STRATEGI PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI
KAWASAN HUTAN
Oleh :
Astan
Wirya
A. Latar Belakang
Selama 50 tahun terakhir hutan Indonesia
telah berkurang penutupan hutannya sekitar 25-40 % (40-60 juta ha). Kondisi
tersebut disebabkan karena terjadinya eksploitasi hutan yang
tidak memperhatikan aspek kelestarian hutan, menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan, kepunahan jenis flora dan fauna, konflik sosial, hilangnya
pendapatan pemerintah, dan kegagalan untuk mempertahankan sumber daya alam
untuk generasi mendatang. Hal ini terjadi karena berbagai faktor dengan
penyebab utamanya antara lain penebangan liar, perambahan hutan dan
kepentingan pembangunan non kehutanan.
Sejak tahun 1998 laju kerusakan hutan di
Indonesia mencapai 2,83 juta ha per tahun. Tingginya laju kerusakan hutan
menjadi isu penyebab bencana alam berupa banjir, erosi, dan tanah longsor yang
akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Isu
mengenai penyebab bencana tersebut banyak dikaitkan dengan aktivitas manusia
yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekosistem, antara lain disebabkan
adanya perambahan dan penggundulan hutan yang sulit dikendalikan di bagian hulu
daerah aliran sungai. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan secara
preventif dan represif, namun belum berjalan optimal.
Kawasan konservasi sebagai benteng terakhir
hutan kita juga tidak terhindar dari ancaman gangguan perambahan hutan. Hal
inilah yang mendasari perlunya strategi penanganan perambahan di kawasan
konservasi.
B. Penyebab Perambahan Hutan
Perambahan hutan adalah kegiatan usaha tani
atau mengambil hasil hutan dari dalam kawasan hutan secara tidak sah yang
mengakibatkan kerusakan hutan yang dilakukan oleh setiap orang atau badan
usaha. Hal ini berarti segala bentuk kegiatan yang dilakukan
masyarakat tanpa izin pemerintah) di areal hutan yang dianggap pemerintah
sebagai hutan cagar alam, hutan konservasi, hutan produksi dan hutan lindung
akan dianologikan sebagai pelanggaran terhadap peraturan pemerintah.
Andono (2003) menuliskan bahwa perambahan
hutan merupakan sebuah bentuk akibat dari berbagai macam faktor penyebab yang
sangat komplek baik itu dari dalam (internal) maupun faktor dari luar
(eksternal), faktor-faktor penyebab ini saling mempengaruhi hingga membentuk
lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Faktor –faktor penyebab ini
dapat di jabarkan sebagai berikut:
a. Terjadinya krisis ekonomi dan krisis politik
memicu timbulnya ancaman dan gangguan hutan secara umum yang dilakukan oleh
masyarakat/oknum secara massal, sporadis, brutal dan sifatnya sudah mengancam
kelestarian kawasan konservasi.
b. Tingkat ekonomi masyarakat desa
yang tidak mencukupi kehidupan sehari-hari, dan tidak mengoptimalkan manfaat
hutan secara lestari, pemikiran yang pendek tentang manfaat hutan seperti
penebangan liar, perambahan membuat mereka terperosok kedalam pemikiran
kekinian saja tidak terpikir untuk masa depan Keluarga Sejahtera.
c.
Krisis politik yang terjadi berdampak ketidak percayaan masyarakat
terhadap aparat pemerintah, sehingga menghambat dalam pengamanan dan
perlindungan hutan di Kawasan Konservasi . Selain itu kondisi aparat/oknum yang
ada baik dari unsur pemerintahan, maupun pihak keamanaan juga sangat melemahkan
kondisi keamanaan tersebut.
d. Kondisi
alam yang tidak proporsional dengan jumlah Polhut, peralatan pengamanan (sarana
prasarana).
e.
Adanya aktor intelektual di belakang aksi-aksi tersebut, seperti adanya
pemodal yang mampu memodali perambahan tersebut, bahkan banyak LSM-LSM yang
menjajikan bantuan kepada para perambah dalam bentuk kridit, dana hibah dan
lain sebagainya.
f.
Adanya program pemerintah yang memicu perambahan sebagai dampak
pelaksanaan dilapangan yang kurang baik (KUT).
g.
Adanya pemukiman di sekitar kawasan, semakin besar jumlah penduduk
disekitar kawasan kan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keutuhan
kawasan. Kondisi ini sangatlah pelik untuk di selesaikan mengingat banyaknya
instansi yang terkait terutama Pemda setempat.
h. Sulitnya
koordinasi dengan pihak terkait mengingat perbedaan tingkat jabatan struktural
.
i.
Sarana informasi dan transportasi yang sangat terbatas sehingga
penyebaran informasi menjadi terhambat, padahal informasi yang cepat dan tepat
merupakan kunci pokok didalam pengamanan kawasan konservasi. Sementara
Informasi dikalangan perambah sangat cepat baik dari segi cara-cara/teknis
perambahan hingga dalih bila di tertibkan hampir sama.
j.
Perbedaan presepsi didalam pengelolaan kawasan konservasi diantara para
pejabat terkait (Pemda/Dinas , Kepolisian, Militer, maupun Departemen lainnya).
k. Adanya perbedaan Kepentingan, perbedaan
Tata Nilai, serta Perbedaan Pengakuan terhadap kawasan
konservasi oleh seluruh para pihak yang terlibat baik masyarakat,
pengusaha, pemerintah daerah, kepolisian dan lain sebagainya.
l.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang
arti, peranan, dan manfaatkawasan konservasi bagi sistem penyangga kehidupan,
ilmupengetahuan, kekayaan keanekaragaman hayati, hidroorologis, bahkan paru-paru dunia.
m.
Perlu dana yang cukup besar dan
berkelanjutan serta waktu yangpanjang untuk program-program seperti penyuluhan,
sosialisasi, hukum (penyidikan hingga putusan pengadilan),
pemberdayaan masyarakat Karena selain mengusir para perambah juga
harus merubah cara pandang/pola pikir terhadap kawasan
konservasi.
n. Perlunya Keterlibatan yang aktif, partisipatif,
dan kolaboratif sertaintensif seluruh Dinas-Dinas yang ada di Pemerintahan
Kabupaten danInstasi terkait lainnya dalam mencari jalan keluar
permasalahanperambahan ini, Permasalahan ini tidak akan pernah selesai bila hanya dipikirkan dan dikerjakan secara sepihak maupun
sendiri sendiri oleh pengelola hutan karena keterbatasan
wewenang (non teknis) dan teknis.
C. Kondisi Saat Ini
Ditjen PHKA
melalui UPTnya Balai TN dan Balai KSDA wajib melakukan pengelolaan di
tingkat lapangan. Ini mandat yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun
sampai dengan saat ini, mandat tersebut belum diterjemahkan ke dalam ”bahasa
teknis” pengelolaan oleh seluruh UPT, dengan berbagai alasan dan latar
belakangnya.
Belum
terjemahkannya pengelolaan di tingkat lapangan dalam bahasa teknis
mengakibatkan intensitas gangguan semakin meningkat di kawasan konservasi yang
notabene menjadi benteng terakhir hutan kita.Pengabaian pengelolaan di tingkat
lapangan dalam waktu yang lama mengakibatkan :
a. Perkembangan persoalan dan potensi kawasan
di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Misalnya siapa dan
berapa luas kawasan yang merambah per satuan waktu tidak pernah diketahui.
Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan
bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai
kelompok-kelompok terorganisir itu, dan petugas semakin tidak berani memasuki
kawasannya selama bertahun-tahun. Proses ini disebut sebagai sebagai proses
”pembiaran”. Berkonotasi negatif seolah-olah terjadi kesengajaan dari pihak
pengelola untuk tidak berbuat apapun, dan dalam beberapa kasus, terkesan
”sengaja” menutupi persoalan tersebut. Perambahan di beberapa kawasan
konservasi yang semakin tidak terkendali, merupakan buah dari proses pembiaran
yang lama. Sistem pemantauan kawasan yang efektif tidak atau belum dibangun di
tingkat lapangan. Demikian pula sistem ini belum dibangun di tingkat pusat
hingga saat ini.
b. Di pihak lain,
ketika sistem penataan dan pemantauan perambahan/kerusakan di lapangan tidak
dibangun dengan konsisten, di mata penegak hukum-polisi, jaksa, pengadilan,
kita juga bisa dan seringkali dinilai tidak serius. Kita disalahkan karena
punya kawasan tidak dikelola, dijaga, dan dipantau. Ketika persoalan menjadi
semakin tidak terkendali, baru dilakukan penegakan hukum. Dalam kondisi
pengelolaan yang seperti ini, maka pengelolaan kawasan konservasi masih
diwarnai dengan sikap yang reaktif. Ketika terjadi persoalan, baru dilakukan
upaya represif dan penegakan hukum, dengan meminta bantuan Kepolisian,
Kejaksaaan, dan Pengadilan. Oleh karena itu, komitmen jangka panjang dengan
jajaran penegak hukum tersebut harus dibangun agar hukum dapat ditegakkan di lapangan.
Proses hukum juga tidak hanya terbatas pada P-21, tetapi harus dipantau dan
dikawal sampai putusan pengadilan yang tetap.
c. Ketiadaan
petugas di lapangan, juga mengakibatkan tanda atau pal batas kawasan konservasi
dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak (cukup) difahami dan diakui
oleh masyarakat. Dengan demikian, maka jangan harap kita akan mendapatkan
dukungan dari masyarakat. Sementara itu, pengelola mengetahui bahwa dengan
keterbatasan dana, sarana prasarana, dan luasnya kawasan yang harus dikelola,
maka hampir mustahil mampu melakukan pengelolaan secara soliter tanpa dukungan
dari masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, Pemda, lembaga swadaya
masyarakat, swasta, atau mitra lainnya.
d. Akumulasi dan resultante dari ketiga aspek
tersebut di atas, maka kerusakan semakin meluas, sampai pada skala yang hampir
sedemikian besar untuk ditangani oleh UPT dalam beberapa tahun ke depan. Contoh
di kawasan TN.Tesso Nilo, kecepatan okupasi untuk penanaman sawit adalah seluas
1.990/tahun pada periode 2005-2007, dengan total perambahan di 2007 seluas
5.727 Ha. Sebagian besar perambah sebanyak 1.652 KK atau 89,7% yang menduduki
TN Tesso Nilo berasal dari wilayah perbatasan Riau-Sumatera Utara. Kecepatan
perluasan perambahan di areal calon perluasan TN Tesso Nilo, di eks areal HPH
PT Nanjak Makmur sebesar 2.191 Ha/tahun. Gambaran kasus ini cukup sebagai
alasan pembenar bahwa harus dilakukan upaya-upaya yang lebih terstruktur,
sistematis, dan konsisten dalam menyelesaikannya.
D. Kondisi yang Diinginkan
Mensikapi
perkembangan pembangunan di berbagai bidang selama 30 tahun terakhir yang telah
berdampak pada perubahan-perubahan besar pada pola penggunaan lahan, antara
lain untuk perkebunan skala besar terutama sawit, pembangunan jaringan jalan,
pertambangan, pertumbuhan kota-kota baru, lahirnya banyak kabupaten dan
provinsi baru, maka harus disusun strategi pengelolaan kawasan konservasi yang
berbasiskan pada kawasan, pada teritorial. Strategi tersebut antara lain :
1. Konsep
pemangkuan dan pengelolaan kawasan konservasi ini harus diterjemahkan ke dalam
bahasa teknis dan didukung dengan kajian ilmiah yang memadai, dalam rangka
mencapai tujuan pengelolaan yang lebih fokus, efektif, sesuai skala prioritas,
dan bermanfaat.
2. Pemantauan dan
evaluasi pengelolaan kawasan konservasi harus dilakukan secara efektif dengan
memanfaatkan teknologi GIS/Remote Sensing, yang didukung oleh Team Reaksi
Cepat, dan Team Kerja di Tingkat Resort, untuk melakukan crosscheck, pemetaan
persoalan dan pemetaan potensi kawasan, mengembangkan tipologi persoalan dan
tipologi potensi, dan opsi solusi persoalan dan pengembangan potensi di tingkat
lapangan.
3. sistem kerja kolaboratif dan perencanaan
bottom-up berbasis resort dalam mendukung tujuan pengelolaan, yang ditetapkan
dalam Visi dan Misi pengelolaan kawasan konservasi.
4. Membangun
berbagai inisiatif kolaborasi multipihak di berbagai level dalam rangka
meningkatkan komunikasi dan pembelajaran dan ”platform” atau Agenda Bersama
terhadap peneyesaian masalah dan pengembangan potensi.
5. Membangun
kapasitas dan kapabilitas ”leadership” di seluruh tingkatan jabatan struktural
maupun fungsional, melalui proses pembelajaran multipihak.
6. Membangun
dukungan kebijakan di tingkat nasional dari jajaran Departemen Kehutanan
(lintas Eselon I), Departemen terkait lainnya, maupun mitra kerja Ditjen PHKA
dan mitra kerja Departemen Kehutanan.
E. Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi
Mensikapi latar belakang, penyebab
terjadinya perambahan, kondisi saat ini dan kondisi yang diinginkan, minimal
dalam periode 5 tahun ke depan (2009 – 2014) telah diusulkan strategi
penanganan perambahan di kawasan konservasi sebagai berikut :
1. Tingkat Nasional
a. Pada tataran nasional, kawasan-kawasan konservasi
telah dimasukkan ke dalam Tata Ruang Nasional. Peta Dasar Tematik
Kehutanan (peta penunjukan yang diperbaharui) secara bertahap per-propinsi yang
sudah dideklarasi oleh Menteri Kehutanan, perlu segera dijadikan dasar atau
acuan bagi sektor lain untuk menetapkan Tata Ruang Pulau.
b. Penataan dan penjagaan kawasan konservasi. Proses
penataan ini ditujukan untuk menata kawasan konservasi menjadi unit-unit
pengelolaan sampai dengan tingkat lapangan atau unit-unit pengelolaan kawasan :
dari Seksi Wilayah sampai dengan Resort.
c. Ditjen
PHKA mendorong dan memfasilitasi diterbitkannya INPRES Penanganan perambahan di
kawasan konservasi. Instruksi Presiden ini akan melibatkan lintas
departemen/lembaga untuk penyelesaian perambahan di kawasan hutan maupun di
kawasan konservasi.INPRES ini akan dijadikan dasar bagi pemerintah propinsi dan
atau pemerintah kabupaten bersama-sama dengan UPT Ditjen PHKA, menyiapkan TIM
Terpadu Penanggulangan perambahan di kawasan hutan dan di kawasan konservasi.
Direktorat Konservasi Kawasan sedang memproses usulan INPRES ini dalam tahun
2010.
d. Pengamanan hutan
dilakukan secara terpusat melalui badan/lembaga yang berdiri sediri. , ex;
BPTPK ( badan penanggulangan tindak pidana kehutanan).
2. Tingkat Kementerian Kehutanan
Penataan kawasan konservasi perlu di dukung
dengan data dan informasi spasial dan non spasial yang akurat dan up to date. Data
dan informasi ini bukan hanya di masing-masing kawasan konservasi tetapi juga kondisi
penggunaan lahan dan penutupan lahan kawasan penyangga di sekitarnya.
Direktorat Konservasi Kawasan, khususnya
Subdit Pemolaan dan Pengembangan dan Subdit PIKA akan menjadi Lead
Agency dalam mengembangkan laboratorium GIS/Remote Sensing untuk
membangun sistem penataan kawasan dan sistem monitoring dan evaluasi kawasan
konservasi. Kedua Subdit ini akan bekerja intensif dan terpadu dengan
bagian program anggaran dan bagian evaluasi-Setditjen PHKA dan Direktorat PPH.
Tim yang bekerja pada laboratorium GIS/Remote
Sensing Ditjen PHKA akan membantu dan memfasilitasi UPT untuk melakukan
penataan kawasan menuju pengelolaan sebagai KPH Konservasi, termasuk dalam
rangka membangun Sistem Pemantauan Perambahan Kawasan Konservasi dan membangun
database kawasan.
Ada 30 UPT yang dipilih sebagai Pilot
Project 2010 dengan kriteria : Status Internasional (World Heritage Site, Cagar
Biosfer, Ramsar), status KPH Konservasi, Kejelasan Lokasi Perambahan, Kesiapan
Data Primer UPT, Kesiapan Data Sekunder di Pusat, Upaya Penanganan dari UPT,
Kesiapan SDM dan Peralatan dan Dukungan Mitra di tingkat UPT.
Untuk itu, telah terbit Keputusan Dirjen
PHKA Nomor: SK.35/IV-KK/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanganan
Perambahan di KSA dan KPA. Sebagai tindak lanjutnya, telah diterbitkan
Surat Edaran Dirjen PHKA Nomor. S.200/IV-KK/2010 tanggal 26 April 2010, yang
meminta seluruh UPT Ditjen PHKA melakukan pemantauan perambahan di KSA dan KPA
berbasis penginderaan jauh (Wiratno, 2010).
3. Tingkat UPT
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Kawasan
Konservasi Nomor: S.200/IV-KK/2010, setiap UPT diperintahkan untuk membangun
TIM GIS/RS untuk mendukung pemantauan perambahan secara spasial, tetapi
sekaligus juga menyiapkan bahan dalam rangka penataan kawasan berbasis resort. Laboratorium
GIS/RS ini akan menghasilkan data/informasi spasial dan mendasar yang akan
dijadikan bahan bagi “Tim Penanganan Perambahan”. Tim ini bertugas untuk
melakukan pemetaan sejarah persoalan-persoalan kawasan, pemetaan biofisik dan
sosek budaya, dengan capaian akhir ditetapkannya Tipologi Perambahan, Tipologi
Resort dan Tipologi Daerah Penyangga.
F. Penutup
Implementasi Strategi penanganan perambahan
hutan di Kawasan Konservasi akan mantap apabila pengelolaan di tingkat lapangan
sebagai ujung tombak semakin diperkuat. Implementasi strategi ini adalah
Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort.
PUSTAKA
Andono, Ardi, 2003. Penanganan Gangguan
Keamanan Hutan di Wilayah Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat IIhttp://www.student. Unimaas.nl/a.andono/mklhpjrhn2003.pdf.
Diakses 20 Januari 2010 Jam 10.30 Wita.
Wiratno, Ir., M.Sc., 2010. Arah
Pengelolaan Kawasan Konservasi Ke Depan.Makalah Pertemuan Koordinasi
Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di
Makassar. Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam.
Wiratno, Ir., M.Sc., 2010a. Penataan
Kawasan Konservasi Menuju Pengelolaan Berbasis Resort. Makalah
Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada
Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Pramaria, Andi, Ir.
M.Si., pemantauan illegal survey di kawasan hutan ntb pada tanggal, tahun
2011.
Mantap...bro
BalasHapusLayout halaman belum rapi...
Salam Rimbawan..
Trimakasi Kawan.....
BalasHapusjarang buka dan masih belajar.
Di Rimba tetap JAYA