
berdasarkan hukum dan sesuai dengan peraturan-perundangan yang belaku. Dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa
berusaha untuk membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa
atau penuntut umum adalah :
a.
Apakah
benar suatu peristiwa telah terjadi
b.
Apakah
benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana
c.
Apakah
sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi
d.
Siapakah
yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Dalam proses persidangan pembuktian
merupakan penentu berhasil tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan
oleh penuntut umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan
semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak pidana atau
terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan
keputusannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam
ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)[28]
ditentukan alat bukti sebagai berikut :
a.
Alat
bukti Keterangan Saksi
b.
Alat
bukti Keterangan Ahli
c.
Alat
bukti Surat
d.
Alat
bukti Petunjuk
e.
Alat
bukti Keterangan Terdakwa
Berdasarkan
alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan bahwa terdakwa bersalah, telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya[29].
Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan minimal
2 (dua) alat bukti dan keyakinan
hakim
C.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas,
dapat diajukan kesimpulan adalah sebagai berikut :
1.
Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam
penanggulangan tindak pidana kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan
dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya diatur perbuatan
yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum pertanggungjawaban
pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang diancam berbeda terhadap orang
perseorangan, orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada
disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem
pemidanaannya dengan sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum
khusus sampai dengan maksimum khusus.
2.
Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)
adalah bersumber dari kewenangan yang diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk,
kedudukan, ruang lingkup kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB
V Pasal 54, 55, 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan
tindak pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan
pemberantasan atau penindakan. Tugas dan
fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber kayu alternatif ataupun
kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif
dan teknologi pengolahan serta kebijakan penghilangan kesempatan dengan
meningkatkan peran serta masyarakat, partisipasi dalam pengelolaan dan
pelestarian hutan, melakukan kampanye anti perusakan
hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan lembaga P3H, melalui
penegakan hukum (law enforcement)
melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan,
diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga, memiliki fungsi
koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
–
Buku
Amirudin
dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta), 2012.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang),
2000.
Rodliyah
Hj.,
Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-pokok pikiran
Revis Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, (CV. Arti Bumi Intara
Yogyakarata), 2011.
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di Bidang Kehutanan,
cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta) 2012.
Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan di
Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kalimantan-Indonesia), 2005.
Sukaradi, Illegal
Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas
Atmajaya, Yogyakarta), 2005.
Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk
Polisi Kehutanan, (Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan
Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian
Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian Office,
Jakarta), 2013.
B.
Peraturan Perundang-undangan
a.
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
b.
Udang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diubah Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Kehutanan.
d.
Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
a. Desertasi,
Thesis, Jurnal dan Makalah
Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam
Sistem Pidana Minimum Khusus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi Program Studi Doktoral Universitas
Brawijaya), Mei 2014.
Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan
Kegiatan Polisi Kehutanan Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat
Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan
Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta, 2012.
b. Internet
dan Media
M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto.
blogspot.com, diposting pada tanggal, 18 juni 2009 jam 10.00 wita
http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia,
diakses pada tanggal 10 Januari 2015, jam 11.00 wita.
Romli Atmasasmita, Pengertian dan tujuan hukum,
http://statushukum.com, diposting pada
tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.
[1] Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang Kedaulatan
Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum.
[2] Suryanto, et. al, Illegal
Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia, (Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm.
94-99.
[4]
Deforestation adalah setiap perubahan yang
terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan
fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
[6] Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165
[7] Leden Marpaung, Tindak
Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Cet. I, Erlangga, Jakarta,
1995, hlm. 11.
[8]
Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh
Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
[9] Salim HS, Dasar-Dasar
Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta, 2003, hlm.
43
[10]
http://ugm.ac.id, Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Hutan Adat,
tanggal 21 Februari 2014.
[11]
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[12]
Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
[13] Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
[14]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
[15] Mardjono Reksodiputro,
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak
Pidana Korporasi, Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang,
Fakultas HUkum Universitas Diponegoro, 1989),
hlm. 9.
[16]
Marjono Reksodiputro, Op.cit,
hlm. 12
[18]
Pasal 10 KUHP.
[19] Satuan
Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Pasal 1
angka 2 PERATURAN DIRJEN PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK
PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI
KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus Polisi
Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi
kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan
keamanan hutan secara cepat, tepat dan akurat.
[20] Terintegrasi adalah sistem informasi pemberantasan
perusakan hutan dapat diakses secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum
terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain, penjelsan Pasal 57
ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
P3H.
[23] Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2013
[24] Pasal 1 angka 5 KUHAP
[26] Pasal 29
Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H.
[29] Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar