Selasa, 09 Juni 2015

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANA

KEBIJAKAN  FORMULASI  HUKUM  PIDANA
  DALAM PENANGGULANGAN  TINDAK  PIDANA  KEHUTANAN

Nama                           : ASTAN  WIRYA
Lembaga                     : Proram Pascasarjana Ilmu Hukum                        
                                      Univ. Mataram
e-mail                          : wirya_astan@yahoo.com



THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT
PENAL  FORESTRY

ABSTRACT


The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention, and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law.
            Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach, historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with deductive  and   inductive concept as the explanation, logic interpretation and systematic.
            The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990 regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999 regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy  on the ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum  which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around forestry, corporate, and government authorities
            An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution element including Forest Ministry, Indonesian  Police, Public Persecutor and others, institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention deputy broad, measures, law, and cooperation,  internal supervise and community complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource, campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to court interrogation. Institution P3H  also has right and function to coordinate  supervise a criminal forest lawsuit act.

Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry.     



       A. Latar Belakang

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir dari proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan tonggak sejarah kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa Negara Indonesia adalah negara  hukum[1]. Tujuan politik hukum negara Indonesia juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
1.  Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.  Untuk memajukan kesejahteraan umum;
3.  Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4.  Ikut memelihara ketertiban dunia. 
       Berlandaskan pada hal itu,  negara kesatuan Republik Indonesia membentuk pemerintahan dengan menyelenggarakan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan positif, perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus-menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan.

 Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non prosedural, pertambangan tanpa izin (illegal mining),  perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan  melibatkan banyak pihak  dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan, pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker,  penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi[2].  
Kebijakan baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan (degradation)[3] dan menurunnya fungsi-fungsi hutan (deforestration),[4]  sebagai akibat dari kebebasan individu-individu atau korporasi, bahkan potensi keikutsertaan dari komponen personal pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu peraturan perudang-undangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya sumber hukum matriel.
Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa atau aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni :
a.       Tahap kebijakan legislatif/formulatif
b.      Tahap kebijakan yudikatif/aflikatif; dan
c.       Tahap kebijakan eksekutif/administratif

            Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut terterkandung di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels  dikutif oleh Hj. Rodliyah[5] di­sebutkan “merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan”  (criminal policy is the rational organization of the social re-actions to crime).
Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary), salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, didalamnya mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga  khusus anti perusakan hutan ini, selain melakukan upaya pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan  pemberantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari  perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan terintegrasi,  LP3H juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang  menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penelitian ini menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan dan permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)  berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan.

B. Rumusan Permasalahan

               Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum khususnya dibidang kehutanan. Berdasarkan pada latar belakang di atas,  dirumuskan kajian permasalahan sebagai berikut :

1.    Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan?
2.    Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?




C.    METODE PENELITIAN
Penelitian hukum dalam ini adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut; Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Pendekatan konsep (conseptual approach),  yaitu pendekatan ini digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat dalam pikiran dan Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu perundang-undangan.
Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni, penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran memperluas, dan  penafsiran yang mempertentangkan[6]. Semua tipe penafsiran di atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis dan sistematis.

B. TINJAUAN UMUM DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI INDONESIA
                                          
1.       Tinjauan Umum Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan “hutan”, misalnya hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh dengan pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan.[7]
            Dalam Black Law’s Dictionary hutan di definisikan “Forrest is a tract of    land,                not necessarily wooded, reserved to the king or a grantee, for hunting deer and                         other    game” [8].
                        “Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang dipesan oleh                            raja untuk berburu rusa dan permainan lain”.  

                      Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan       Pemberantasan Perusakan Hutan.  Kawasan Hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1           ayat 2 Undang-undang Nomor  18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan        Perusakan Hutan kawasan hutan adalah “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh           pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.

2.       Jenis-jenis Hutan

Berdasarkan pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut  dapat dijabarkan  sebagai berikut :

2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  RI
Pembagian hutan hutan menurut statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut[9]. Hutan menurut statusnya pasca putusan judicial review Mahkamah Kontitusi terhadap Pasal 5 ayat  1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara,  sehingga Hutan Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari Hutan Negara[10], harus dimaknai sebagai Hutan Hak.
Berdasarkan pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sebagai berikut :
1.   Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya diberikan pemerintah yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke person), koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson).
          Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa disekitar kawasan hutan disebut hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat berbentuk :
a.     Hutan Taman Industri (HTI), ialah  hutan negara yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan suatu industri dan masyarakat.
b.    Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha.
c.       Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa
d.      Hutan Kemasyarakatan (HKm), ialah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan.
           
2.      Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan yang dibebani alas hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara personal dapat dibedakan sebagai berikut:
1.      Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat.                  
2.         Hutan hak/hutan milik  adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Hutan yang berada pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami maupun yang tumbuh alami pada lahan hak/milik.
             
2.2. Fungsi  Hutan
                  Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung dan, (3) Hutan Produksi.
1.      Hutan Konservasi  
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya[11]. Hutan konservasi ini terdiri atas :
1.1.            Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga[12].  Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan cagar alam dan suaka margasatwa[13].
1.2.            Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan, dinyatakan kawasan pelestarian alam ini terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah  Nomor 34 Tahun 2002.
1.3.            Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2.      Hutan Lindung
            Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

3.      Hutan Produksi
            Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan menjadi hutan produksi tetap  dan hutan produksi terbatas.

2.1.               Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya.  

2.2.      Hutan Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan Resapan Air

Hutan jenis ini,  disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3.       KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA  

Kebijakan formulasi hukum pidana didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konsideran yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang kemudian ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan hukum pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

                                                                
1.      Kebijakan Formulasi Tindak Pidana

Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada kerusakan hutan merupakan tindak pidana khusus  yang diatur dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak perbuatan pidananya.
Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan pada asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak ada aturan pidananya”, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, disebut asas culpabilitas  atau dikenal dengan istilah bahasa Belanda “geen straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne schuld”  dalam bahasa Jerman.  
a.      Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang terkait Tindak Pidana Kehutanan
                                                                                                                                                    
  Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)[14]. Perbuatan pidana pada Buku II KUHP tentang Kejahatan, berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum sebagai berikut :

1.      Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412 KUHP)
 Perbutan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai  Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan atau dalam tindak pidana kehutanan, berkaitan dengan pengerusakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal  25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa “setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau merusak, memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan atau luasan kawasan hutan”.
  Umumnya tindak pidana kehutanan hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan terhadap hasil hutan, contohnya pemanfaatan hasil hutan yang diberikan izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi over atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki termasuk penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang menyalahi prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan ekosistemnya tersebut.
2.    Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP)
Kegiatan penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan pidana pencurian dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan “barang siapa mengmabil barang sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dapat dipidana”, perbuatan tersebut dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b dan c, “menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah.

3.    Penyelundupan Pasal 121 KUHP
    Perbuatan penyelundupan hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur tentang penyelundupan. Kegiatan selama ini berkaitan dengan penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak pidana pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain.
Berdasarkan pada pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha penyelundupan kayu  atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penyelundupan hasil hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak sesuai dengan dokumen terhadap penguasaan hasil hutan. ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan, diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan pada Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana perkebunan dalam kawasan hutan  dan Pasal 17 ayat 2 huruf  a, b, c, d, e, Pasal 19 huruf f “mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan huttan secara tidak sah.

4.    Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP)
  Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan  suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
       Perbuatan pidana Pemalsuan dalam KUHP direformulasikan kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam ketentuan Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan, menggunakan izin palsu dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri.

5.    Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP)
 Unsur-unsur penggelapan dalam tindak pidana dibidang kehutanan atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya, penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus dalam ketetuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

6.    Penadahan (Pasal 480 KUHP)
  Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling “ (penjelasan Pasal 480 KUHP).
               Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan jahat dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di persamakan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d, f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, menyuruh, mengorganisasi atau menggerakkan penebangan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan jahat, mendanai, mengubah status pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan, bahkan pesekongkolan dalam menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menitipkan dan/atau menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya dan/atau menyembunyikan atau menyamarkan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

b. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang dibidang Kehutanan
 
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

 Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan Undang-undang ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.
Perbutan pidana  atau tindak pidana dalam undang-undang ini, ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2  dan sistem pemidanaan atau ketentuan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana lainya  diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE.


2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Kegiatan penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan  dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai dengan huruf  m dan ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian besar dicabut dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112  Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,  dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana  Kehutanan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan


            Pengaturan jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang, subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi. Pengaturan sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi atau badan hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari sitsem pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat pada tabel di bawah ini :

                  Tabel : Formulasi Tindak Pidana Kehutanan
                   Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
                 dan  Pemberantasan Perusakan Hutan


No.

Jenis Tindak Pidana

Kesalahan
Sanksi Pidana

1.

Pasal 82 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.    melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin. (Pasal 12 huruf  a).
b.    melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan  tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang.  (Pasal 12 huruf b ).
c.     melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 12 huruf c ).

ayat (2)  Orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan




ayat (3) Korporasi


Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak  Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).








Pidana penjara paling singkat 3  bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,-  (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

2.

Pasal 83 ayat (1) Orang Perseorangan ;
a.    memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 12 huruf d )

b.    mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan. (Pasal 12  huruf e)
c.    memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar. (Pasal 12 huryf h ).

ayat 2 orang perseorangan








ayat 3 orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) c) dan ayat (2) c )



ayat 4 Korporasi;

Kesengajaan



















Kelalaian


Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).













Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit  Rp.10.000.000,- sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Pidana penjara paling singkat 3  bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- dan paling banyak Rp.500.000.000,-


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

3.







Pasal 84 ayat (1) Orang perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12  huruf f )

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah).
Pasal 84 ayat (2) Orang perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf  f )

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pasal 84 ayat 3 Orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan, pada ayat (1) dan ayat (2)


Pidana penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000-, (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

Pasal 84 ayat 4 Korporasi membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf  f )


Pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000-, (dua miliar rupiah)  dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,-  (lima belas miliar rupiah).

4.




Pasal 85 ayat 1 Orang perseorangan membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf g ).

Kesegajaan

Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 85 ayat (2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal huruf 12  g ).


Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-
(lima belas miliar rupiah).

5.














Pasal 86 ayat 1 Orang perorangan ;
a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara.
    (Pasal 12 huruf i ).
b. menyelundupkan kayu yang   berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara. (Pasal 12 huruf j ).


Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 86 ayat (2)  Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

6.













































Pasal 87 ayat (1) Orang perseorangan ;
a. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar.  (Pasal 12 k ).
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf l ).
c. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 m )

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta
rupiah).

Pasal 87 ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,-  (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Pasal 87 ayat 3 Orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) dan ayat (2)


Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 87 ayat (4) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

7.















Pasal 88 ayat (1) Orang perseorangan ;
a.    melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan  peraturan perundangundangan.
(Pasal 16)
b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu. (Pasal 14 )
c. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 15 )

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5  tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 88 ayat (2) Korporasi







Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

7.
















Pasal 89 ayat (1) Orang Perseorangan :
a. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat
(1) huruf b)  dan/atau

b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (1) huruf a).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah).

Ayat (2) Korporasi ;


Pidana denda paling  sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima
puluh miliar rupiah).

8.







Pasal 90 ayat (1) Orang perseorangan mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.  (Pasal 17 ayat (1) huruf c).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,-  (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

9.

















Pasal 91 ayat (1) Orang perseorangan :

a. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau enyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf d)  dan/atau

b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin
(Pasal 17 ayat (1) huruf e).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak  Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

10.


















Pasal 92 ayat (1) Orang perseorangan;
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan. (Pasal 17 ayat (2) huruf b ) dan/atau

b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (2) huruf a).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,-  (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,-  (lima puluh miliar rupiah).

11.






















Pasal 93 ayat (1) Orang perseorangan ;
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf c).
b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf d ) dan/atau

c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e).


Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-  (satu miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah)

12.
















Pasal 94 ayat (1) Orang perseorangan ;
a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan membalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf a). 
b. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan embalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf c ).
c. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung. (Pasal 19 huruf d ) dan/atau
d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri. (Pasal 19 huruf f ).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,-
(seratus miliar rupiah).

ayat  (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,-  (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah).

12.















































Pasal 95 ayat (1) Orang perseorangan :
a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya. (Pasal 19 huruf g

b. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri dan/atau menukarkan uang  atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf h) dan/atau

c. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 19 huruf i ).


Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak  Rp.100.000.000.000,-  (seratus miliar rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 serta pidana denda paling sedikit  Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit
Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah)


13.























Pasal 96 ayat (1) Orang perseorangan :
a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24huruf a).

b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24 huruf b)  dan/atau

c. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Pasal 24 huruf c)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-(lima belas miliar rupiah).


14.























Pasal 97 ayat (1) Orang perseorangan :
a. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25 ) dan/atau

b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan. (Pasal 26)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,-  (satu miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

15.


Pasal 98 ayat (1) Orang perseorangan turut
serta melakukan atau membantu terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah. 
(Pasal 19 huruf b)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,-
(satu miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).


16.




Pasal 99 ayat (1) Orang perseorangan menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf e)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,-(sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak  Rp.1.000.000.000.000,-
(satu triliun rupiah).


17.







Pasal 100 ayat (1) Orang perseorangan mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.  (Pasal 20).


Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

18.

Pasal 101 ayat (1) Orang perseorangan memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.
(Pasal 21)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3  tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan


Pidana penjara paling singkat 3  bulan serta paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

19.










Pasal 102 ayat (1) Orang  perseorangan menghalang-halangi dan/atau menggagalkan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah. (Pasal 22)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-  (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

ayat (2)  Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan paling banyak  Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

20.





Pasal 103 ayat (1) Orang perseorangan melakukan intimidasi dan/atau ancaman
terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah. (Pasal 23)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,-  (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi


Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,-  (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-  (lima belas miliar rupiah).


21.

Pasal 104  Setiap Pejabat yang melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak
menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27.

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat 6  bulan dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.7.500.000.000,- (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).


22.

Pasal 105 Setiap pejabat  yang ;
a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 28 huruf a).

b. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 28 huruf b).

c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 28 huruf c)

d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf d). 

e. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf e).

f.  menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak.  (Pasal 28 huruf f) dan/atau

g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.   (Pasal 28 huruf g)


Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

            Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
            Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

        
Dalam Undang-undang ini juga diatur berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana  Pasal 104, dan setiap pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan pidana tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman sanksi pidana penjara minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau denda.
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur pertanggungjawaban pidana adalah subjek hukum adalah korporasi atau badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin.

2.    Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana

          2.1.   Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability)
           Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana apabila  telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul).

2.2.   Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld)
                Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak pidana maka didasarkan pada asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas”  atau “geen straf zonder schuld
               Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana, sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “,  “criminal responsibility” atau “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa  dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.  Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens rea”, terjemahan aslinya ialah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”.             
2.3. Asas pertanggungjawaban  vicarious liability

            Asas pertanggunjawaban vicarious liability diartikan sebagai  pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk  pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi adalah sebagai berikut :

1.    Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan  asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya.
2.    Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi, dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga merupakan tindakan kehendak dari korporasi.[15]
    Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif. Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut [16] :
a.       Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak.
a.       Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu, tidak mampu.
b.      Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab

  Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur kehilangan atau kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang karenanya pemidanaan bukan merupakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

3.      Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punishment Syistem)

          Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem pemidanaan terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut fungsional dan dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana atau keseluruhan sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.
                         Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie  (WvSNI) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda  Wetbook van Strafrecht  tanggal 2 Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64[17]. Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie  berlaku  berdasarkan asas konkordansi  kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau penambahan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
              
a. Jenis-jenis pidana
           Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut  terdiri atas[18] :

a. Pidana Pokok :
    1. Pidana Mati
    2. Pidana Penjara
    3. Kurungan
    4. Denda
b. Pidana Tambahan
    1. Pencabutan hak-hak tertentu
    2. Perampasan barang-barang tertentu
    3. Pengumuman putusan hakim.


Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan dengan unsur  kesengajaan atau karena  kelalaian, melingkupi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa manusia alamiah (naturlijke person)  ataupun sebagai badan hukum atau korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, baik Perorangan dan Korporasi atau Pejabat Pemerintah


b.      Syarat Pemidanaan
Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of inosance), kesalahan diartikan sebagai telah melakukan tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.

c.  Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan
Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak pidana kehutanan dibedakan terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada disekitar kawasan hutan, badan hukum atau korporasi dan pejabat  pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas sesuai kewenangannya. Dengan dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi
Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orang-perorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur  dalam satu rumusan pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman sanksi pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum.

 d. Lembaga  atau Instansi lain yang berwenang menangani Tindak Pidana dibidang Kehutanan
a.   Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
           Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ;
1.  Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2.  Menegakkan hukum dan,
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.


Dalam melaksanakan tugas  salah satunya menegakkan hukum Kepolisian  Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum atau kejahatan, termasuk  penanganan tindak pidana khusus/tertentu. Penegakan hukum dilakukan meliputi upaya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus yang diatur dalam Undang-undang Khusus.

2.        Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan PPNS Kehutanan
Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat strategis dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya hal ini melahirkan fungsi-fungsi dalam usaha pengelolaan,  perlindungan hutan dan konservasi alam.  Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)[19] sebagai bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan. Pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.

3.    Kejaksaan Republik Indonesia
                  Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004  tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1 kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ;
a.  Melakukan penuntutan,
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.   Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas bersyarat.
d.      Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang.
e.       Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan penyidik.

          
              Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.
d. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
  Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai berikut ;
a.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic Mission.
b.  Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap terjadinya penebangan liar illegal logging  diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.  Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan tropis Indonesia.

 Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat penyidik pegawai negeri sipil,  peyidik kejaksaan terkait dengan tindak pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya.

C. Kewenangan Lembaga  Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), Kedudukan dalam  Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan
       
                    Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan asas-asas hukum yaitu, dengan memperhatikan keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan.   Amanat yang ada dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal  54 ayat (1) dinyatakan bahwa; dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
                   
a.      Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)

                  Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pembentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan perusakan hutan.  Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan.

           
b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum

Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan,  kerjasama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum  sangat diperlukan. Lembaga penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan terintegrasi[20].  Upaya untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.  

2.   Struktur Kelembagaan dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)

 a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan P3H
 Struktur pelaksanaan tugas kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1  Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan  dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal dan beberapa orang Deputi.  Dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab lembaga dimaksud.
   Selanjutnya pada ketentuan Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,  lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan dengan bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut[21] :
a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

     Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan.
  
b. Unsur-unsur dalam kelembagaan P3H
                    Dalam penanganan penanggulangan dan pencegahan tindak pidana perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3  Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari  unsur-unsur antara lain  :
a.                                                                                                                                                    Unsur Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
b.   Unsur Kepolisian Republik Indonesia
c.    Unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
d.   Unsur lain yang terkait. [22]

                         Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan  tugas  dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
                         


3.   Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)

Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagimana disebut sebagai kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh Undang Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undang-undang.

1.                  Ruang lingkup Tugas dan Fungsi  
1.1.      Pencegahan
Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana (non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah  berkewajiban  membuat kebijakan berupa[23] :

a.       Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan  pemberantasan perusakan hutan;
b.      Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
c.       Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga  kelestarian hutan;
d.      Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat  geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e.       Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

   Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya adalah dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan termasuk melakukan kampanye anti perusakan hutan. Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.
Kegiatan atau upaya pencegahan perusakan hutan yang dilakukan seperti tersebut di atas, adalah temasuk juga upaya pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana diantaranya juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum administrasi negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan pemanaatan hasil hutan, guna untuk pencegahan perusakan hutan.
1.2.      Penindakan atau Penegakan Hukum
                Dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan dengan cara menindak secara  hukum atau penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan.
         Penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, dalam hal melakukan 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu; Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan terhadap Perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana yang dilakukan terhadap hutan, kawasan hutan dan peredaran hasil hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.
                 
1.                  Penyelidikan  dan Penyidikan
1.1.      Penyeledikan.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini[24].  Berkaitan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Proses penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari peyelidikan, penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, proses hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana terpadu yang dikenal dengan istilah (integreted criminal justice syistem), tahapan-tahapan dalam proses hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ;
1.2.      Penyidikan
Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation) tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa pidana atau delik,  dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan.   Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[25] 
         Dalam ketentuan Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang dapat melakukan Penyidikan[26] adalah pejabat Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sementara  dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,  sebagaimana dalam ketentuan Pasal 30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang untuk sebagai berikut [27] :
a.       Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan
c.       Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan
d.      Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.
e.       Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan
f.       Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
g.      Meminta bantuan  ahli  dalam  rangka  pelaksanaan  tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan
h.      Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan
i.        Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
j.        Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Wilayah Kepabeanan.   
           
2.      Penuntutan
Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai penuntut terhadap perkara tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus juga dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain jaksa diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrahts) sebagai eksekutor.                            
3.      Persidangan di Sidang Pengadilan

Proses persidangan merupakan proses pemeriksaan dan pembuktian yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam penanganan perkara pidana secara hukum (litigasi).  Tahapan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses  peradilan, karena sebagai institusi lembaga pengadilan merupakan institusi/lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk menyatakan dan memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya berdasarkan hukum dan sesuai dengan peraturan-perundangan yang belaku. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa atau penuntut umum adalah :
a.                   Apakah benar suatu peristiwa telah terjadi
b.                  Apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana
c.                   Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi
d.                  Siapakah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Dalam proses persidangan pembuktian merupakan penentu berhasil tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak pidana atau terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan keputusannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)[28] ditentukan alat bukti sebagai berikut :
a.    Alat bukti Keterangan  Saksi
b.   Alat bukti Keterangan Ahli
c.    Alat bukti Surat
d.   Alat bukti Petunjuk
e.    Alat bukti Keterangan Terdakwa
 Berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan bahwa terdakwa bersalah, telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya[29]. Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan hakim

C. KESIMPULAN
                      Dari pembahasan di atas, dapat diajukan kesimpulan adalah sebagai berikut :
1.         Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990  tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana  yang diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai dengan maksimum khusus.
2.         Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) adalah bersumber dari kewenangan yang diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk, kedudukan, ruang lingkup kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55, 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan pemberantasan atau penindakan.  Tugas dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat, partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye anti perusakan hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan lembaga P3H, melalui penegakan hukum (law enforcement) melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan, diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga, memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana kehutanan.


















DAFTAR  PUSTAKA

A.       Buku – Buku

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,  (Raja  Grafindo Persada, Jakarta), 2012.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang), 2000.

 J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya Bhakti), 2011
Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-pokok pikiran Revis Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, (CV. Arti Bumi Intara Yogyakarata), 2011.
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di Bidang Kehutanan, cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta) 2012.
Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan di Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan-Indonesia), 2005.
Sukaradi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atmajaya, Yogyakarta), 2005.
Anonim,  Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan, (Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian Office, Jakarta), 2013.


B.           Peraturan Perundang-undangan
a.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b.    Udang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
c.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diubah Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
d.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

a.      Desertasi,  Thesis, Jurnal dan Makalah


Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum Khusus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi Program Studi Doktoral Universitas Brawijaya),      Mei  2014.

Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan Kegiatan Polisi Kehutanan Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta, 2012.


b.      Internet dan Media


M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal, 18   juni 2009 jam 10.00 wita
http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia, diakses pada tanggal 10 Januari 2015, jam 11.00 wita.
Romli Atmasasmita,  Pengertian dan tujuan hukum, http://statushukum.com, diposting pada tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.





[1] Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
[2] Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 94-99.
                    [3] Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang ditetapkan, lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40
[4] Deforestation  adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
  [5] Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati” Pokok-pokok Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964,  CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011, hlm. 37.
[6] Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165
[7]  Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Cet. I, Erlangga, Jakarta, 1995, hlm. 11.
[8]  Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
[9]  Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta, 2003, hlm. 43 
[10]  http://ugm.ac.id,  Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi  Tentang Hutan   Adat,    tanggal 21 Februari 2014.
[11]  Pasal 1 ayat  9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[12]  Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[13]  Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34  Tahun 2002.

[14]  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
[15] Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HUkum Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 9.
[16]  Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12
                [17]  J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887),  hlm. 1
[18]  Pasal 10 KUHP.
[19] Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat  (SPORC), Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus Polisi Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan secara cepat, tepat dan akurat.

[20]  Terintegrasi  adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain, penjelsan Pasal 57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang  P3H.
                [21]  pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H
                [22] Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013  tentang P3H
[23]  Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2013
[24]  Pasal 1 angka 5 KUHAP
                [25] Pasal 1 ayat 2  KUHAP.
[26] Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H.
            [27] Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.
[28] Pasal 184  Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
[29] Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar