I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat,
menghadapi beberapa permasalahan yang membawa implikasi cukup luas, baik dalam
dimensi ruang maupun sektoral. Permasalahan ruang, terutama disebabkan adanya
kebutuhan ruang bagi pembangunan berbagai sektor yang semakin tinggi seperti
sektor pertanian, prasarana wilayah, perhubungan dan telekomunikasi, permukiman
dan transmigrasi, pertambangan dan lain-lain. Alokasi ruang bagi pembangunan
sektor-sektor tersebut, pada dasarnya sudah disediakan diluar kawasan hutan
atau yang biasa disebut dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK). Namun demikian, seringkali terjadi
kebutuhan ruang yang mengharuskan penggunaan kawasan hutan karena menyangkut
lokasi suatu kawasan, seperti pemasangan repeater untuk telekomunikasi yang
mengharuskan menggunakan kawasan yang berelevasi tinggi atau kawasan hutan pada
umumnya, kegiatan pertambangan karena menyangkut potensi yang terkandung dalam
tanah, pembangunan jalan dan jembatan karena menyangkut akses suatu wilayah
terhadap wilayah lain, pembangunan dam dan bendungan karena kebutuhan akan
irigasi atau efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan air, dan lain-lain.
Kebutuhan ruang tersebut, menyebabkan keberadaan kawasan
hutan seringkali dipandang sebagai penghambat pembangunan sektor lain karena
penggunaan kawasan hutan yang banyak mengalami kendala. Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa penggunaan kawasan hutan harus
seizin Menteri Kehutanan, sedangkan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung.
Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan tidak
diperkenankan dengan cara pertambangan terbuka. Proses penggunaan kawasan hutan tersebut,
seringkali memerlukan waktu yang cukup lama karena persyaratan yang tidak
lengkap dan status fungsi kawasan hutan yang tidak tepat.
Penggunaan kawasan hutan dapat ditempuh melalui prosedur
izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai
pengganti Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1995. Perubahan
peraturan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas serta mempermudah dalam
penggunaan kawasan hutan terutama yang dilakukan melalui prosedur pinjam pakai
kawasan hutan. Terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan yang mengarah
pada kemudahan, antara lain (1) mekanisme pinjam pakai kawasan hutan dilakukan
melalui perizinan, tidak melalui perjanjian pinjam pakai kawasan hutan, (2)
waktu pinjam pakai kawasan hutan dilakukan selama waktu penggunaan dengan
melakukan monitoring setiap tahun dan evaluasi setiap 5 tahun atau masa
berlakunya habis, (3) meningkatkan tanggung jawab pengguna kawasan hutan untuk
melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam perizinan, dan lain-lain. Hal
ini akan memberi kepastian dalam kegiatan usaha dan penggunaan kawasan hutan karena
akan mengatur secara jelas hak dan kewajiban pengguna
kawasan serta memberi peluang
usaha dalam batasan waktu yang jelas yaitu selama masih
digunakan dengan catatan memenuhi prosedur dan ketentuan dalam pinjam pakai
kawasan hutan.
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang, RTK
64, mempunyai beberapa fungsi hutan yaitu hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas dan hutan lindung. Pembagian status fungsi hutan tersebut menyebabkan
pengelolaan hutan harus mendasarkan pada fungsi-fungsi pokok hutan dimaksud,
karena pegelolaan atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan status fungsi akan
memberi pengaruh terhadap kondisi wilayah secara keseluruhan. Kawasan hutan
produksi tetap diarahkan bagi produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta
jasa lingkungan. Produksi hasil hutan kayu dapat dilakukan dengan metode tebang
habis dengan tanaman buatan, namun hal ini tidak dilakukan dalam praktek
kecuali di pulau Jawa yang dikelola olh Perum Perhutani. Kawasan hutan produksi
terbatas diarahkan bagi produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta jasa
lingkungan sebagaimana pada hutan produksi tetap namun dalam produksi hasil
hutan kayu hanya diperkenankan dengan mengggunakan metode tebang pilih dan
tanam Indonesia (TPTI). Kawasan hutan lindung diarahkan bagi pengaturan sistem
tata air serta perlindungan bagi wilayah bawahannya. Penetapan status fungsi
kawasan hutan tersebut dilakukan melalui kajian fisik wilayah dan budaya antara
lain kelerengan tanah, jenis tanah, tipe iklim dan kondisi pemanfaatan hutan
oleh masyarakat yang dilakukan secara tradisional. Kelerengan akan memberi
pengaruh besar terhadap kondisi wilayah setempat karena menyangkut keamanan dan
keselamatan penduduk sekitar kawasan. Perubahan kondisi pada kawasan hutan
lindung akan menyebabkan perubahan pola dan sistem tata air serta ancaman
terhadap bencana alam terutama banjir dan longsor. Dalam kondisi tertentu,
perubahan sistem tata air akan memberi dampak yang lebih luas terutama terhadap
penurunan produksi hasil-hasil pertanian yang akan memberi dampak lanjutan
terhadap penurunan pendapatan masyarakat.
Lokasi
pengukuran/ pengkaplingan
masyarakat
|
Untuk mencegah terjadinya berbagai macam gangguan
keamanan hutan, maka setiap aktivitas yang berlangsung dalam kawasan hutan
secara illegal perlu dicegah dan dikendalikan dengan menggunakan berbagai cara.
Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, penggunaan dan pemanfaatan
kawasan hutan hanya dimungkinkan melalui perizinan pemerintah yaitu Menteri
Kehutanan. Dengan demikian, penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin
dari Menteri Kehutanan, dipandang illegal yang harus dicegah.
Berdasarkan laporan, kawasan hutan pada Kelompok Hutan
Dodo Jaran Pusang RTK 64, telah terjadi pengukuran/pengkaplingan kawasan hutan dalam
skala yang luas yang dilakukan masyarakat setempat dengan mengatasnamakan
masyarakat Adat. Upaya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dilakukan
dengan maksud penguasaan lahan usaha. Hal ini sangat bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan beberapa peraturan
perundangan lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, maka telah ditugaskan Tim Pemantau
sebanyak 12 orang yang terdiri dari 8 orang berasal dari Dinas Kehutanan
Provinsi NTB, 2 orang dari Polda NTB dan 2 orang dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, Kabupaten Sumbawa.
2. Maksud dan Tujuan
Kegiatan pemantauan
pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dimaksudkan agar diperoleh data
dan informasi lapangan yang lebih akurat serta melakukan pengecekan lapangan
secara langsung berdasarkan laporan yang telah diterima. Tujuan yang ingin
dicapai, adalah :
- melakukan identifikasi lokasi kawasan hutan yang
dilakukan pengukuran dan atau pengkalingan secara illegal oleh masyarakat,
guna memperoleh data dan informasi secara langsung yang akurat dan terbaru;
- melakukan kajian dan analisis penyebab melalui
pemantauan dan wawancara dengan pejabat pemerintah lokal, guna memperoleh berbagai
pandangan dan alasan terjadinya kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan;
- memberi usulan bagi solusi pemecahan masalah
sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi kepada pimpinan, guna
mendapat keputusan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi yang berlangsung.
3. Sasaran
Sasaran lokasi kegiatan
pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah kawasan hutan
pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK 64, khususnya pada blok Elang yang
termasuk dalam kecamatan Ropang meliputi desa Lawin dan desa Ledang. Sasaran
yang ingin dicapai adalah tersedianya data dan informasi menyangkut kawasan
hutan yang dilakukan pengukuran dan atau pengkaplingan oleh masyarakat,
meliputi data fisik lapangan, data sosial masyarakat dan berbagai data lain
yang diperlukan.
4. Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan pemantauan
pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, meliputi :
1. Diskusi dengan pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Sumbawa, guna menggali pandangan terhadap perkembangan gangguan
keamanan hutan pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang,
2. Wawancara dengan pejabat pemerintah desa Lawin, guna
menggali permasalahan dan latar belakang terjadinya gangguan keamanan hutan
terutama upaya pengukuran dan pengkaplingan kawasan hutan,
3. Peninjauan lokasi untuk melihat secara langsung kondisi
kawasan hutan yang telah dilakukan pengukuran dan atau pengkaplingan,
4. Pengkajian dan analisis terhadap gangguan keamanan hutan
berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku serta kebijakan pemerintah,
5. Penyusunan laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
pelaksanaan tugas serta memberi masukan kepada pimpinan guna pengambilan
keputusan.
II. METODE
a.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan
pemantauan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang,
adalah :
a. Kuisener, sebagai pemandu dalam kegiatan penggalian data
dan informasi kepada berbagai pihak, sehingga data dan informasi yang diperoleh
sesuai dengan yang dibutuhkan;
b. Alat ukur, meliputi meteran, kompas dan lain-lain,
sebagai alat ukur lapangan secara langsung, sehingga diperoleh data lapangan
yang lebih akurat;
c. Alat tulis kantor, meliputi kertas, alat tulis, dan
lain-lain guna mencatat setiap data dan informasi yang diperoleh serta
penyusunan laporan;
d. Alat dokumentasi, digunakan untuk mendokumentasikan
proses pemantauan dan kondisi lapangan;
e. Alat hitung dan komputer, digunakan dalam mengolah data
dan menyusun laporan hasil kegiatan;
f. Peraturan perundangan yang berlaku bidang kehutanan,
antara lain UU Nomor 41 tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007,
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
2010, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
43/Menhut-II/2008, dan lain-lain.
b.
Metode Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pemantauan pengukuran dan atau
pengkaplingan kawasan hutan di KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64, dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode, antara lain :
a. Diskusi, dilakukan dengan mengambil topik pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan secara umum dan secara khusus pada kawasan hutan Dodo
Jaran Pusang, guna memperoleh kesamaan pandangan dan alur kronologis
berlangsungnya kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan di KH.
Dodo Jaran Pusang. Diskusi harus dilakukan dalam kesetaraan dan dalam kedudukan
yang sama sehingga data dan informasi dapat diperoleh tanpa ada tekanan serta
mengalir karena terbentuk kesamaan pandangan;
b. Wawancara, dilakukan dengan panduan kuisener guna
menggali data dan informasi secara langsung. Wawancara dilakukan lebih bersifat
FGD (Focuss Group Discussion) dengan fokus pada analisis kasualitas sehingga
diperoleh latar belakang dilakukannya kegiatan pengukuran dan atau
pengkaplingan kawasan hutan Dodo Jaran Pusang;
c. Observasi lapangan, dilakukan dengan mengamati perubahan
kondisi sumber daya hutan dan tanda-tanda pengukuran dan atau pengkaplingan
kawasan hutan. Metode pengecekan dilakukan secara sederhana dengan mengenali
pal-pal batas hutan di lapangan berdasarkan peta kawasan hutan;
d. Analisis kasualitas, dilakukan dengan mencari penyebab
utama yang dikembangkan menjadi akibat-akibat yang mungkin berlangsung, serta
mengkaji berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
· MENCARI KESAMAAN PANDANGAN DAN ALUR KRONOLOGIS
BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
· DILAKUKAN DENGAN PEJABAT DINAS KEHUTANAN DAN
PERKEBUNAN KABUATEN SUMBAWA
|
· MENCARI LATAR BELAKANG BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN
DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
· DILAKUKAN DENGAN MODEL FGD KEPADA TOKOH KUNCI
TINGKAT LOKAL
|
· MENGAMATI KONDISI KAWASAN HUTAN KARENA ADANYA PENGUKURAN
DAN ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
· PENGECEKAN LAPANGAN BERDASARKAN PETA
|
· MENCARI SEBAB AKIBAT BERLANGSUNGNYA PENGUKURAN DAN
ATAU PENGKAPLINGAN KAWASAN HUTAN
· MENGANALISIS BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN
BIDANG KEHUTANAN
|
· SEBAGAI BAGIAN TANGGUNG JAWAB PELAKSANAAN TUGAS
PEMANTAUAN
· SEBAGAI MASUKAN PADA PIMPINAN
|
c.
Pelaksana Kegiatan
Pelaksana kegiatan pemantauan pengukuran dan atau
pengkaplingan kawasan hutan adalah Tim Gabungan, yang meliputi 12 orang,
terdiri dari :
a. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (8 orang).
b. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa (2
orang).
c. Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (2 orang).
d.
Waktu
Waktu pelaksanaan dilakukan selama 5 (lima) hari sejak
hari Minggu, tanggal 9 sampai dengan 13 Mei 2010, terdiri dari :
a. Perjalanan ke Kabupaten Sumbawa, hari Minggu, tanggal 9
Mei 2010.
b. Diskusi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten,
hari Senin, tanggal 10 Mei 2010.
c. Wawancara dengan pemerintah lokal (kepala desa setempat),
hari Selasa, tanggal 11 Mei 2010.
d. Peninjauan lokasi, hari Rabu, tanggal 12 Mei 2010.
e. Perjalanan ke Mataram, hari Kamis, tanggal 13 Mei 2010.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a.
Sejarah dan Status Kawasan
a. Penunjukan Kawasan Hutan
Penunjukan kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran
Pusang, RTK 64 telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda melalui surat ZB.
Bslt tanggal 31 Januari 1931 dengan Nomor 190, seluas 64.787,00 Ha. Pada tahun
1982, telah diperbarui penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 756/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 seluas 112.242,50
Ha atau yang dikenal dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan
kesepakatan berbagai pihak instansi pengguna lahan. Penunjukan dilakukan
kembali melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
418/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 dan diperbaiki melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
b. Proses Pengukuhan Kawasan Hutan
Proses kegiatan pengukuhan yang diawali dengan kegiatan
pegukuran, penataan batas, pemetaan dan penyelesaian Berita Acara Tata Batas
(BATB) sudah dilaksanakan sejak tahun 1986 dengan luas 118.678,66 Ha. Proses
tersebut tidak dilakukan pada lokasi batas pantai, karena pantai dipandang
sebagai batas alam yang tidak akan berubah atau bersifat permanen. Namun adanya
kesadaran bahwa batas alam pantai masih dimungkinkan untuk mengalami perubahan
yang disebabkan oleh daya-daya alam seperti ombak, longsor, erosi, aluviasi,
dan lain-lain, maka batas alam pantai juga perlu dilakukan pengukuran dan tata
batas. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran batas alam pantai pada KH. Dodo
Jaran Pusang, RTK 64, pada tahun 1999.
Berdasarkan pengukuran batas alam pantai tersebut,
diperoleh luas kawasan hutan Dodo Jaran pusang seluas 119.670,30 Ha yang
mencakup 6 (enam) wilayah kecamatan yaitu Lunyuk, Ropang, Moyo Hulu, Lape,
Plampang dan Labangka. Panjang batas kawasan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang,
RTK 64, berdasarkan hasil pengukuran meliputi batas luar sepanjang 336,16 Km
dan batas fungsi sepanjang 130,62 Km.
Hasil tata batas tersebut selanjutnya telah dilakukan
pemetaan dan penyelesaian BATB dengan penandatangan pada tanggal 21 Maret 1986
dan pengesahan pada tanggal 23 Mei 1989. Penandatanganan BATB batas alam pantai
dilakukan pada tanggal 26 Februari 1999, sedangkan proses pengesahan masih
berada pada tingkat pusat (Kementerian Kehutanan). Penetapan kawasan hutan
sebagai bentuk akhir proses pengukuhan kawasan hutan, telah dilakukan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 241/Kpts-II/1989.
c. Status Fungsi Kawasan
Kawasan hutan Dodo Jaran Pusang terdiri dari 3 (tiga)
macam fungsi hutan yaitu hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi
terbatas. Berdasarkan hasil tata batas fungsi, maka dapat diperhitungkan luas
kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya, yaitu :
·
Kawasan
hutan lindung seluas 61.233,70 Ha
·
Kawasan
hutan produksi tetap seluas 12.571,10 ha
·
Kawasan
hutan produksi terbatas seluas 45.870,50 Ha
d. Penggunaan Kawasan Hutan
Penggunaan kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran
Pusang RTK 64, sangat bervariasi meliputi penggunaan bagi pembangunan Dam
Gapit, Dam Pemasar, Dam Simu, Dam Mamak, Dam Brangkolong dan penggunaan kawasan
hutan untuk pembangunan jalan Labangka-Ropang-Lunyuk sebagai jalan lingkar Selatan
pulau Sumbawa. Penggunaan kawasan hutan tersebut dimaksudkan untuk mensupport
berlangsungnya proses penggunaan air dalam bentuk irigasi bagi keperluan
masyarakat.
e. Pemanfaatan Hutan
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk
yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman
Industri (HTI). HKm diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, HTR diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, dan
HTI diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008
tentang Hutan Tanaman Industri. Sampai dengan tahun 2010, pemanfaatan kawasan
hutan dalam 3 (tiga) bentuk tersebut masih belum tersedia.
b.
Kondisi Biofisik Kawasan dan Sosial Masyarakat
a. Kelerengan
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang RTK
64, khususnya pada blok Elang sangat bervariasi meliputi datar (0-8%), landai
(8-15%), agak curam (15-25%) dan curam (25-40%). Kawasan dengan tingkat
kelerengan sangat curam (>40%) tidak ditemukan pada lokasi blok Elang yang
berada di bagian atas hutan lindung.
Secara umum lokasi yang termasuk dalam katagori datar dan
landai berada bagian bawah kawasan hutan, dengan tingkat kerapatan tegakan sedang
sampai rapat. Kawasan hutan pada tingkat kelerengan datar sampai landai berada
pada status fungsi hutan produksi tetap guna mendukung produksi hasil hutan,
sehingga tidak memberi pengaruh negatif pada kawasan sekitarnya. Kawasan dengan
kelerengan agak curam dan curam, termasuk dalam status kawasan hutan produksi
terbatas dan hutan lindung. Kawasan hutan produksi terbatas dimaksudkan untuk
produksi hasil hutan tanpa mengganggu atau menekan fungsi hutan lainnya
terutama pada fungsi lindung, sehingga pola yang digunakan adalah tebang pilih
tanam Indonesia. Pada kelerengan curam yang ditetapkan sebagai hutan lindung,
pemanfaatan hutan harus lebih mengutamakan pada pengaturan sistem tata air
sehingga perubahan kondisi tegakan yang dilakukan melalui penebangan tidak
diperkenankan.
Hal ini menunjukan bahwa indikator kelerengan pada
kawasan hutan, sangat menentukan pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang
diwujudkan dalam bentuk penetapan fungsi-fungsi hutan. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber daya hutan harus dilakukan secara hati-hati karena
pengaruhnya yang luas, baik dalam kewilayahan dan sektoral, maupun dalam
dimensi waktu yang panjang.
b. Jenis Tanah
Berdasarkan kajian peta Tanah Tinjau Pulau Sumbawa skala
1 : 500.000 tahun 1985 diketahui bahwa kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada
blok Elang dan sekitarnya mempunyai jenis tanah Alluvian Coklat, Komplek
Litosol Mediteran coklat, komplek Renzina dan Litosol. Beberapa jenis tanah
tersebut, mempunyai sifat yang sensitif (peka) terhadap erosi, sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan hutan. Jenis-jenis tanah tersebut,
meliputi Renzina merupakan jenis tanah yang termasuk sangat pekat terhadap
erosi. Akumulasi dari kelerengan, jenis tanah dan iklim akan memberi tingkat
bahaya/kerawanan terhadap bencana alam terutama banjir dan longsor. Hasil
pencermatan peta Kepekaan Ersosi Provinsi Nusa Tenggara Barat skala 1 : 250.000
menunjukan bahwa seluruh kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, blok Elang merupakan
kawasan dengan katagori sangat peka terhadap erosi.
c. Iklim
Tipe iklim pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada blok
Elang, berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk dalam klasifikasi C
dan D. Hal ini mengindikasikan bahwa tipe iklim pada kawasan ini termasuk
kering dengan bulan kering yang lebih panjang daripada bulan basah. Oleh karena
itu, pembangunan kehutanan yang bersifat rehabilitasi harus memperhatikan
ketepatan waktu kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan.
d. Hidrologi
Kondisi hidrologi pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang,
blok Elang sangat baik yang tersedia beberapa sungai besar dan sungai kecil
dengan debit yang cukup besar. Pengaruh musim hujan dan musim kemarau akan
memberi fluktuasi debit air yang cukup besar yaitu debit air akan menurun pada
saat musim kemarau dan bertambah pada saat musim penghujan. Fluktuasi tersebut
sangat dipengaruhi oleh tingkat kelerengan yang bervariasi dan kondisi tegakan.
Pada kondisi kelerengan yang tinggi dan tegakan yang rusak, maka aliran sungai
di saat musim penghujan akan sangat besar. Kondisi tegakan akan berpengaruh
pada kemampuan kawasan untuk menyerap aliran air dalam tanah karena kemampuan
tegakan dalam menahan laju aliran permukaan (run off) dan menahan jatuhnya air hujan secara langsung pada tanah.
Dahan-dahan yang terkumpul dalam asosiasi tajuk akan membentuk canopy yang akan menahan jatuhnya air
hujan secara langsung dalam tanah.
Beberapa sungai yang mengalir pada lokasi ini meliputi
sungai Kokar Legarang, Brang Kuning, Brang Dodo, Brang Rea, dan lain-lain yang memberi pengaruh besar terhadap ketersediaan
air masyarakat. Posisi kawasan yang berada pada bagian atas permukiman
penduduk, sangat strategis namun juga kritis terutama bagi perlindungan wilayah
bawahan sebagai permukiman penduduk.
Lokasi Dodo Jaran pusang Blok Elang
|
Berdasarkan kajian peta sebagaimana tersebut diatas,
terlihat bahwa kawasan hutan Dodo Jaran Pusang pada blok Elang merupakan cathment area bagi sungai-sungai yang
mengalir dalam wilayah kecamatan Ropang dan Lunyuk.
e. Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan wawancara dengan penduduk dan Kepala Desa
Lawin dan Desa Ledang diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar
hutan masih menggantungkan pada sektor pertanian, khususnya tanaman pangan,
perkebunan dan hasil hutan bukan kayu. Pola usaha tani yang masih bersifat
ekstensif, menyebabkan produksi hasil pertanian sangat tergantung pada luasnya
penguasaan lahan yang digunakan sebagai usaha tani. Semakin sempit lahan yang
dikuasai sebagai lahan usaha, maka produksi hasil pertanian juga akan semakin
kecil, yang berarti pula pendapatan masyarakat akan semakin rendah. Demikian
sebaliknya, semakin luas lahan usaha tani akan semakin tinggi produksi hasil
pertanian dan pendapatan masyarakat petani.
Pola usaha tani yang bersifat ekstensif tersebut, akan
mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba memperluas lahan usaha. Disamping
itu, usaha tani yang lebih berorientasi pada produk-produk primer juga tidak
mampu memberi nilai tambah bagi usaha tani. Beberapa penyebab terjadinya
kondisi tersebut, antara lain :
·
Rendahnya
kapasitas masyarakat meliputi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan masyarakat
dalam mengelola lahan usaha tani;
·
Teknologi
yang berorientasi pada pengembangan produk hasil pertanian dan peningkatan
produksi masih belum memadai;
·
Upaya
peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bentuk pelatihan, penyuluhan dan
bimbingan pengelolaan hasil pertanian, masih belum dilksanakan;
·
Akses
dan informasi pasar terhadap produk-produk hasil pertanian, masih sangat
terbatas sehingga belum mampu menjangkau pasar yang lebih luas;
·
Kualitas
produk hasil pertanian masih belum mampu bersaing dengan produk hasil pertanian
yang sama dengan daerah lain.
c.
Kronologis Pengukuran/Pengkaplingan
Kegiatan pengukuran dan atau pengkaplingan dilakukan oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat suku Berco yang merupakan komunitas
masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen Sury. Masyarakat tersebut secara
administrasi pemerintahan berada pada desa Lawin dan desa Ledang, Kecamatan
Ropang, Kabupaten Sumbawa. Hal ini terlihat dari surat permohonan audiensi
Komunitas Adat Cek Bocek kepada Bupati Sumbawa melalui Surat Nomor
01/CBRS/V/2009 tanggal 30 Mei 2009 perihal Mohon Audiensi. Disamping surat
tersebut mengajukan permohonan audiensi/hearing, juga dijelaskan bahwa areal
yang masuk dalam wilayah adat mencapai 20.000 Ha yang meliputi tanah adat Dodo,
Selesek dan Sury. Selanjutnya, kawasan tersebut diakui sebagai tanah ulayat, ex
Kedatuan Sury, yang sampai saat ini masih menjadi tempat menggantungkan hidup
masyarakat secara ekonomi, sosial dan ritual.
Jauh sebelum berlangsungnya permohonan masyarakat suku
Berco tersebut, Kepala Desa Lawin (Mapaita) telah mengajukan permohonan
pengukuran kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB Sumbawa Besar, melalui surat
Nomor 141/1/LW/XI/2007 tanggal 1 November 2007. Disamping surat tersebut,
Kepala Desa Lawin juga mengajukan permohonan rekomendasi penerbitan SPPT PBB
melalui Surat Nomor 141/1/LW/III/2008, tanggal 11 Maret 2008. Luas areal yang
dimohonkan rekomendasi seluas 10.000.000 m2 terletak di 3 (tiga)
Dusun yaitu Lawin, Sury dan Selesek. Camat Ropang selanjutnya telah bersikap
hati-hati dengan mohon pengecekan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Sumbawa, Kasat Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumbawa, dan SKPD terkait lainnya.
Pada tanggal 7 April 2008, Ketua Yayasan Elang Penaru
melalui Surat Nomor 09/IV/YEP/2008 mengajukan permohonan rekomendasi kepada
Bupati Sumbawa dan Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa. Surat tersebut mengajukan
10.080 SPPT pada tanah peliuk Selesek watasan Desa Lawin, Kecamatan Ropang.
Hasil wawancara dengan kepala Desa Ledang (Sdr. Irwansyah)
diperoleh keterangan bahwa memang telah terjadi pengukuran dan pengkaplingan
kawasan hutan yang dilakukan masyarakat, terutama masyarakat Desa Lawin, serta
pengajuan rekomendasi untuk SPPT. Dasar pengajuan permohonan rekomendasi adalah
SKPT (surat keterengan pemilikan tanah) yang diterbitkan oleh Kepala Desa Persiapan
Lawin (Suhardin Manja). Wawancara lebih lanjut menunjukan bahwa pemicu
terjadinya pengukuran kawasan adalah :
·
Kecemburuan
sosial atau antisipasi masyarakat setempat, karena adanya kabar bahwa PT.
Newmont Nusa Tenggara akan melakukan usaha pertambangan pada tingkat eksplorasi
dan eksploitasi. Hal ini terlihat adanya kejadian pembakaran serta pengrusakan camp
PT. NNT;
·
Keinginan
masyarakat untuk mendapat pengakuan keberadaan masyarakat adat dan sejarahnya.
Hal ini terlihat dari surat-surat permohonan yang selalu mengatasnamakan
masyarakat adat Cek Bocek;
·
Luas
kepemilikan lahan usaha pertanian/perkebunan yang masih terbatas, sementara
masyarakat masih sangat menggantungkan pendapatannya dari kegiatan pertanian,
guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Adapun harapan atau aspirasi masyarakat desa Ledang
sesuai dengan hasil wawancara dalah :
·
Penyelesaian
masalah pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan dengan mempertegas
status fungsi kawasan, sebagai bagian dari kepastian lahan dan memulihkan
kondisi;
·
Pengakuan
keberadaan sejarah masyarakat karena menyangkut leluhur dan budaya masyarakat
setempat;
·
Mengakomodir
kebutuhan lahan masyarakat karena kehidupan masyarakat sangat tergantung pada
ketersediaan lahan.
Analisis Pohon Masalah
Pengukuran
dan atau pengkaplingan kawasan hutan
|
Pengakuan Sejarah Keberadaan Sosial
|
Kepemilikan Lahan yang Sempit
|
Penggalian praktek-praktek adat
|
Pengakuan eksistensi sosial budaya
|
Pengelolaan sumber daya alam secara adat
|
Keinginan
menjadi tenaga kerja kegiatan tambang
|
Keinginan mendapat ganti rugi dari perusahaan tambang
|
Keinginan menguasai lahan sebagai aset
|
Keinginan mengem-bangkan usaha tani
|
Keinginan meningkat-kan produksi hasil pertanian
|
Keinginan meningkat-kan pendapatan
|
Berdasarkan analisis masalah sebagaimana digambarkan
dalam pohon masalah, dapat dinyatakan hubungan kegiatan pengukuran dan atau
pengkaplingan secara kasualitas dipicu oleh kecemburuan sosial, keinginan
mendapat pengakuan sejarah dan kepemilikan lahan yang sempit. Kecemburuan
sosial tersebut sebagai akibat munculnya informasi adanya perusahaan
pertambangan yang akan melakukan aktvitas dalam skala besar sehingga masyarakat
berharap dapat menjadi tenaga kerja, memperoleh ganti rugi sebagai kompensasi
atas penguasaan lahan dan memperluas aset lahan agar kompensasi yang diperoleh
akan semakin besar. Agak berbeda dengan motif kecemburuan sosial, pengakuan
sejarah keberadaan masyarakat yang diperjuangkan dengan mengatasnamakan
komunitas adat disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengembangkan
praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam secara adat, memperoleh pengakuan
eksistensi sosial budaya dan menguasai sumber daya alam oleh komunitas adat.
Motif ini masih diragukan karena beberapa surat yang diajukan kepada pemerintah
selalu berkenaan dengan upaya pengukuran, permohonan SPPT dan melampirkan SKPT
secara individu. Kepemilikan lahan yang sempit, merupakan motif utama
terjadinya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan. Hal ini terlihat
dari upaya-upaya penguasaan lahan yang dilakukan seperti permohonan pengukuran
dan lain-lain. Kemiskinan merupakan penyebab utama yang mendorong masyarakat
sehingga bermaksud untuk mengembangkan luas usaha tani karena pola usaha tani
yang bersifat ekstensif, meningkatkan hasil produksi pertanian dan meningkatkan
pendapatan.
Dari sembilan motif yang melatarbelakangi kegiatan
pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan, yang paling menonjol adalah
keinginan menjadi tenaga kerja dari kegiatan pertambangan. Hal ini terlihat
dari surat pernyataan sikap Cek Bocek Selesek Reen Rury yang menuntut :
·
Mendapat
kompensasi secara materiil,
·
Memperoleh
kepemilikan saham secara otomatis tanpa melalui pembelian saham,
·
Memprioritaskan
tenaga kerja dari komunitas masyarakat, baik yang memiliki skill maupun non
skill,
·
Perekrutan
tenaga kerja dari luar daerah, melalui pintu komunitas adat Cek Bocek,
·
Memperoleh
pemberdayaan masyarakat secara khusus.
Harapan masyarakat sebagaimana hasil wawancara dapat
digambarkan dalam skema pohon harapan sebagai berikut :
Pohon Harapan
GANGGUAN KEAMANAN HUTAN TERKENDALI
|
TENAGA KERJA PERTAMBANGAN
|
Skema pohon harapan tersebut, menunjukan bahwa penampungan
masyarakat sebagai tenaga kerja kegiatan pertambangan akan membuat keharmonisan
usaha pertambangan yang direncanakan, sehingga kegiatan usaha dapat berlangsung
secara baik dan saling menguntungkan. Terciptanya suasana usaha yang kondusif
bagi kegiatan usaha pertambangan, akan menghentikan kegiatan pengukuran dan
atau pengkaplingan kawasan hutan. Dengan demikian, kunci dari berlangsungnya
pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah kesediaan dari pengusaha
untuk menampung masyarakat sebagai tenaga kerja.
d.
Kajian dan Analisis Kondisi
Kajian dan analisis kondisi biofisik, klimatologis dan
sosial masyarakat pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang blok Elang menunjukan
bahwa keberadaannya sangat diperlukan bagi perlindungan wilayah dan sebagai cathment area. Fungsi-fungsi
perlindungan tersebut, semakin memperkuat status fungsi kawasan hutan sebagai
hutan lindung pada bagian atas. Kerusakan sumber daya hutan, apalagi peguasaan
lahan hutan lindung oleh masyarakat akan berakibat pada perubahan kondisi
sumber daya hutan yang secara langsung akan berdampak negatif terhadap kawasan
bawahannya terutama dalam bentuk perubahan sumber daya air dan ancaman bencana
alam dalam bentuk banjir atau longsor.
Penguasaan hutan produksi tetap dan hutan produksi
terbatas oleh masyarakat secara fisik akan mengubah bentang alam karena tujuan
penguasaan lahan diperuntukan bagi pengembangan usaha tani. Pengelolaan hutan
produksi yang tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi dan azas kelestarian akan
memberi dampak buruk pada berubahan kondisi sumber daya hutan secara drastis. Tujuan
pengusaan lahan oleh masyarakat adalah untuk memperluas lahan
pertanian/perkebunan, berarti akan terjadi konversi lahan yang cukup luas.
Variasi kelerengan pada kawasan hutan Dodo Jaran Pusang RTK
64, sangat dipengaruh oleh adanya gunung dan bukit-bukit yang akan membahayakan
bagi timbulnya bahaya bencana alam, sehingga keberadaan kawasan hutan dan
sumber daya hutan mutlak diperlukan guna pencegahan. Jenis tanah yang peka
terhadap erosi, yang diakumulasi dengan tingkat kelerengan yang tinggi akan
semakin menambah kerawanan terhadap bencana alam.
Kondisi hidrologi yang dtunjukan oleh aliran sungai
menunjukan bahwa aliran sungai memegang peran penting bagi ketersediaan sumber
air bagi masyarakat terutama bagi irigasi pertanian. Konversi sumber daya hutan
secara langsung akan memberi pengaruh pada penurunan kemampuan kawasan dalam
menangkap air hujan, karena akan langsung dialirkan ke laut. Konversi sumber
daya hutan, akan menurunkan kemampuan laju air larian (run off) sehingga akan memicu terjadinya erosi sehingga akan
terjadi penurunan kesuburan tanah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa
konversi lahan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64, khususnya pada blok
Elang akan memberi pengaruh negatif yang berlangsung dalam dimensi waktu yang
lama, antara lain :
·
Meningkatkan
ancaman bahaya bencana alam, terutama banjir dan longsor;
·
Mengubah
bentang alam secara drastis karena akan terjadi konversi sumber daya hutan
untuk lahan usaha tani;
·
Menurunkan
tingkat kesuburan lahan karena akan memicu terjadinya run off, erosi dan menurunkan ketersediaan air;
·
Menurunkan
produksi hasil pertanian secara agregat karena adanya perubahan kondisi
biofisik kawasan;
·
Menurunkan
pendapatan masyarakat petani dan memperluas kemiskinan.
e.
Analisis Peraturan Perundangan
a. Analisis Status Kawasan Hutan
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap. Hal ini memberi makna bahwa status hukum kawasan hutan yang telah
ditunjuk, ditetapkan atau ditunjuk dan ditetapkan, akan mempunyai kekuatan
hukum yang sama. Penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan harus melalui proses
perizinan yang sah oleh Menteri Kehutanan. Segala bentuk penggunaan kawasan
hutan yang dilakukan tanpa izin yang sah adalah merupakan kegiatan illegal.
Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 598/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat, menunjukan bahwa adanya penguatan atas status kawasan
hutan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Penunjukan
kawasan hutan yang mengikuti hasil tata batas akan semakin memperkuat status
hukum kawasan hutan.
Proses tata batas sesuai
dengan peraturan perundangan dilakukan, meliputi pengukuran, penataan batas,
pemetaan dan penyelesaian BATB. Penandatangan BATB oleh Panitia Tata Batas
(PTB) merupakan bentuk pengakuan terhadap kawasan hutan karena PTB terdiri dari
institusi yang menggunakan lahan seperti BPN, Dinas yang menangani urusan
kehutanan, perkebunan, tanaman pangan, pekerjaan umum, dan lain-lain yang
diketuai oleh Bupati setempat. Secara keseluruhan, kawasan hutan pada KH. Dodo
Jaran Pusang RTK 64, sudah dilakukan kegiatan tata batas serta pengukuhan dalam
bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kegiatan tata batas dilapangan yang
dilakukan melalui pengukuran batas lapangan dan pemasangan pal batas sesuai
hasil pengukuran, dimaksudkan untuk memberi batas kawasan hutan secara fisik di
lapangan sehingga mudah diketahui dan dikenali berbagai pihak. Pemetaan hasil
pengukuran lapangan, diikuti dengan penyusunan BATB yang selanjutnya dilakukan
peninjauan lapangan oleh PTB untuk mengetahui kebenaran batas dengan BATB.
Hasil peninjauan lapangan oleh PTB tersebut, dirapatkan dan dilakukan penandatanganan
BATB oleh PTB yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan yuridis terhadap kawasan
hutan. Data ukur lapangan tetap akan menjadi acuan selamanya sehingga jika
terjadi kehilangan tanda batas di lapangan dapat diperjelas kembali melalui
kegiatan rekonstruksi batas hutan. Hal ini berarti, berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku terutama Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64, telah mempunyai kekuatan
yuridis sehingga dapat diberlakukan segala peraturan perundangan bidang
kehutanan.
Hasil pelaksanaan
tata batas yang dituangkan dalam bentuk BATB, selanjutnya disahkan oleh Menteri
Kehutanan serta dikukuhkan dalam bentuk penetapan sebagai kawasan hutan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Proses pengukuhan terakhir adalah terbitnya
penetapan sebagai kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Kelompok Hutan Dodo Jaran Pusang, RTK 64 telah menempuh proses tersebut dan
ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 241/Kpts-II/1989. Hal ini menunjukan bahwa proses
pengukuhan kawasan hutan pada KH. Dodo Jaran Pusang RTK 64 sudah final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Penggunaan Kawasan Hutan
Penggunaan kawaan
hutan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan menunjukan bahwa penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan
untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut meliputi kegiatan:
a. religi;
b. pertambangan;
c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi
listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;
d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar
radio, dan stasiun relay televisi;
e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana
transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan
instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h. fasilitas umum;
i. industri terkait kehutanan;
j. pertahanan dan keamanan;
k. prasarana penunjang keselamatan umum; atau
l. penampungan sementara korban bencana alam.
Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
antara lain mengatur persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan,
prosedur dan tata cara permohonan dan lain-lain. Permohonan penggunaan kawasan
hutan oleh masyarakat yang mengatasnamakan sebagai komunitas adat Cek Bocek
tidak memenuhi kriteria dalam peraturan perundangan, antara lain :
·
Peruntukan tidak
sesuai dengan peraturan perundangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2010, penggunaan kawasan hutan hanya dimungkinkan untuk kepentingan yang
mempunyai tujuan strategis. Sesuai dengan penjelasan dalam PP Nomor 24 tahun
2010 tersebut, yang dimaksud dengan kegiatan dengan tujuan strategis adalah
kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara,
pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Disamping itu,
penggunaan kawasan hutan juga dibatasi hanya untuk kepentingan tertentu, tidak
termasuk bagi lahan usaha tani.
·
Permohonan tidak
diajukan kepada Menteri Kehutanan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 tahun
2010 oleh pemohon yang tepat. Sesuai dengan PP Nomor 24 tahun 2010 harus
diajukan oleh Menteri atau setingkat Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota, Ketua
Badan Usaha atau Ketua Yayasan.
·
Persyaratan masih
belum lengkap. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2008,
permohonan pinjam pakai kawasan hutan harus dilengkapi persyaratan, seperti
tersedianya Rekomendasi Gubernur, pertimbangan teknis Dinas, Rencana Kerja,
data Citra Landsat, Peta, dan lain-lain. Persyaratan yang tidak jelas,
menyebabkan permohonan tidak dapat dilayani karena tidak dapat diberi
penilaian.
c. Pemanfaatan Kawasan Hutan
Pemanfaatan kawasan
hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku hanya dimungkinkan
melalui 3 (tiga) skema pemanfaatan hutan, yaitu :
·
Pengelolaan hutan
melalui Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengelolaan
hutan dalam bentuk hutan kemasyarakatan diarahkan pada kawasan hutan produksi
dan hutan lindung yang termasuk tidak produktif. Pada kawasan hutan produksi,
masyarakat sebagai pengelola dapat memperoleh hasil hutan kayu dan hasil hutan
bukan kayu yang diusahakan berdasarkan kegiatan penanaman, sedangkan pada
kawasan hutan lindung, masyarakat hanya dapat memperoleh hasil berupa hasil
hutan bukan kayu.
·
Pengelolaan hutan
melalui Hutan Tanaman Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Pengelolaan
hutan tanaman rakyat, diarahkan pada kawasan hutan produksi yang tidak
produktif, guna memperoleh hasil hutan kayu dan bukan kayu dari kegiatan
penanaman. Pengelolaan hutan tanaman rakyat dapat dikelola melalui skema
developer, kemitraan dan mandiri.
·
Pembangunan Hutan
Tanaman Industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.58/Menhut-II/2008 tentang Hutan Tanaman Industri. Pembangunan HTI diarahkan
pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dengan melibatkan peran pihak
swasta. Hasil utama yang aka diperoleh adalah hasil hutan kayu yang diusahakan.
Berdasarkan
peraturan perundangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan
hutan diarahkan bagi rehabilitasi kondisi kawasan hutan yang telah rusak,
pengusahaan hutan yang diawali dengan upaya rehabilitasi dan kegiatan utamanya
yang berorientasi jangka panjang dengan memenuhi kebutuhan hasil hutan kayu
masa depan. Disamping berorietasi pada perbaikan kondisi sumber daya alam, juga
berorientasi pada peningkatan pendapatan masyarakat utamanya masyarakat sekitar
hutan.
Mengacu pada 3
(tiga) skema pemanfaatan kawasan hutan, masyarakat sekitar hutan blok Elang
belum pernah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan, bahka belum pernah
mengajukan permohonan pemanfaatan kawwasan hutan. Hal ini berarti pelaksanaan
pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan tidak termasuk dalam katagori
pemanfaatan kawasan hutan.
d. Pengakuan Masyarakat Adat
Permohonan dengan
mengatasnamakan masyarakat adat, dapat dilakukan sebagaimana dalam Surat Edaran
Menteri Kehutanan Nomor S.75/Menhut-II/2004 tanggal 12 Maret 2004 perihal Surat
Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh Masyarakat
Hukum Adat. Pengakuan masyarakat hukum adat
dapat dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda), dengan persyaratan :
a. masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada
wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada
pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
Peraturan Daerah disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat
setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta
instansi atau pihak lain yang terkait.
Pengakuan masyarakat adat dalam bentuk Perda tersebut, dapat dilanjutkan dengan
permohonan kepada Menteri Kehutanan guna mengelola kawasan hutan adat. Kawasan
hutan yang dikelola oleh masyarakat adat tersebut tidak mengubah fungsi kawasan
serta status kawasan. Kawasan yang diizinkan oleh Menteri Kehutanan akan tetap
sebagai kawasan hutan Negara yang pengelolaannya dilakukan secara adat.
Keberadaan
masyarakat yang mengatasnamakan komunitas Adat suku Berco sebagai bagian
masyarakat adat Cek Bocek masih belum mendapat pengakuan dalam bentuk Peraturan
Daerah, yang didasarkan pada hasil penelitian para pakar hukum adat. Hasil
pembahasan dalam forum rapat Pemerintah Kabupaten Sumbawa, antara lain
menyatakan bahwa :
·
Lahan yang diakui
sebagai areal tanah adat Dodo, Selesek dan Sury seluas 20.000 Ha yang
dituangkan dalam surat masyarakat, termasuk dalam kawasan hutan Negara, dengan
fungsi sebagai hutan produksi, berada dalam KH. Dodo Jaran Pusang, RTK 64.
·
Wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat sudah tidak dikenal Hak Ulayat. Kepemilikan lahan harus
mengacu pada peraturan perundangan di bidang pertanahan,
·
Pemanfaatan dan
pengolahan lahan, tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pola pengelolaan
sumber daya alam yang dilakukan secara adat adalah pengelolaan yang dilakukan
secara komunal, tidak dilakukan secara individu. Rencana pengelolaan hutan yang
akan dilakukan oleh pemohon dengan mengatasnamakan masyarakat adat, tidak
mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat, bahwa permohonan cenderung secara
individu dalam bentuk SKPT sebanyak 303, yang berarti penguasaan lahan akan
dilakukan sebanyak 303 orang. Gambaran peta sebagai dokumen hasil pengukuran
juga menunjukan adanya upaya masing-masing individu dalam menguasai kawasan
hutan.
IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kondisi dan
hasil analisis, adalah :
a. Status kawasan hutan pada Kelompok Hutan Dodo Jaran
Pusang RTK 64, yang menjadi obyek pengukuran dan atau pengkaplingan sudah
mempunyai status hukum yang tetap dalam bentuk Surat Keputusan Penentapan
Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan. Proses penetapan kawasan hutan tersebut,
sudah dilakukan sesuai dengan proses yang benar yaitu melalui kegiatan
pengukuran, penataan batas, pemetaan dan penyelesaian BATB oleh PTB.
b. Penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat bagi
pengembangan usaha tani, tidak memenuhi syarat karena tidak sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini berarti kegiatan pengukuran dan
atau pengkaplingan kawasan hutan yang dilakukan merupakan kegiatan illegal,
karena tidak didasari peizinan yang sah dari Menteri Kehutanan. Permohonan juga
belum pernah diajukan oleh masyarakat kepada Pemerintah cq. Menteri Kehutanan.
c. Pemanfaatan kawasan hutan untuk pengembangan usaha tani
masyarakat, tidak tepat karena sesuai dengan peraturan perundangan tidak
termasuk dalam katagori pengembangan usaha tani. Pemanfaatan hutan yang dapat
dilakukan harus melalui mekanisme HKm dan HTR. Kegiatan pengukuran dan
pengkaplingan yang dilakukan tidak mempunyai dasar hukum dalam bentuk perizinan
dari Menteri Kehutanan.
d. Pengakuan masyarakat adat harus melalui penelitian oleh pakar
hukum adat dan instansi terkait lainnya untuk diajukan pengakuannya melalui
peraturan daerah. Berdasarkan peraturan daerah tersebut dapat diajukan
permohonan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapat perizinan pengelolaan hutan
adat secara komunal, tidak dalam bentuk individu. Berkenaan dengan hal
tersebut, maka aktivitas pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan oleh
masyarakat merupakan kegiatan illegal.
e. Berdasarkan analisis kondisi biofisik dan klimatologis
dapat dinyatakan bahwa pengelolaan hutan tanpa pertimbangan yang akurat akan
berbahaya bagi wilayah bawahannya terutama terhadap bahaya banjir dan longsor.
Perubahan kondisi sumber daya hutan yang mungkin terjadi sebagai akibat
konversi kawasan hutan diyakini akan memberi dampak negatif terutama terhadap
penurunan produksi, penurunan pendapatan, kekeringan di musim kemarau, banjir
di musim penghujan serta menurunkan kesuburan tanah.
f. Hasil analisis sosial, secara keseluruhan diketahui bahwa
pemicu terjadinya pengukuran dan atau pengkaplingan kawasan hutan adalah
berkembangnya kabar bahwa akan masuk perusahaan tambang dalam skala besar,
sehingga masyarakat berharap dapat terlibat didalam kegiatan tersebut. Harapan masyarakat
adalah mendapat kompensasi dari penguasaan kawasan hutan dan menjadi tenaga
kerja.
2.
Saran
a. Memperkuat pemahaman dan pengakuan terhadap kawasan hutan
melalui sosialisasi, penyuluhan, diskusi dan advokasi sehingga masyarakat akan
mempunyai pemahaman yang semakin meningkat serta mengarah pada pengakuan
terhadap kawasan hutan. Peningkatan kapasitas dan pengakuan masyarakat akan
menekan gangguan keamanan hutan dalam bentuk apapun serta masyarakat juga akan
tergugah untuk secara bersama-sama menjaga dan memperbaiki kondisi sumber daya
hutan.
b. Peraturan perundangan yang menyangkut penggunaan dan
pemanfaatan kawasan hutan perlu disosialisasikan secara luas sehingga
masyarakat akan lebih paham dan mengetahui prosedur, persyaratan, mekanisme dan
lain-lain terhadap penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Hasil sosialisasi
tersebut akan meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga dapat diketahui
”boleh, tidak boleh serta proses” yang harus ditempuh dalam penggunaan dan
pemanfaatan kawasan hutan.
c. Pengakuan masyarakat adat, agar ditempuh melalui proses
penelitian dan penyusunan peraturan daerah. Berdasarkan pengakuan melalui Perda
tersebut, dapat diajukan permohonan pengelolaan hutan adat, namun status
kawasan hutan tetap sebagai sebagai hutan negara.
d. Penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan agar dilakukan
secara hati-hati melalui proses yang benar karena akan membahayakan bagi
wilayah bawahannya. Pembatasan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan perlu
melihat kondisi biofisiklokasi dengan membatasi perubahan sumber daya yang
mungkin terjadi.
e. Pengelolaan sumber daya alam dalam bentuk tambang perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya manusia setempat. Pola
rekruitmen dapat mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia setempat
sedangkan yang tidak memenuhi persyaratan dapat menggunakan sumber daya manusia
dari luar daerah. Hal ini diperlukan untuk menekan konflik yang disebabkan
kecemburuan sosial.