Selasa, 18 September 2012

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN PENGAMANAN HUTAN PARTISIPATIF BAGI POLISI KEHUTANAN



 
LAPORAN
PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN PENGAMANAN HUTAN PARTISIPATIF BAGI POLISI KEHUTANAN


 


I.           Pendahuluan


A.       Latar Belakang

    Hutan merupakan salah satu dari kekayaan alam yang mempunyai fungsi cukup besar bagi kelangsungan hidup manusia secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat begitu besar manfaat hutan, maka perlindungan dan pengamanannya harus dilakukan baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat di sekitar kawasan hutan secara berkesinambungan.
    Untuk itu perlu kiranya dilakukan upaya menambah pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku bagi para petugas dilapangan, khususnya Polisi Kehutanan (Polhut) melalui diklat agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik dan bekerjasama dengan masyarakat setempat dalam upaya pengamanan hutan secara partisipatif.
    Dalam perlindungan dan pengamanan hutan secara lestari harus meningkatkan keterlibatan masyarakat disekitar hutan. Aparat kehutanan khususnya Polhut yang bertindak sebagai ujung tombak harus mengenal kondisi dan karakteristik masyarakat sekitar hutan. Untuk itu setelah mengikuti diklat ini Polhut diharapkan mampu untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengamanan hutan


 
B.       Dasar hukum
a. SPT Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB No. 090 /165/ Sekt– Dishut/2012, tangal 23 April 2012
b. Surat Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kupang Nomor : 157/BDK/I/2012 perihal Pemanggilan Peserta Diklat Pengaman Hutan Partisipatif Bagi Polisi Kehutanan tahun 2012.

C.       Tujuan Diklat
Tujuan dilaksanakannya pendidikan dan latihan pengamanan hutan partisipatif bagi Polhut adalah agar dapat  melakukan kegiatan dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dengan berperan aktif dalam upaya pengamanan hutan;
Dengan tujuan diklat tersebut Polisi Kehutanan diharapkan mampu untuk :
a.     Menjelaskan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengamanan hutan;
b.     Membuat rencana pengamanan hutan partisipatif ;
c.     Menjelaskan berbagai upaya dalam perlindungan dan pengamanan hutan.
d.     Menjelaskan berbagai kegiatan yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan masyarakat dalam kawasan hutan.
e.     Melaksanakan teknik operasional pengamanan hutan dan hasil hutan bersama masyarakat
f.      Melakukan koordinasi dengan masyarakat dalam upaya pengamanan hutan
g.     Melakukan tugas-tugas penyuluhan dengan baik dan benar.

II.         Hasil Pelaksanaan Diklat

D.       Waktu Pelaksanaan Diklat
Adapun waktu pelaksanakan Kegiatan Diklat pengamanan hutan partisipatif bagi Polhut dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari  setara dengan 150 jam pelajaran @ 45 menit ( terdiri dari 60 jam pelajaran teori dan 90 jam pelajaran praktek) dimulai dari mulai tanggal, 25 April s/d 14 mei 2012.

E.       Tempat Diklat
Tempat pelaksanaan diklat adalah di Balai Diklat Kehutanan Kupang di Kupang jalan Untung Suropati Kotak Pos 76 kode pos 85110, telepon (0380) 833129, fax. (0380) 839329.

F.        Peserta dan pelaksana Diklat
             1.                                         Peserta Diklat
a. Jumlah peserta diklat pengaman hutan partisipatif bagi Polhut sebanyak 24 orang
b.  Peserta berasal dari Provinsi Bali, NTB dan NTT yang merupakan daerah pelayanan dari Balai Diklat Kehutanan Kupang.

2.     Pelaksana Diklat
       Pelaksana diklat pengamanan hutan partisipatif bagi polhut yang berasal dari dinas kehutanan provinsi NTB berjumlah 4 (empat) orang sebagi berikut :
1.  Astan Wirya, SH
2.  Sabaruddin, SH
3.  Ida Bagus Gede Indra Gunawan, SH.
4.    Yuliadi Amri, SH

  1. Metode Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan kegiatan  digunakan metode ;
a.         Metode ceramah adalah Narasumber/Insruktur memberikan materi/pelajaran terkait dengan teknik pengamanan hutan partisipatif.
b.        Metode Tanya Jawab adalah peserta diklat dapat bertanya kepada Widyaiswara/pengajar/instruktur, kemudian di jawab oleh narasumber/instruktur.
c.         Metode Diskusi adalah suatu permasalahan didiskusikan untuk mendapat solusi/penyelesaian.
d.        Praktek lapangan dan Simulasi merupakan kegiatan langsung dilapangan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan gangguan keamanan hutan.


  1. Pengajar Diklat
Para pengajar yang menjadi narasumber/pasilitator Diklat pengamanan hutan partisipatif bagi Polhut, ini adalah berasal dari balai diklat kehutanan kupang/instansi/lembaga lain yag terkait bila diperlukan yang memenuhi syarat yaitu;
-      Menguasai materi yang akan diberikan
-      Menguasai dan mampu menerapkan metodologi belajar orang dewasa
-      Mampu memotifasi peserta diklat dan mengevaluasi hasil belajar.

  1. Kurikulum dan jadwal Diklat

(terlampir)



III.                                           Penutup

Pendidikan dan latihan (Diklat ) pengamanan hutan partisipatif bagi Polisi Kehutanan ini merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia terhadap penanggulangan gangguan keamanan hutan di masa mendatang dengan kegiatan ini juga diharapkan terwujudnya iklim kerjasama dan sinergistas seluruh jajaran perlindungan hutan khususnya Polisi kehutanan, instansi terkait, swasta dan masyarakat dalam penanggulangan gangguan keamanan hutan.

Demikian laporan kegiatan Pendidikan dan latihan Pendidikan dan latihan (Diklat ) pengaman hutan partisipatif bagi Polisi Kehutanan dan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung sehingga terlaksananya kegiatan Diklat sampai selesai.



Mataram,      Mei 2012
PELAKSANA,

1.  Astan Wirya, SH                           (_________________)

2.  Sabaruddin, SH                             (_________________)

3.  I.B Gde Indra Gunawan, SH.          (_________________)

4.    Yuliadi Amri, SH                            (_________________)


Minggu, 22 April 2012

POLISI KEHUTANAN NTB


LAPORAN PEMANTAUAN ILLEGAL SURVEY - NTB
TIEM OPERASI PENGAMANAN HUTAN NTB
POLISI  KEHUTANAN

I.    PENDAHULUAN


1.   Latar Belakang
Pembangunan kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, menghadapi beberapa permasalahan yang membawa implikasi cukup luas, baik dalam dimensi ruang maupun sektoral. Permasalahan ruang, terutama disebabkan adanya kebutuhan ruang bagi pembangunan berbagai sektor yang semakin tinggi seperti sektor pertanian, prasarana wilayah, perhubungan dan telekomunikasi, permukiman dan transmigrasi, pertambangan dan lain-lain. Alokasi ruang bagi pembangunan sektor-sektor tersebut, pada dasarnya sudah disediakan diluar kawasan hutan atau yang biasa disebut dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Namun demikian, seringkali terjadi kebutuhan ruang yang mengharuskan penggunaan kawasan hutan karena menyangkut lokasi suatu kawasan, seperti pemasangan repeater untuk telekomunikasi yang mengharuskan menggunakan kawasan yang berelevasi tinggi atau kawasan hutan pada umumnya, kegiatan pertambangan karena menyangkut potensi yang terkandung dalam tanah, pembangunan jalan dan jembatan karena menyangkut akses suatu wilayah terhadap wilayah lain, pembangunan dam dan bendungan karena kebutuhan akan irigasi atau efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan air, dan lain-lain.
Kebutuhan ruang tersebut, menyebabkan keberadaan kawasan hutan seringkali dipandang sebagai penghambat pembangunan sektor lain karena penggunaan kawasan hutan yang banyak mengalami kendala. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa penggunaan kawasan hutan harus seizin Menteri Kehutanan, sedangkan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan tidak diperkenankan dengan cara pertambangan terbuka. Proses penggunaan kawasan hutan tersebut, seringkali memerlukan waktu yang cukup lama karena persyaratan yang tidak lengkap dan status fungsi kawasan hutan yang tidak tepat.
Penggunaan kawasan hutan dapat ditempuh melalui prosedur izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pengganti Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1995. Perubahan peraturan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas serta mempermudah dalam penggunaan kawasan hutan terutama yang dilakukan melalui prosedur pinjam pakai kawasan hutan. Terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan yang mengarah pada kemudahan, antara lain (1) mekanisme pinjam pakai kawasan hutan dilakukan melalui perizinan, tidak melalui perjanjian pinjam pakai kawasan hutan, (2) waktu pinjam pakai kawasan hutan dilakukan selama waktu penggunaan dengan melakukan monitoring setiap tahun dan evaluasi setiap 5 tahun atau masa berlakunya habis, (3) meningkatkan tanggung jawab pengguna kawasan hutan untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam perizinan, dan lain-lain. Hal ini akan memberi kepastian dalam kegiatan usaha dan penggunaan kawasan hutan karena akan mengatur secara jelas hak dan kewajiban pengguna kawasan serta memberi peluang usaha dalam batasan waktu yang jelas yaitu selama masih digunakan dengan catatan memenuhi prosedur dan ketentuan dalam pinjam pakai kawasan hutan.
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64, mempunyai beberapa fungsi hutan yaitu hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Pembagian status fungsi hutan tersebut menyebabkan pengelolaan hutan harus mendasarkan pada fungsi-fungsi pokok hutan dimaksud, karena pegelolaan atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan status fungsi akan memberi pengaruh terhadap kondisi wilayah secara keseluruhan. Kawasan hutan produksi tetap diarahkan bagi produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungan. Produksi hasil hutan kayu dapat dilakukan dengan metode tebang habis dengan tanaman buatan, namun hal ini tidak dilakukan dalam praktek kecuali di pulau Jawa yang dikelola olh Perum Perhutani. Kawasan hutan produksi terbatas diarahkan bagi produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungan sebagaimana pada hutan produksi tetap namun dalam produksi hasil hutan kayu hanya diperkenankan dengan mengggunakan metode tebang pilih dan tanam Indonesia (TPTI). Kawasan hutan lindung diarahkan bagi pengaturan sistem tata air serta perlindungan bagi wilayah bawahannya. Penetapan status fungsi kawasan hutan tersebut dilakukan melalui kajian fisik wilayah dan budaya antara lain kelerengan tanah, jenis tanah, tipe iklim dan kondisi pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang dilakukan secara tradisional. Kelerengan akan memberi pengaruh besar terhadap kondisi wilayah setempat karena menyangkut keamanan dan keselamatan penduduk sekitar kawasan. Perubahan kondisi pada kawasan hutan lindung akan menyebabkan perubahan pola dan sistem tata air serta ancaman terhadap bencana alam terutama banjir dan longsor. Dalam kondisi tertentu, perubahan sistem tata air akan memberi dampak yang lebih luas terutama terhadap penurunan produksi hasil-hasil pertanian yang akan memberi dampak lanjutan terhadap penurunan pendapatan masyarakat.
Lokasi pengukuran/    pengkaplingan masyarakat

Untuk mencegah terjadinya berbagai macam gangguan keamanan hutan, maka setiap aktivitas yang berlangsung dalam kawasan hutan secara illegal perlu dicegah dan dikendalikan dengan menggunakan berbagai cara. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan hanya dimungkinkan melalui perizinan pemerintah yaitu Menteri Kehutanan. Dengan demikian, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan, dipandang illegal yang harus dicegah.
Berdasarkan laporan, kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, telah terjadi pengukuran/pengkaplingan kawasan hutan dalam skala yang luas yang dilakukan masyarakat setempat dengan mengatasnamakan masyarakat Adat. Upaya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dilakukan dengan maksud penguasaan lahan usaha. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, maka telah ditugaskan Tim Pemantau sebanyak 12 orang yang terdiri dari 8 orang berasal dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB, 2 orang dari Polda NTB dan 2 orang dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Sumbawa.    
2.   Maksud dan Tujuan
Kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dimaksudkan agar diperoleh data dan informasi lapangan yang lebih akurat serta melakukan pengecekan lapangan secara langsung berdasarkan laporan yang telah diterima. Tujuan yang ingin dicapai, adalah :
  1. melakukan identifikasi lokasi kawasan hutan yang dilakukan pengukuran dan atau pengkalingan secara illegal oleh masyarakat, guna memperoleh data dan informasi secara langsung yang akurat dan terbaru;
  2. melakukan kajian dan analisis penyebab melalui pemantauan dan wawancara dengan pejabat pemerintah lokal, guna memperoleh berbagai pandangan dan alasan terjadinya kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan;
  3. memberi usulan bagi solusi pemecahan masalah sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi kepada pimpinan, guna mendapat keputusan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi yang berlangsung.
3.   Sasaran
Sasaran lokasi kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, khususnya pada blok Elang yang termasuk dalam kecamatan Ropang meliputi desa Lawin dan desa Ledang. Sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya data dan informasi menyangkut kawasan hutan yang dilakukan pengukuran dan atau pengkaplingan oleh masyarakat, meliputi data fisik lapangan, data sosial masyarakat dan berbagai data lain yang diperlukan.    
4.   Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, meliputi :
1.     Diskusi dengan pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, guna menggali pandangan terhadap perkembangan gangguan keamanan hutan pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang,
2.     Wawancara dengan pejabat pemerintah desa Lawin, guna menggali permasalahan dan latar belakang terjadinya gangguan keamanan hutan terutama upaya pengukuran dan pengkaplingan kawasan hutan,
3.     Peninjauan lokasi untuk melihat secara langsung kondisi kawasan hutan yang telah dilakukan pengukuran dan atau pengkaplingan,
4.     Pengkajian dan analisis terhadap gangguan keamanan hutan berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku serta kebijakan pemerintah,
5.     Penyusunan laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas serta memberi masukan kepada pimpinan guna pengambilan keputusan.

  
II.  METODE


a.    Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, adalah :
a.    Kuisener, sebagai pemandu dalam kegiatan penggalian data dan informasi kepada berbagai pihak, sehingga data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan;
b.    Alat ukur, meliputi meteran, kompas dan lain-lain, sebagai alat ukur lapangan secara langsung, sehingga diperoleh data lapangan yang lebih akurat;
c.    Alat tulis kantor, meliputi kertas, alat tulis, dan lain-lain guna mencatat setiap data dan informasi yang diperoleh serta penyusunan laporan;
d.    Alat dokumentasi, digunakan untuk mendokumentasikan proses pemantauan dan kondisi lapangan;
e.    Alat hitung dan komputer, digunakan dalam mengolah data dan menyusun laporan hasil kegiatan;
f.     Peraturan perundangan yang berlaku bidang kehutanan, antara lain UU Nomor 41 tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2008, dan lain-lain.
b.   Metode Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan di KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64, dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain :
a.    Diskusi, dilakukan dengan mengambil topik pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan secara umum dan secara khusus pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, guna memperoleh kesamaan pandangan dan alur kronologis berlangsungnya kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan di KH. Dodo Jaran Pusang. Diskusi harus dilakukan dalam kesetaraan dan dalam kedudukan yang sama sehingga data dan informasi dapat diperoleh tanpa ada tekanan serta mengalir karena terbentuk kesamaan pandangan;
b.    Wawancara, dilakukan dengan panduan kuisener guna menggali data dan informasi secara langsung. Wawancara dilakukan lebih bersifat FGD (Focuss Group Discussion) dengan fokus pada analisis kasualitas sehingga diperoleh latar belakang dilakukannya kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang;
c.    Observasi lapangan, dilakukan dengan mengamati perubahan kondisi sumber daya hutan dan tanda-tanda pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan. Metode pengecekan dilakukan secara sederhana dengan mengenali pal-pal batas hutan di lapangan berdasarkan peta kawasan hutan;  
d.    Analisis kasualitas, dilakukan dengan mencari penyebab utama yang dikembangkan menjadi akibat-akibat yang mungkin berlangsung, serta mengkaji berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 

DISKUSI

·      MENCARI KESAMAAN PANDANGAN DAN ALUR KRONOLOGIS BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
·      DILAKUKAN DENGAN PEJABAT DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUATEN SUMBAWA
WAWANCARA
·      MENCARI LATAR BELAKANG BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
·      DILAKUKAN DENGAN MODEL FGD KEPADA TOKOH KUNCI TINGKAT LOKAL
OBSERVASI
·      MENGAMATI KONDISI KAWASAN HUTAN KARENA ADANYA PENGUKURAN DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
·      PENGECEKAN LAPANGAN BERDASARKAN PETA
ANALISIS KASUALITAS
·      MENCARI SEBAB AKIBAT BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
·      MENGANALISIS BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN BIDANG KEHUTANAN
PELAPORAN
·      SEBAGAI BAGIAN TANGGUNG JAWAB PELAKSANAAN TUGAS PEMANTAUAN
·      SEBAGAI MASUKAN PADA PIMPINAN
 


























c.    Pelaksana Kegiatan
Pelaksana kegiatan pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah Tim Gabungan, yang meliputi 12 orang, terdiri dari :
a.    Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (8 orang).
b.    Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa (2 orang).
c.    Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (2 orang).
d.    Waktu
Waktu pelaksanaan dilakukan selama 5 (lima) hari sejak hari Minggu, tanggal 9 sampai dengan 13 Mei 2010, terdiri dari :
a.    Perjalanan ke Kabupaten Sumbawa, hari Minggu, tanggal 9 Mei 2010.
b.    Diskusi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, hari Senin, tanggal 10 Mei 2010.
c.    Wawancara dengan pemerintah lokal (kepala desa setempat), hari Selasa, tanggal 11 Mei 2010.
d.    Peninjauan lokasi, hari Rabu, tanggal 12 Mei 2010.
e.    Perjalanan ke Mataram, hari Kamis, tanggal 13 Mei 2010.



III.        HASIL DAN PEMBAHASAN


a.    Sejarah dan Status Kawasan
a.    Penunjukan Kawasan Hutan
Penunjukan kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64 telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda melalui surat ZB. Bslt tanggal 31 Januari 1931 dengan Nomor 190, seluas 64.787,00 Ha. Pada tahun 1982, telah diperbarui penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 seluas 112.242,50 Ha atau yang dikenal dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan kesepakatan berbagai pihak instansi pengguna lahan. Penunjukan dilakukan kembali melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 dan diperbaiki melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
b.    Proses Pengukuhan Kawasan Hutan
Proses kegiatan pengukuhan yang diawali dengan kegiatan pegukuran, penataan batas, pemetaan dan penyelesaian Berita Acara Tata Batas (BATB) sudah dilaksanakan sejak tahun 1986 dengan luas 118.678,66 Ha. Proses tersebut tidak dilakukan pada lokasi batas pantai, karena pantai dipandang sebagai batas alam yang tidak akan berubah atau bersifat permanen. Namun adanya kesadaran bahwa batas alam pantai masih dimungkinkan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh daya-daya alam seperti ombak, longsor, erosi, aluviasi, dan lain-lain, maka batas alam pantai juga perlu dilakukan pengukuran dan tata batas. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran batas alam pantai pada KH. Dodo Jaran Pusang, RTK 64, pada tahun 1999.
Berdasarkan pengukuran batas alam pantai tersebut, diperoleh luas kawasan hutan Dodo Jaran pusang seluas 119.670,30 Ha yang mencakup 6 (enam) wilayah kecamatan yaitu Lunyuk, Ropang, Moyo Hulu, Lape, Plampang dan Labangka. Panjang batas kawasan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang, RTK 64, berdasarkan hasil pengukuran meliputi batas luar sepanjang 336,16 Km dan batas fungsi sepanjang 130,62 Km.   
Hasil tata batas tersebut selanjutnya telah dilakukan pemetaan dan penyelesaian BATB dengan penandatangan pada tanggal 21 Maret 1986 dan pengesahan pada tanggal 23 Mei 1989. Penandatanganan BATB batas alam pantai dilakukan pada tanggal 26 Februari 1999, sedangkan proses pengesahan masih berada pada tingkat pusat (Kementerian Kehutanan). Penetapan kawasan hutan sebagai bentuk akhir proses pengukuhan kawasan hutan, telah dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 241/Kpts-II/1989.
 
c.    Status Fungsi Kawasan
Kawasan hutan Dodo Jaran Pusang terdiri dari 3 (tiga) macam fungsi hutan yaitu hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Berdasarkan hasil tata batas fungsi, maka dapat diperhitungkan luas kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya, yaitu :
·         Kawasan hutan lindung seluas 61.233,70 Ha
·         Kawasan hutan produksi tetap seluas 12.571,10 ha
·         Kawasan hutan produksi terbatas seluas 45.870,50 Ha
d.    Penggunaan Kawasan Hutan
Penggunaan kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, sangat bervariasi meliputi penggunaan bagi pembangunan Dam Gapit, Dam Pemasar, Dam Simu, Dam Mamak, Dam Brangkolong dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan jalan Labangka-Ropang-Lunyuk sebagai jalan lingkar Selatan pulau Sumbawa. Penggunaan kawasan hutan tersebut dimaksudkan untuk mensupport berlangsungnya proses penggunaan air dalam bentuk irigasi bagi keperluan masyarakat.
e.    Pemanfaatan Hutan
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HKm diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, HTR diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, dan HTI diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008 tentang Hutan Tanaman Industri. Sampai dengan tahun 2010, pemanfaatan kawasan hutan dalam 3 (tiga) bentuk tersebut masih belum tersedia.
b.   Kondisi Biofisik Kawasan dan Sosial Masyarakat
a.    Kelerengan
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, khususnya pada blok Elang sangat bervariasi meliputi datar (0-8%), landai (8-15%), agak curam (15-25%) dan curam (25-40%). Kawasan dengan tingkat kelerengan sangat curam (>40%) tidak ditemukan pada lokasi blok Elang yang berada di bagian atas hutan lindung.
Secara umum lokasi yang termasuk dalam katagori datar dan landai berada bagian bawah kawasan hutan, dengan tingkat kerapatan tegakan sedang sampai rapat. Kawasan hutan pada tingkat kelerengan datar sampai landai berada pada status fungsi hutan produksi tetap guna mendukung produksi hasil hutan, sehingga tidak memberi pengaruh negatif pada kawasan sekitarnya. Kawasan dengan kelerengan agak curam dan curam, termasuk dalam status kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Kawasan hutan produksi terbatas dimaksudkan untuk produksi hasil hutan tanpa mengganggu atau menekan fungsi hutan lainnya terutama pada fungsi lindung, sehingga pola yang digunakan adalah tebang pilih tanam Indonesia. Pada kelerengan curam yang ditetapkan sebagai hutan lindung, pemanfaatan hutan harus lebih mengutamakan pada pengaturan sistem tata air sehingga perubahan kondisi tegakan yang dilakukan melalui penebangan tidak diperkenankan.
Hal ini menunjukan bahwa indikator kelerengan pada kawasan hutan, sangat menentukan pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang diwujudkan dalam bentuk penetapan fungsi-fungsi hutan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya hutan harus dilakukan secara hati-hati karena pengaruhnya yang luas, baik dalam kewilayahan dan sektoral, maupun dalam dimensi waktu yang panjang.    
b.    Jenis Tanah
Berdasarkan kajian peta Tanah Tinjau Pulau Sumbawa skala 1 : 500.000 tahun 1985 diketahui bahwa kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada blok Elang dan sekitarnya mempunyai jenis tanah Alluvian Coklat, Komplek Litosol Mediteran coklat, komplek Renzina dan Litosol. Beberapa jenis tanah tersebut, mempunyai sifat yang sensitif (peka) terhadap erosi, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan hutan. Jenis-jenis tanah tersebut, meliputi Renzina merupakan jenis tanah yang termasuk sangat pekat terhadap erosi. Akumulasi dari kelerengan, jenis tanah dan iklim akan memberi tingkat bahaya/kerawanan terhadap bencana alam terutama banjir dan longsor. Hasil pencermatan peta Kepekaan Ersosi Provinsi Nusa Tenggara Barat skala 1 : 250.000 menunjukan bahwa seluruh kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, blok Elang merupakan kawasan dengan katagori sangat peka terhadap erosi.     
c.    Iklim
Tipe iklim pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada blok Elang, berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk dalam klasifikasi C dan D. Hal ini mengindikasikan bahwa tipe iklim pada kawasan ini termasuk kering dengan bulan kering yang lebih panjang daripada bulan basah. Oleh karena itu, pembangunan kehutanan yang bersifat rehabilitasi harus memperhatikan ketepatan waktu kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan.
d.    Hidrologi
Kondisi hidrologi pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, blok Elang sangat baik yang tersedia beberapa sungai besar dan sungai kecil dengan debit yang cukup besar. Pengaruh musim hujan dan musim kemarau akan memberi fluktuasi debit air yang cukup besar yaitu debit air akan menurun pada saat musim kemarau dan bertambah pada saat musim penghujan. Fluktuasi tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kelerengan yang bervariasi dan kondisi tegakan. Pada kondisi kelerengan yang tinggi dan tegakan yang rusak, maka aliran sungai di saat musim penghujan akan sangat besar. Kondisi tegakan akan berpengaruh pada kemampuan kawasan untuk menyerap aliran air dalam tanah karena kemampuan tegakan dalam menahan laju aliran permukaan (run off) dan menahan jatuhnya air hujan secara langsung pada tanah. Dahan-dahan yang terkumpul dalam asosiasi tajuk akan membentuk canopy yang akan menahan jatuhnya air hujan secara langsung dalam tanah.
Beberapa sungai yang mengalir pada lokasi ini meliputi sungai Kokar Legarang, Brang Kuning, Brang Dodo, Brang Rea, dan lain-lain  yang memberi pengaruh besar terhadap ketersediaan air masyarakat. Posisi kawasan yang berada pada bagian atas permukiman penduduk, sangat strategis namun juga kritis terutama bagi perlindungan wilayah bawahan sebagai permukiman penduduk.
Lokasi Dodo Jaran pusang Blok Elang

Berdasarkan kajian peta sebagaimana tersebut diatas, terlihat bahwa kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada blok Elang merupakan cathment area bagi sungai-sungai yang mengalir dalam wilayah kecamatan Ropang dan Lunyuk.
e.    Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan wawancara dengan penduduk dan Kepala Desa Lawin dan Desa Ledang diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan masih menggantungkan pada sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan bukan kayu. Pola usaha tani yang masih bersifat ekstensif, menyebabkan produksi hasil pertanian sangat tergantung pada luasnya penguasaan lahan yang digunakan sebagai usaha tani. Semakin sempit lahan yang dikuasai sebagai lahan usaha, maka produksi hasil pertanian juga akan semakin kecil, yang berarti pula pendapatan masyarakat akan semakin rendah. Demikian sebaliknya, semakin luas lahan usaha tani akan semakin tinggi produksi hasil pertanian dan pendapatan masyarakat petani.
Pola usaha tani yang bersifat ekstensif tersebut, akan mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba memperluas lahan usaha. Disamping itu, usaha tani yang lebih berorientasi pada produk-produk primer juga tidak mampu memberi nilai tambah bagi usaha tani. Beberapa penyebab terjadinya kondisi tersebut, antara lain :
·         Rendahnya kapasitas masyarakat meliputi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan masyarakat dalam mengelola lahan usaha tani;
·         Teknologi yang berorientasi pada pengembangan produk hasil pertanian dan peningkatan produksi masih belum memadai;
·         Upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bentuk pelatihan, penyuluhan dan bimbingan pengelolaan hasil pertanian, masih belum dilksanakan;
·         Akses dan informasi pasar terhadap produk-produk hasil pertanian, masih sangat terbatas sehingga belum mampu menjangkau pasar yang lebih luas;
·         Kualitas produk hasil pertanian masih belum mampu bersaing dengan produk hasil pertanian yang sama dengan daerah lain. 
c.    Kronologis Pengukuran/Pengkaplingan
Kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat suku Berco yang merupakan komunitas masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen Sury. Masyarakat tersebut secara administrasi pemerintahan berada pada desa Lawin dan desa Ledang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa. Hal ini terlihat dari surat permohonan audiensi Komunitas Adat Cek Bocek kepada Bupati Sumbawa melalui Surat Nomor 01/CBRS/V/2009 tanggal 30 Mei 2009 perihal Mohon Audiensi. Disamping surat tersebut mengajukan permohonan audiensi/hearing, juga dijelaskan bahwa areal yang masuk dalam wilayah adat mencapai 20.000 Ha yang meliputi tanah adat Dodo, Selesek dan Sury. Selanjutnya, kawasan tersebut diakui sebagai tanah ulayat, ex Kedatuan Sury, yang sampai saat ini masih menjadi tempat menggantungkan hidup masyarakat secara ekonomi, sosial dan ritual.
Jauh sebelum berlangsungnya permohonan masyarakat suku Berco tersebut, Kepala Desa Lawin (Mapaita) telah mengajukan permohonan pengukuran kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB Sumbawa Besar, melalui surat Nomor 141/1/LW/XI/2007 tanggal 1 November 2007. Disamping surat tersebut, Kepala Desa Lawin juga mengajukan permohonan rekomendasi penerbitan SPPT PBB melalui Surat Nomor 141/1/LW/III/2008, tanggal 11 Maret 2008. Luas areal yang dimohonkan rekomendasi seluas 10.000.000 m2 terletak di 3 (tiga) Dusun yaitu Lawin, Sury dan Selesek. Camat Ropang selanjutnya telah bersikap hati-hati dengan mohon pengecekan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, Kasat Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumbawa, dan SKPD terkait lainnya.
Pada tanggal 7 April 2008, Ketua Yayasan Elang Penaru melalui Surat Nomor 09/IV/YEP/2008 mengajukan permohonan rekomendasi kepada Bupati Sumbawa dan Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa. Surat tersebut mengajukan 10.080 SPPT pada tanah peliuk Selesek watasan Desa Lawin, Kecamatan Ropang.
Hasil wawancara dengan kepala Desa Ledang (Sdr. Irwansyah) diperoleh keterangan bahwa memang telah terjadi pengukuran dan pengkaplingan kawasan hutan yang dilakukan masyarakat, terutama masyarakat Desa Lawin, serta pengajuan rekomendasi untuk SPPT. Dasar pengajuan permohonan rekomendasi adalah SKPT (surat keterengan pemilikan tanah) yang diterbitkan oleh Kepala Desa Persiapan Lawin (Suhardin Manja). Wawancara lebih lanjut menunjukan bahwa pemicu terjadinya pengukuran kawasan adalah :
·         Kecemburuan sosial atau antisipasi masyarakat setempat, karena adanya kabar bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara akan melakukan usaha pertambangan pada tingkat eksplorasi dan eksploitasi. Hal ini terlihat adanya kejadian pembakaran serta pengrusakan camp PT. NNT;
·         Keinginan masyarakat untuk mendapat pengakuan keberadaan masyarakat adat dan sejarahnya. Hal ini terlihat dari surat-surat permohonan yang selalu mengatasnamakan masyarakat adat Cek Bocek;
·         Luas kepemilikan lahan usaha pertanian/perkebunan yang masih terbatas, sementara masyarakat masih sangat menggantungkan pendapatannya dari kegiatan pertanian, guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Adapun harapan atau aspirasi masyarakat desa Ledang sesuai dengan hasil wawancara dalah :
·         Penyelesaian masalah pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dengan mempertegas status fungsi kawasan, sebagai bagian dari kepastian lahan dan memulihkan kondisi;
·         Pengakuan keberadaan sejarah masyarakat karena menyangkut leluhur dan budaya masyarakat setempat;
·         Mengakomodir kebutuhan lahan masyarakat karena kehidupan masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan lahan.   
Analisis Pohon Masalah

Pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan

Kecemburuan Sosial
Pengakuan Sejarah Keberadaan Sosial
Kepemilikan Lahan yang Sempit
Penggalian praktek-praktek adat
Pengakuan eksistensi sosial budaya
Pengelolaan sumber daya alam secara adat
Keinginan menjadi tenaga kerja kegiatan tambang
Keinginan mendapat ganti rugi dari perusahaan tambang
Keinginan menguasai lahan sebagai aset
Keinginan mengem-bangkan usaha tani
Keinginan meningkat-kan produksi hasil pertanian
Keinginan meningkat-kan pendapatan
 











Berdasarkan analisis masalah sebagaimana digambarkan dalam pohon masalah, dapat dinyatakan hubungan kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan secara kasualitas dipicu oleh kecemburuan sosial, keinginan mendapat pengakuan sejarah dan kepemilikan lahan yang sempit. Kecemburuan sosial tersebut sebagai akibat munculnya informasi adanya perusahaan pertambangan yang akan melakukan aktvitas dalam skala besar sehingga masyarakat berharap dapat menjadi tenaga kerja, memperoleh ganti rugi sebagai kompensasi atas penguasaan lahan dan memperluas aset lahan agar kompensasi yang diperoleh akan semakin besar. Agak berbeda dengan motif kecemburuan sosial, pengakuan sejarah keberadaan masyarakat yang diperjuangkan dengan mengatasnamakan komunitas adat disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengembangkan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam secara adat, memperoleh pengakuan eksistensi sosial budaya dan menguasai sumber daya alam oleh komunitas adat. Motif ini masih diragukan karena beberapa surat yang diajukan kepada pemerintah selalu berkenaan dengan upaya pengukuran, permohonan SPPT dan melampirkan SKPT secara individu. Kepemilikan lahan yang sempit, merupakan motif utama terjadinya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan. Hal ini terlihat dari upaya-upaya penguasaan lahan yang dilakukan seperti permohonan pengukuran dan lain-lain. Kemiskinan merupakan penyebab utama yang mendorong masyarakat sehingga bermaksud untuk mengembangkan luas usaha tani karena pola usaha tani yang bersifat ekstensif, meningkatkan hasil produksi pertanian dan meningkatkan pendapatan.
Dari sembilan motif yang melatarbelakangi kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan, yang paling menonjol adalah keinginan menjadi tenaga kerja dari kegiatan pertambangan. Hal ini terlihat dari surat pernyataan sikap Cek Bocek Selesek Reen Rury yang menuntut :
·         Mendapat kompensasi secara materiil,
·         Memperoleh kepemilikan saham secara otomatis tanpa melalui pembelian saham,
·         Memprioritaskan tenaga kerja dari komunitas masyarakat, baik yang memiliki skill maupun non skill,
·         Perekrutan tenaga kerja dari luar daerah, melalui pintu komunitas adat Cek Bocek,
·         Memperoleh pemberdayaan masyarakat secara khusus.
Harapan masyarakat sebagaimana hasil wawancara dapat digambarkan dalam skema pohon harapan sebagai berikut :
Pohon Harapan
GANGGUAN KEAMANAN HUTAN TERKENDALI

TENAGA KERJA PERTAMBANGAN
HARMONISASI USAHA
 







Skema pohon harapan tersebut, menunjukan bahwa penampungan masyarakat sebagai tenaga kerja kegiatan pertambangan akan membuat keharmonisan usaha pertambangan yang direncanakan, sehingga kegiatan usaha dapat berlangsung secara baik dan saling menguntungkan. Terciptanya suasana usaha yang kondusif bagi kegiatan usaha pertambangan, akan menghentikan kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan. Dengan demikian, kunci dari berlangsungnya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah kesediaan dari pengusaha untuk menampung masyarakat sebagai tenaga kerja.    
d.    Kajian dan Analisis Kondisi
Kajian dan analisis kondisi biofisik, klimatologis dan sosial masyarakat pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang blok Elang menunjukan bahwa keberadaannya sangat diperlukan bagi perlindungan wilayah dan sebagai cathment area. Fungsi-fungsi perlindungan tersebut, semakin memperkuat status fungsi kawasan hutan sebagai hutan lindung pada bagian atas. Kerusakan sumber daya hutan, apalagi peguasaan lahan hutan lindung oleh masyarakat akan berakibat pada perubahan kondisi sumber daya hutan yang secara langsung akan berdampak negatif terhadap kawasan bawahannya terutama dalam bentuk perubahan sumber daya air dan ancaman bencana alam dalam bentuk banjir atau longsor.
Penguasaan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas oleh masyarakat secara fisik akan mengubah bentang alam karena tujuan penguasaan lahan diperuntukan bagi pengembangan usaha tani. Pengelolaan hutan produksi yang tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi dan azas kelestarian akan memberi dampak buruk pada berubahan kondisi sumber daya hutan secara drastis. Tujuan pengusaan lahan oleh masyarakat adalah untuk memperluas lahan pertanian/perkebunan, berarti akan terjadi konversi lahan yang cukup luas.
Variasi kelerengan pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, sangat dipengaruh oleh adanya gunung dan bukit-bukit yang akan membahayakan bagi timbulnya bahaya bencana alam, sehingga keberadaan kawasan hutan dan sumber daya hutan mutlak diperlukan guna pencegahan. Jenis tanah yang peka terhadap erosi, yang diakumulasi dengan tingkat kelerengan yang tinggi akan semakin menambah kerawanan terhadap bencana alam.
Kondisi hidrologi yang dtunjukan oleh aliran sungai menunjukan bahwa aliran sungai memegang peran penting bagi ketersediaan sumber air bagi masyarakat terutama bagi irigasi pertanian. Konversi sumber daya hutan secara langsung akan memberi pengaruh pada penurunan kemampuan kawasan dalam menangkap air hujan, karena akan langsung dialirkan ke laut. Konversi sumber daya hutan, akan menurunkan kemampuan laju air larian (run off) sehingga akan memicu terjadinya erosi sehingga akan terjadi penurunan kesuburan tanah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa konversi lahan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64, khususnya pada blok Elang akan memberi pengaruh negatif yang berlangsung dalam dimensi waktu yang lama, antara lain :
·         Meningkatkan ancaman bahaya bencana alam, terutama banjir dan longsor;
·         Mengubah bentang alam secara drastis karena akan terjadi konversi sumber daya hutan untuk lahan usaha tani;
·         Menurunkan tingkat kesuburan lahan karena akan memicu terjadinya run off, erosi dan menurunkan ketersediaan air;
·         Menurunkan produksi hasil pertanian secara agregat karena adanya perubahan kondisi biofisik kawasan;
·         Menurunkan pendapatan masyarakat petani dan memperluas kemiskinan.
e.    Analisis Peraturan Perundangan
a.    Analisis Status Kawasan Hutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hal ini memberi makna bahwa status hukum kawasan hutan yang telah ditunjuk, ditetapkan atau ditunjuk dan ditetapkan, akan mempunyai kekuatan hukum yang sama. Penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan harus melalui proses perizinan yang sah oleh Menteri Kehutanan. Segala bentuk penggunaan kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin yang sah adalah merupakan kegiatan illegal.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 598/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, menunjukan bahwa adanya penguatan atas status kawasan hutan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Penunjukan kawasan hutan yang mengikuti hasil tata batas akan semakin memperkuat status hukum kawasan hutan.
Proses tata batas sesuai dengan peraturan perundangan dilakukan, meliputi pengukuran, penataan batas, pemetaan dan penyelesaian BATB. Penandatangan BATB oleh Panitia Tata Batas (PTB) merupakan bentuk pengakuan terhadap kawasan hutan karena PTB terdiri dari institusi yang menggunakan lahan seperti BPN, Dinas yang menangani urusan kehutanan, perkebunan, tanaman pangan, pekerjaan umum, dan lain-lain yang diketuai oleh Bupati setempat. Secara keseluruhan, kawasan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64, sudah dilakukan kegiatan tata batas serta pengukuhan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kegiatan tata batas dilapangan yang dilakukan melalui pengukuran batas lapangan dan pemasangan pal batas sesuai hasil pengukuran, dimaksudkan untuk memberi batas kawasan hutan secara fisik di lapangan sehingga mudah diketahui dan dikenali berbagai pihak. Pemetaan hasil pengukuran lapangan, diikuti dengan penyusunan BATB yang selanjutnya dilakukan peninjauan lapangan oleh PTB untuk mengetahui kebenaran batas dengan BATB. Hasil peninjauan lapangan oleh PTB tersebut, dirapatkan dan dilakukan penandatanganan BATB oleh PTB yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan yuridis terhadap kawasan hutan. Data ukur lapangan tetap akan menjadi acuan selamanya sehingga jika terjadi kehilangan tanda batas di lapangan dapat diperjelas kembali melalui kegiatan rekonstruksi batas hutan. Hal ini berarti, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku terutama Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64, telah mempunyai kekuatan yuridis sehingga dapat diberlakukan segala peraturan perundangan bidang kehutanan.
Hasil pelaksanaan tata batas yang dituangkan dalam bentuk BATB, selanjutnya disahkan oleh Menteri Kehutanan serta dikukuhkan dalam bentuk penetapan sebagai kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Proses pengukuhan terakhir adalah terbitnya penetapan sebagai kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64 telah menempuh proses tersebut dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 241/Kpts-II/1989. Hal ini menunjukan bahwa proses pengukuhan kawasan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64 sudah final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
b.    Penggunaan Kawasan Hutan
Penggunaan kawaan hutan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan menunjukan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut meliputi kegiatan:
a.    religi;
b.    pertambangan;
c.    instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;
d.    pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
e.    jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f.     sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g.    sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h.    fasilitas umum;
i.      industri terkait kehutanan;
j.     pertahanan dan keamanan;
k.    prasarana penunjang keselamatan umum; atau
l.      penampungan sementara korban bencana alam.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan antara lain mengatur persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan, prosedur dan tata cara permohonan dan lain-lain. Permohonan penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat yang mengatasnamakan sebagai komunitas adat Cek Bocek tidak memenuhi kriteria dalam peraturan perundangan, antara lain :
·         Peruntukan tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, penggunaan kawasan hutan hanya dimungkinkan untuk kepentingan yang mempunyai tujuan strategis. Sesuai dengan penjelasan dalam PP Nomor 24 tahun 2010 tersebut, yang dimaksud dengan kegiatan dengan tujuan strategis adalah kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Disamping itu, penggunaan kawasan hutan juga dibatasi hanya untuk kepentingan tertentu, tidak termasuk bagi lahan usaha tani.
·         Permohonan tidak diajukan kepada Menteri Kehutanan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 tahun 2010 oleh pemohon yang tepat. Sesuai dengan PP Nomor 24 tahun 2010 harus diajukan oleh Menteri atau setingkat Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota, Ketua Badan Usaha atau Ketua Yayasan.
·         Persyaratan masih belum lengkap. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2008, permohonan pinjam pakai kawasan hutan harus dilengkapi persyaratan, seperti tersedianya Rekomendasi Gubernur, pertimbangan teknis Dinas, Rencana Kerja, data Citra Landsat, Peta, dan lain-lain. Persyaratan yang tidak jelas, menyebabkan permohonan tidak dapat dilayani karena tidak dapat diberi penilaian.
c.    Pemanfaatan Kawasan Hutan
Pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku hanya dimungkinkan melalui 3 (tiga) skema pemanfaatan hutan, yaitu :
·         Pengelolaan hutan melalui Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengelolaan hutan dalam bentuk hutan kemasyarakatan diarahkan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang termasuk tidak produktif. Pada kawasan hutan produksi, masyarakat sebagai pengelola dapat memperoleh hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang diusahakan berdasarkan kegiatan penanaman, sedangkan pada kawasan hutan lindung, masyarakat hanya dapat memperoleh hasil berupa hasil hutan bukan kayu.  
·         Pengelolaan hutan melalui Hutan Tanaman Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Pengelolaan hutan tanaman rakyat, diarahkan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, guna memperoleh hasil hutan kayu dan bukan kayu dari kegiatan penanaman. Pengelolaan hutan tanaman rakyat dapat dikelola melalui skema developer, kemitraan dan mandiri. 
·         Pembangunan Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008 tentang Hutan Tanaman Industri. Pembangunan HTI diarahkan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dengan melibatkan peran pihak swasta. Hasil utama yang aka diperoleh adalah hasil hutan kayu yang diusahakan.
Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan hutan diarahkan bagi rehabilitasi kondisi kawasan hutan yang telah rusak, pengusahaan hutan yang diawali dengan upaya rehabilitasi dan kegiatan utamanya yang berorientasi jangka panjang dengan memenuhi kebutuhan hasil hutan kayu masa depan. Disamping berorietasi pada perbaikan kondisi sumber daya alam, juga berorientasi pada peningkatan pendapatan masyarakat utamanya masyarakat sekitar hutan.
Mengacu pada 3 (tiga) skema pemanfaatan kawasan hutan, masyarakat sekitar hutan blok Elang belum pernah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan, bahka belum pernah mengajukan permohonan pemanfaatan kawwasan hutan. Hal ini berarti pelaksanaan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan tidak termasuk dalam katagori pemanfaatan kawasan hutan.
d.    Pengakuan Masyarakat Adat
Permohonan dengan mengatasnamakan masyarakat adat, dapat dilakukan sebagaimana dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor S.75/Menhut-II/2004 tanggal 12 Maret 2004 perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan masyarakat hukum adat dapat dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda), dengan persyaratan :
a.    masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b.    ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.    ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.    ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e.    masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Pengakuan masyarakat adat dalam bentuk Perda tersebut, dapat dilanjutkan dengan permohonan kepada Menteri Kehutanan guna mengelola kawasan hutan adat. Kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat adat tersebut tidak mengubah fungsi kawasan serta status kawasan. Kawasan yang diizinkan oleh Menteri Kehutanan akan tetap sebagai kawasan hutan Negara yang pengelolaannya dilakukan secara adat.
Keberadaan masyarakat yang mengatasnamakan komunitas Adat suku Berco sebagai bagian masyarakat adat Cek Bocek masih belum mendapat pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah, yang didasarkan pada hasil penelitian para pakar hukum adat. Hasil pembahasan dalam forum rapat Pemerintah Kabupaten Sumbawa, antara lain menyatakan bahwa :
·         Lahan yang diakui sebagai areal tanah adat Dodo, Selesek dan Sury seluas 20.000 Ha yang dituangkan dalam surat masyarakat, termasuk dalam kawasan hutan Negara, dengan fungsi sebagai hutan produksi, berada dalam KH. Dodo Jaran Pusang, RTK 64.
·         Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah tidak dikenal Hak Ulayat. Kepemilikan lahan harus mengacu pada peraturan perundangan di bidang pertanahan,
·         Pemanfaatan dan pengolahan lahan, tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pola pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan secara adat adalah pengelolaan yang dilakukan secara komunal, tidak dilakukan secara individu. Rencana pengelolaan hutan yang akan dilakukan oleh pemohon dengan mengatasnamakan masyarakat adat, tidak mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat, bahwa permohonan cenderung secara individu dalam bentuk SKPT sebanyak 303, yang berarti penguasaan lahan akan dilakukan sebanyak 303 orang. Gambaran peta sebagai dokumen hasil pengukuran juga menunjukan adanya upaya masing-masing individu dalam menguasai kawasan hutan.  
        


IV. KESIMPULAN DAN SARAN


1.   Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kondisi dan hasil analisis, adalah :
a.    Status kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, yang menjadi obyek pengukuran dan atau pengkaplingan sudah mempunyai status hukum yang tetap dalam bentuk Surat Keputusan Penentapan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan. Proses penetapan kawasan hutan tersebut, sudah dilakukan sesuai dengan proses yang benar yaitu melalui kegiatan pengukuran, penataan batas, pemetaan dan penyelesaian BATB oleh PTB.
b.    Penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat bagi pengembangan usaha tani, tidak memenuhi syarat karena tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini berarti kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan yang dilakukan merupakan kegiatan illegal, karena tidak didasari peizinan yang sah dari Menteri Kehutanan. Permohonan juga belum pernah diajukan oleh masyarakat kepada Pemerintah cq. Menteri Kehutanan.
c.    Pemanfaatan kawasan hutan untuk pengembangan usaha tani masyarakat, tidak tepat karena sesuai dengan peraturan perundangan tidak termasuk dalam katagori pengembangan usaha tani. Pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan harus melalui mekanisme HKm dan HTR. Kegiatan pengukuran dan pengkaplingan yang dilakukan tidak mempunyai dasar hukum dalam bentuk perizinan dari Menteri Kehutanan.
d.    Pengakuan masyarakat adat harus melalui penelitian oleh pakar hukum adat dan instansi terkait lainnya untuk diajukan pengakuannya melalui peraturan daerah. Berdasarkan peraturan daerah tersebut dapat diajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapat perizinan pengelolaan hutan adat secara komunal, tidak dalam bentuk individu. Berkenaan dengan hal tersebut, maka aktivitas pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan oleh masyarakat merupakan kegiatan illegal.
e.    Berdasarkan analisis kondisi biofisik dan klimatologis dapat dinyatakan bahwa pengelolaan hutan tanpa pertimbangan yang akurat akan berbahaya bagi wilayah bawahannya terutama terhadap bahaya banjir dan longsor. Perubahan kondisi sumber daya hutan yang mungkin terjadi sebagai akibat konversi kawasan hutan diyakini akan memberi dampak negatif terutama terhadap penurunan produksi, penurunan pendapatan, kekeringan di musim kemarau, banjir di musim penghujan serta menurunkan kesuburan tanah.
f.     Hasil analisis sosial, secara keseluruhan diketahui bahwa pemicu terjadinya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah berkembangnya kabar bahwa akan masuk perusahaan tambang dalam skala besar, sehingga masyarakat berharap dapat terlibat didalam kegiatan tersebut. Harapan masyarakat adalah mendapat kompensasi dari penguasaan kawasan hutan dan menjadi tenaga kerja.
2.   Saran
a.    Memperkuat pemahaman dan pengakuan terhadap kawasan hutan melalui sosialisasi, penyuluhan, diskusi dan advokasi sehingga masyarakat akan mempunyai pemahaman yang semakin meningkat serta mengarah pada pengakuan terhadap kawasan hutan. Peningkatan kapasitas dan pengakuan masyarakat akan menekan gangguan keamanan hutan dalam bentuk apapun serta masyarakat juga akan tergugah untuk secara bersama-sama menjaga dan memperbaiki kondisi sumber daya hutan.
b.    Peraturan perundangan yang menyangkut penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan perlu disosialisasikan secara luas sehingga masyarakat akan lebih paham dan mengetahui prosedur, persyaratan, mekanisme dan lain-lain terhadap penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Hasil sosialisasi tersebut akan meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga dapat diketahui ”boleh, tidak boleh serta proses” yang harus ditempuh dalam penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan.
c.    Pengakuan masyarakat adat, agar ditempuh melalui proses penelitian dan penyusunan peraturan daerah. Berdasarkan pengakuan melalui Perda tersebut, dapat diajukan permohonan pengelolaan hutan adat, namun status kawasan hutan tetap sebagai sebagai hutan negara.
d.    Penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan agar dilakukan secara hati-hati melalui proses yang benar karena akan membahayakan bagi wilayah bawahannya. Pembatasan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan perlu melihat kondisi biofisiklokasi dengan membatasi perubahan sumber daya yang mungkin terjadi.
e.    Pengelolaan sumber daya alam dalam bentuk tambang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya manusia setempat. Pola rekruitmen dapat mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia setempat sedangkan yang tidak memenuhi persyaratan dapat menggunakan sumber daya manusia dari luar daerah. Hal ini diperlukan untuk menekan konflik yang disebabkan kecemburuan sosial.