Jumat, 23 Oktober 2015

DENGAN BERFIKIR KITA ADA, SEKRANG DENGAN MENULIS KITA BEKARYA


SEKAPUR SIRIH 


 Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan kehutanan dewasa ini sangat kompleks dan multidimensional dan dikategorikan sebagai suatu tindak pidana yang bersifat khusus (lexs specialis), sehingga menjelma menjadi kejahatan yang luar biasa (estra ordinary crime). Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya degradation dan deforestration kerusakan alam, lingkungan, kerugian secara inmaterial yang tak terhingga dan kerugian materil serta berdampak baik bagi kehidupan sosial, polotik, ekonomi dan budaya. Dengan demikian, permasalahan tersebut diatas diperlukan upaya luar biasa (exstra ordinary) dalam penanganan penggulangan tindak pidana kehutanan. Upaya penanggulangan tindak pidana kehutanan diformulasikan salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kehadiran Undang-undang ini, mengamanatkan pembetukan lembaga khusus dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dan sebagai jawaban terhadap adanya kelemahan atau ketidakefektifan dari undang-undang sebelumnya untuk mengatasi kebaharuan dari tindak pidana kehutanan. 
Buku ini berasal dari hasil penelitian tesis dalam rangka menyelesaikan studi pada program pascasarjana magister ilmu hukum universitas mataram 2015. Setelah dilakukan revisi yang disesuaikan dengan format buku, penulis berkeinginan agar buku ini diterbitkan agar dapat oleh para pembaca umunya dan pemerhati serta praktisi penegakan hukum kehutanan khusnya. 
Dengan diterbitkannya buku ini dengan harapan dapat memberikan pandangan dan tambahan pustaka yang terdapat didalamnya, kepada para pembaca, baik dosen, mahasiswa maupun penegak hukum lingkup kriminal justice sistem, para Penyidik-Polisi, Jaksa dan Hakim. Bagi para mahasiswa, dosen buku ini dapat dijadikan refrensi, sedangkan penegak hukum dapat dijadikan acuan atau pedoman dan sumber insfirasi tentunya dalam melaksanakan tugas mulia dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Karya tulis dalam buku ini, terbagi dalam 4 (empat) Bab. Bab I terkait permasalahan dan kebijakan tindak pidana kehutanan, Bab II tentang prinsip dasar teoritik tindak pidana kehutanan, Bab III menggambarkan tinjauan umum pengelolaan hutan di Indonesia dan kebijakan formulasi hukum pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan dan Bab IV membahas tentang kewenangan Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan. Tanpa adanya semngat, kesempatan, bimbingan, dan masukan serta dorongan moril dan matril dari banyak pihak kepada penulis tentu buku ini tidak akan pernah samapai ke tangan pembeca. 
Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Lalu Husni, SH., M.Hum, Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum, Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH. dan Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH. yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, Bapak Burhan, SP., MM. dan Sdr. Abd Hasan, SH., MH., Jupriadi Putra, SH., serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan. Ucapan terima kasih khusus kepada Bapak Dr. Lalu Parman, SH., MH. dan Dr. Amiruddin, SH., M.Hum., selaku pembimbing penulis dalam melaukan penelitian tesis. Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis berharap adanya kritik dan saran yang konstruktif bagi penyempurnaan buku ini. 

Mataram, Oktober 2015
Penulis,

 Astan Wirya

Kamis, 02 Juli 2015

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Mataram ASTAN WIRYA NIM. I2B 013 009 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM TAHUN 2015 Halaman Pengesahan TESIS INI TELAH DI UJI Pada tanggal, 01 Juni 2015 Pembimbing I Pembimbing II Dr. Amiruddin, SH., M.Hum. Dr. Lalu Parman, SH., MH. NIP.19670710 198503 1 001 NIP.19580408 198602 1 001 Mataram, 01 Juni 2015 Mengetahui ; Program Studi Magister Ilmu Hukum Uniersitas Mataram Ketua, Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. NIP. 19550815 198103 1 035 Program Studi Pascasarjana Uniersitas Mataram Direktur, I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D NIP. 19550815 198103 1 035 TESIS INI TELAH DI UJI PADA TANGGAL, 01 JUNI TAHUN 2015 MAJELIS PENGUJI TESIS BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR PRGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM NOMOR : /H18.4/HK/2015 Ketua : Dr. H. Muhammad Natsir, SH., M.Hum : .............................. Anggota : Dr. Amiruddin, SH., MH. : .............................. Anggota : Dr. Lalu Parman, SH., M.Hum : .............................. Anggota : Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH. : .............................. Anggota : Dr. Muhammad Sood, SH., MH. : .............................. CURRICULUM VITAE Nama : ASTAN WIRYA Tempat/tanggal lahir : Sukarara/LOTIM, 10 Februari 1983 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama Islam : Islam Pekerjaan : Polisi Kehutanan Data Keluarga : Istri : Dewi Karmila, ST. Anak : - Riwayat Pendidikan : Perguruan Tinggi : 1. Strata Satu (S-1) Konsentarasi Sistem Peradilan dan Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitan Mataram 2. Strata Dua (S-2) Konsentrasi Hukum Pidana Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Unversitas Mataram. KATA PENGANTAR Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah, rahmat serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW., beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan”. Penyelesaian tesis ini, tidak akan rampung tanpa bantuan, saran, arahan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis. Perjalanan panjang dalam studi di Program Pascasarjana Universitas Mataram Program Studi Magister Ilmu Hukum, hingga penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar. 2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap kesempatan berdiskusi. 3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum dan sebagai dosen pengajar. 4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana Hukum Universitas Mataram. 6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing, mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini. 8. Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua Dewan Penguji tesis ini. 9. Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum., selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar. 10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu pengetahuan yang indah untuk diselami. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapakan terima kasih, khususnya kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Keluaga Besar Korps Polisi Kehutanan dan seluruh Rimbawan dimanapun berada yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi. Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk kedua orang tuaku Menggep dan Rahmin, mertua H. Abdul Karim dan Hj. Maoizah dan istri tercinta Dewi Karmila, ST., semoga Allah SWT., membalas semua kebaikan-kebaikanya. Do’a-do’anya selalu mengiringi penulis, sehingga mampu menghadapi cobaan hidup dan menjadi berkah yang memberikan semangat dari segala rintangan. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Penulis mengkharapkan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang telah membacanya. Mataram, Juni 2015 Hormat Penulis, Astan Wirya DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii HALAMAN MAJELIS PENGUJI .............................................................. iii KATA PENGANTAR ............................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................... vi DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... vii RINGKASAN ......................................................................................... x ABSTRAK .............................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Rumusan Permasalahan ......................................................................... 12 c. Tujuan Penelitian .................................................................................... 13 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 13 E. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 14 F. Kerangka Teoritik .................................................................................... 18 1. Teori Perlindungan Hukum ....................................................................... 18 2. Teori Keadilan ......................................................................................... 20 3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) ...................................... 22 4. Teori Kebijakan Penal (Penal Policy Theory) .............................................. 28 5. Teori Kewenangan (Authority Theory) ....................................................... 38 G. Kerangka Konseptual .............................................................................. 40 H. Metode Penelitian ................................................................................... 48 1. Jenis Penelitian ....................................................................................... 48 2. Pendekatan Masalah ................................................................................ 49 3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .............................................................. 50 4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum ............................................................ 51 5. Analisis Bahan Hukum ............................................................................. 53 BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN A. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA ... 1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan ........................... 2. Jenis-jenis hutan .................................................................................. 2.1. Status Hutan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI .................. 2.2. Fungsi Hutan .................................................................................... 2.3. Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) ........................ 2.4. Hutan berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro dan Resapan Air .................................................................................................. 3. Perlindungan Hutan ............................................................................. 4. Legalitas Hasil Hutan ........................................................................... 5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar .................................. 6. Perbuatan Perusakan Hutan ................................................................ B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA ............................................... 1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana .................................................... a. Ketentuan Pidana umum dalam KUHP yang terkait dengan Tindak Pidana Kehutanan ................................................................. 1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP) .................. 2. Pencurian (Pasal 362-363 KUHP) ........................................................ 3. Penyelundupan (Pasal 121 KUHP) ...................................................... 4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) ...................................................... 5. Penggelapan (Pasal 372-377 KUHP) ................................................... 6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) ............................................................ b. Ketentuan Tindak Pidana dalam Undang-Undang di Bidang Kehutanan ....................................................................................... 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ................................................ 2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ............... 3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ............................................................................ 2. Kebijakan Formulasi Pertanggung Jawaban Pidana ......................... 2.1. Asas Pertanggungjawaban pidana terbatas atau ketat (stric liability) ..... 2.2. Asas Pertanggungjawaban atas Kesalahan (genn straf zonder schuld) ... 2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability ........................................ 3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punisment Syistem) a. Jenis-jenis pidana ................................................................................. b. Syarat pemidanaan ............................................................................... c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan ............................. 4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional ................................................................................... a. Formulasi hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional ........................................................... b. Formulasi hukum acara pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional ............................................... c. Lembaga atau Instansi lain yang dapat menangani Tindak Pidana Kehutanan ........................................................................................ BAB III. KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (P3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN 1. Kedudukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan ........................................... a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ................................................................................................... b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum ................................................ 2. Struktur Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ........................................................................ a. Struktur dan Kelembagaan Lembaga P3H ................................................. b. Unsur-unsur dalam Lembaga P3H ........................................................ 3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ............................................ 1. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi ...................................................... 1.1. Pencegahan .................................................................................... 1.2 Penindakan atau Penegakan Hukum .................................................. 2. Penyelidikan dan Penyidikan .............................................................. 2.1. Penyelidikan .................................................................................... 2.2. Penyidikan ...................................................................................... 3. Penuntutan .......................................................................................... 4. Persidangan di sidang pengadilan ..................................................... $4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional ........................... BAB IV. PENUTUP A. KESIMPULAN ................................................................................ B. S A R A N ....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 54 54 57 58 61 63 64 64 66 73 79 80 85 86 87 88 89 89 91 92 93 94 95 97 120 121 122 124 126 131 133 134 135 135 142 147 155 155 157 159 159 161 162 164 164 166 167 167 168 172 176 183 186 187 189 200 DAFTAR SINGKATAN 1. DHH = Daftar Hasil Hutan 2. DR = Dana Reboisasi 3. HPH = Hak Pengusahaan Hutan 4. IPK = Izin Pemanfaatan Kayu 5. IPHHK = Izin Pengusahaan Hasil Hutan Kayu 6. IPKTM = Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik 7. IUPHHK = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 8. IUPHHA = Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam 9. KB = Kayu Bulat 10. LHP = Laporan Hasil Penebangan 11. LHPKB = Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat 12. PSDH = Provisi Sumber Daya Hutan 13. RKL = Rencana Kerja Lima Tahunan 14. P2SKSHH = Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan 15. P3KB = Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat 16. P3KG = Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Gergajian 17. RKT = Rencana Kerja Tahunan 18. SATS = Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar 19. SAT-DN = Surat Angkut Tumbuhan Dalam Negeri 20. SAT-LN = Surat Angkut Tumbuhan Luar Negeri 21. SKAU = Surat Keterangan Asal Usul 22. SKSHH = Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan 23. TPKT = Tempat Penampungan Kayu Terdatar 24. TPI = Tebang Pilih Indonesia 25. P3H = Pencegahan dan Pembarantasan Perusakan Hutan 26. KUHP = Kitab Undang Undang Hukum Pidana 27. KUHAP = Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY ABSTRACT The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention, and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law. Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach, historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with deductive and inductive concept as the explanation, logic interpretation and systematic. The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990 regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999 regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around forestry, corporate, and government authorities An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others, institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource, campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate supervise a criminal forest lawsuit act. Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir dari proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan tonggak sejarah kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum . Tujuan politik hukum negara Indonesia juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu : 1. Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4. Ikut memelihara ketertiban dunia. Berlandaskan pada hal itu, negara kesatuan Republik Indonesia membentuk pemerintahan dengan menyelenggarakan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan positif, perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus-menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan. Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah satu bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara dan meliputi pula hukum formil maupun hukum materiilnya. Pengelolaan hutan dalam pelaksanaannya senantiasa harus memperhatikan fungsi dan peruntukannya, sehingga pengelolaan hutan yang mengabaikan fungsi dan peruntukannya sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan hutan. Kekayaan sumber daya alam Indonesia termasuk flora dan fauna harus dikelola seoptimal mungkin tanpa harus merusak ekosistemnya, antara lain dengan menerapkan prinsip konservasi , sehingga hutan tetap terjaga kelestariannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non prosedural, pertambangan tanpa izin (illegal mining), perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan, pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker, penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi . Dalam upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan dan Hakim telah mempergunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan. Kebijakan baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan (degradation) dan menurunnya fungsi-fungsi hutan (deforestration), sebagai akibat dari kebebasan individu-individu atau korporasi, bahkan potensi keikutsertaan dari komponen personal pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu peraturan perudang-undangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya sumber hukum matriel. Dalam pengkualifikasian dari delik-delik pidana yang terdapat dalam peraturan perundangan-undangan sebelumnya bagi seseorang, sehingga mereformulasikan kebijakan hukum pidana tidak hanya melihat peraturan sebelumnya saja, akan tetapi lebih dari itu seperti bagaimana kebijakan politik dari orang-orang yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan, apakah kepentingan pribadi atau orang lain bahkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain kebijakan hukum pidana sebelumnya tidak mampu menampung atau mengakomodir tindakan-tindakan kebaruan tindak pidana perusakan hutan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagai salah satu tindakan preventif berupa pencegahan terhadap perusakan hutan dan tindakan represif yakni penegakan hukum dengan konsekuensi pidana yang lebih tegas. Selain dari itu reformulasi dari kebijakan hukum pidana sebagai salah satu dari bagian pembangunan nasional adalah pembaharuan dibidang hukum yang secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara yang meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan hukum pidana dibidang kehutanan, meskipun pada dasarnya kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari kebijakan dari pembidangan hukum-hukum yang lainya. Seperti bagaimana norma-norma hukum yang hidup dimasyarakat yang terkena efek dari pengerusakan hutan itu, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah dalam menjaga perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana masyarakat sangat bergantung pada hasil hutan dengan cara-cara yang sederhana dan menjaga dari sumber hasil pendapatan mereka. Hukum berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat . Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief” pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada, untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa : “Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.“ Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman Sarikat Putra Jaya mengatakan bahwa; proses penegakan hukum itu menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum atau perundang-undangan. Perumusan pikiran pembuat Undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu nanti dijalankan. Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana, maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling berkait yaitu : 1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana 2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggung-jawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan 3. Sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut. Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa atau aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni : a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif b. Tahap kebijakan yudikatif/aflikatif; dan c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut terterkandung di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan. Kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels dikutif oleh Hj. Rodliyah di¬sebutkan “merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan” (criminal policy is the rational organization of the social re-actions to crime). Mencakup beberapa bagian mengenai kriminal antara lain : 1. Criminal policy is the science of response (kebijakan hukum pidana sebagai ilmu pertanggungjawaban) 2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan hukum pidana sebagai sebagai ilmu pencegahan) 3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime (kebijakan hukum pidana adalah sebagai kebijakan yang mempelajari perilaku kejahatan manusia). 4. Criminal policy is a rational total of response to crime (Kebijakan hukum pidana sebagai keseluruhan pertanggungjawaban pidana). Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern, dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi, terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk di dunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting dan strategis tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup . Pembangunan hutan berkelanjutan (sustainable forest) memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam penanggulangan dan pencegahan kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan tersebut, telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar, serta telah meningkatkan pemanasan global (global warming), perubahan iklim (anomali iklim) yang telah menjadi permasalahan dan isu, baik nasional, regional, dan internasional. Dewasa ini tindakan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan semakin meluas dan mengalami permasalahan yang kompleks. Perbuatan perusakan hutan terjadi tidak hanya pada hutan dengan fungsi produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan demikian, telah berkembang menjadi suatu perbuatan kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai kejahatan yang terorganisir (orgenaized crimes), melibatkan multi pihak, baik nasional, regional maupun internasional. Dalam melakukan pencegahan perusakan hutan, sunggu telah lama dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi dan kompleksitas kehidupan sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum yang konprehensif dan tegas dalam bentuk Undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut, telah mencapai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan negara. Oleh karena itu, upaya penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan, juga harus dilakukan secara luar biasa (esxtra ordinary). Kebijakan formulasi hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, lahir sebagai jawaban terhapap adanya kelemahan-kelemahan pengaturan hukum tindak pidana kehutanan atau ketidak epektifan dari Undang-undang sebelumnya untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan. Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dikharapkan dapat dilakukan upaya penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tentu dengan mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta keberlanjutan, tanggungjawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat, prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi. Dalam pembentukan Undang-undang ini, memiliki aspek pencegahan dan pemberantasan atau aspek represif, juga mempertimbangkan aspek restoratif, yang bertujuan untuk : a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya. b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan. c. Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan perusakan hutan d. Mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun multilateral e. Menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera. Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary), salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, didalamnya mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain melakukan upaya pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan pemberantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan terintegrasi, kewenangan LP3H ini juga adalah memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan. Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penelitian ini menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan dan permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan. B. Rumusan Permasalahan Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan berkaitan dengan penelitian tesis sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.? 2. Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan mengkaji dengan memaparkan landasan konseptual dan teoritis sehingga dapat memperoleh jawaban dengan permasalahan tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : a. Menganalisis berkaitan Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. b. Mengkaji Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berguna dan memberikan kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis maupun praktis antara lain manfaat tesebut adalah : 1. Secara teoritis Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pidana dan hukum lainya khususnya mengenai ikhwal kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, pemberantasan perusakan hutan atau penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana indonesia, selain itu berguna untuk membangun pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pidana pada khususnya, terutama berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana kehutanan. 2. Secara praktis Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi lembaga atau instansi, atau pihak-pihak yang berkepentingan, aparat penegak hukum khususnya (Penyidik, Jaksa dan Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam upaya penanganan, mengambil atau menerapkan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, atau perbutan perusakan hutan. Bagi aparat penegak hukum dan seluruh elemen terkait (stake holders) dapat menjadi masukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. E. Ruang Lingkup Penelitian Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian ini untuk menjaga agar penelitian ini tidak membias dari isu hukum normatif, atau pokok permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan kebijakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Permasalahan hukum dalam penanggulahan tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terdapat 2 (dua) pokok pemasalahan yaitu : 1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan dan, 2. Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan. Berdasarkan dari fokus permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, tampak secara jelas bahwa penelitian ini bergerak pada upaya penggalian serta pemahaman akan arti tujuan hukum yakni : 1. Keadilan Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" . Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita tidak hidup di dunia yang adil" Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Adalah “wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak setip orang” . Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. 2. Kemanfaatan Pada prinsipnya tujuan hukum hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan untuk masyarakat. Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya adalah semata-mata untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya warga masyarakat. Bahwa negara dan hukum semata-mata ada untuk memberikan manfaat sejati. Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya “the greatest happinnes of the greetest numbers” (kebahagiaan yang terbesar, untuk kebahagiaan semua orang). 3. Kepastian Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan Adalah “Scerkeit des Recht Selbst” (kepastian tetang hukum itu sendiri) F. KERANGKA TEORITIK Teori hukum normatif yang merupakan orientasi dalam studi ini menggunakan beberapa pemikiran atau konstruksi, kritik dan sistematik sebagai kerangka teori dalam mengembangkan permasalahan penelitian dan menjawab setiap permasalahan hukum yang menjadi pokok bahasan dalam kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Teori Perlindungan Hukum Kehadiran hukum dalam suatu kekuasaan negara diorientasikan untuk menjaga tertib kehidupan masyarakat dan melindungi berbagai hak dan kewajiban yang tumbuh dan berlaku disuatu negara. Dalam pandangan Jhon Locke bahwa “kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat, dari bahaya yang mengancam, baik yang datang dari dalam maupun dari luar”. Sebagai pemegang kedaulatan, maka negara harus mampu memberikan perlindungan bagi kehidupan warga negaranya, baik dalam hukum publik maupun hukum privat. Bukan sebaliknya, negara bardaulat dapat bertindak sewenang-wenang atas warga negaranya. Sehingga kedaulatan negara dengan hukumnya dapat mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutilitiet) dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Menurut muchsin , perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup manusia. Atas dasar itu, maka perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaanya melalui sanksi. Konsep teori perlindungan hukum sangat terkait dengan pemerintah atau negara, karena pemerintah atau negara sebagai titik sentralnya. Oleh karena itu, terbentuklah 2 (dua) bentuk perlindungan hukum, yaitu : a. Perlindungan hukum preventif perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. b. Perlindungan hukum reresif perlindungan hukum refresif merupakan perlindungan hukum akhir yang berupa sanksi, seperti denda penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Berdasarkan itu, perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa atau permasalahan. Sementara perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Seperti halnya perlindungan hukum dalam peradilan umum dan peradilan administrasi ke dalam perlindungan hukum represif. Konsep perlindungan hukum pun sangat terkait erat dengan fungsi hukum sendiri. Mochtar Kusuma Atmaja menguraikan fungsi hukum sebagai berikut : “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasanya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan memepertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang yang membangaun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang konservatif tentang hukum yang menitikberatkan pada fungsi pemeliharaan ketertibaan dalam arti statis, dan sifat konservatif hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaruan”. Pandangan atau konsepsi yang lebih luas di atas menunjukkan kekuatan hukum yang dinamis dalam mengatur tertib hukum bagi suatu masyarakat. Hukum tidak saja mengedepankan aspek-aspek represif dalam penegakannya, tetapi peka dan sensitif atas perkembangan yang sedang berlaku dalam masyarakat sehingga tindakan preventifnya dapat dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pada akhirnya, hukum dapat menjadi penyangga kehidupan manusia. 2. Teori Keadilan Keadilan menurut Plato, seperti dikutif Herman Bakir , mengemban fungsi “menyelaraskan” dan “menyeimbangkan” hal itu berbunyi sebagai berikut : Keadilan merupakan besaran-besaran atau aset-aset (virtues) tertentu yang akan membuat kondisi kemasyarakatan menjadi selaras (mengharmonikan) dan seimbang. Keadilan yang dimaksudkan adalah besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiap-tiap masyarakat manusia itu sendiri, yang pada dirinya tidak dapat di pahami, dikreteriakan atau tidak dapat diekspesitkan (dijabarkan) melalui argumentasi-argumentasi (dirasionalkan). Kita tidak dapat berkharap banyak dengan tercapainya keadilan bila hanya mengandalkan kebijaksanaan dari para pilsuf dan doktrin-doktrin mereka, sebab dalam memahami keadilan mereka kerapkali terjebak dalam keadaan dimana mereka memandang hukum hanyalah sekedar materi bertempramen spritual (mistik). Bahwa untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya keadilan dalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dengan sebuah “Negara Kota” disebutkan : 1. Di dalam suatu masyarakat yang adil, tiap warganya harus dapat memainkan perannya (fungsi kemasyarakatannya) yang paling sesuai dengan dirinya demikian juga halnya, dalam aset-aset ekonomi perorangan. 2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang ketika akal (naluri) juga menang dan selera serta nafsu binatang semestinya diletakkan (dikendalikan) sedemikian rupa pada tempat sesuai tatanan masyarakat yang berkeadilan hanya akan dapat tercapai sepanjang akal manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsip rasional lainnya dapat memandu penyelenggaraan dari elemen-elemen masyarakat, selain itu yang tidak kalah penting. Masih dalam kaitanya dengan keadilan, dalam teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles” . “Keadilan akan terjadi apabila kepada seseorang diberikan apa yang menjadi miliknya. Seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang yang mengambil lebih dari bagian semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap adil. Jadi keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum”. Dari orientasi ide keadilan tersebut, justru mengimplikasikan pada setiap permasalahan apapun yang timbul harus diselesaikan dengan berorientasi pada ide keadilan bukan paksaan. Permasalahan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan merupakan permasalahan keadilan yang harus diselesaikan berdasarkan ide keadilan yang bertumpu kepada tujuan hukum yaitu; keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan yang akan mencapai tujuan pada perlindungan masyarakat (soscial deffence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". 3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) Kebijakan yang merupakan terjemahan dari kata policy atau beleid adalah merupakan sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, keuangan dan sumberdaya manusia untuk kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, idiologi dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara . Kata kebijakan seringkali digunakan dalam istilah kebijakan publik dan kebijakan sosial. Kedua istilah tersebut sering diartikan sama, namun sebenarnya kebijakan publik dan kebijakan sosial secara kontekstual adalah berbeda. Kebijakan publik berorientasi pada penyusunan kebijakan, sedangkan kebijakan sosial berorientasi pada bidang telaah kebijakan. Secara maknawi kebijakan sosial dapat merupakan bagian dari kebijakan publik dan sebaliknya kebijakan publik merupakan bagian dari kebijakan sosial. Terkait dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor pembangunan yang mencakup aspek manusia dalam kontek masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disad pantaged group) dan kelompok rentan (fuel merable group). Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial yakni : 1. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, dan pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (magil 1986). 2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshal, 1965) 3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970) 4. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan atau, 5. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare) baik dalam arti luas yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam dalam arti sempit yang menunjuk pada beberapa jenias pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (specker, 1995) 6. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996) Berkenaan dengan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial, maka istilah kebijakan digunakan sebagai suatu istilah yang bermakna dan berorientasi secara khusus dalam mengatasi salah satu masalah sosial yaitu kejahatan. Kejahatan sebagai problem sosial dapat merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, untuk itu pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau dikenal dengan istilah politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kebahagiaan masyarakat (happines of the citizen), kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a whole some and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam klasifikasi masalah yang demikian antara lain masalah kebijakan dalam menetapkan atau merumuskan suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana dan sanksi yang dapat dikenakan. Kebijakan kriminal menurut Marc Ancel adalah sebagai “The rational organization of the control of crime by society”, sedangkan G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa, “Criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime ”. terdapat tiga arti kebijakan kriminal dengan mengatakan bahwa “Politik kriminal” ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal itu digamabarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam artian yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan, jaksa dan penyidik, dalam artian yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat”. Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuwensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial. Usaha penanggulangan kejahatan, dapat dijabarkan : 1. Pencegahan penanggulangan kejahatan, harus menunjang tujuan (goal), social welfare, dan social defence. Dimana aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan dan perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan. 2. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan “pendekatan integral” ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”. 3. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap : (1) Formulasi (kebijakan legislatif). (2) Aplikasi (kebijakan yudikatif). (3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Melaksanakan politik kriminal antara lain berarti membuat perencanaan untuk masa yang akan datang dalam menghadapi atau menanggulangi masalah yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk dalam perencanaan itu ialah di samping merumuskan perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, juga menetapkan sanksi-sanksi apa yang diterapkan terhadap si pelanggar atau pelaku yang melekukan perbuatan pidana. Kebijakan integral penanggulangan kejahatan terlihat bahwa untuk mencapai tujuan akhir tersebut ditempuh dengan dua kebijakan yaitu; kebijakan sosial (social policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal penaggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan pula dua kebijakan, yaitu dengan menggunakan kebijakan penal, dengan menggunakan sanksi pidana dan kebijakan non penal . Apabila berbagai cara tidak mampu mengendalikan perbuatan negatif masyarakat, baru sarana penal difungsikan menjadi “ultimum remidium” untuk menanggulangi kejahatan, melalui kriminalisasi dan dekriminalisasi. 4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy Theory) Istilah kebijakan hukum pidana disebut juga dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing juga digunakan istilah penal policy, criminal law policy atau strafrechtpolitiek. Untuk mengartikan istilah kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana dapat dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang politik kriminal. Menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum ada beberapa pertanyaan mendasar yaitu : 1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; dan 4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik . Mahfud M.D., mengartikan politik hukum sebagai arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Selain itu politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Dalam pengertian ini, pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu. Lebih lanjut Mahfud MD., menjelaskan bahwa politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Berdasarkan pengertian-pengertian politik hukum tersebut, maka sebagai bagian dari politik hukum, kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan hukum pidana yang baik yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di masa yang akan datang. Secara substansi penyusunan kebijakan hukum pidana dimulai dengan proses kriminalisasi dan/atau proses dekriminalisasi. Dilihat dari perspektif kebijakan hukum pidana, kriminalisasi hakikatnya adalah merupakan kebijakan untuk “mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Peter G. Hoefnagels menyatakan bahwa “criminal policy is a policy of designating human behavior as crime” kebijakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Untuk melakukan kriminalisasi haruslah didahului oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional; b. Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulagi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan tersebut mendatangkan kerugian bagi masyarakat; d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefid principale). Kebijakan formulasi perbuatan yang hendak dilarang dapat dirumuskan dalam rumusan undang-undang pidana dengan menjadikannya suatu perbuatan pidana. Konsep perbuatan pidana atau tindak pidana yang diparalelkan dengan pengertian criminal act, mengalami pergeseran baik secara substansi maupun prosedur penetapannya. Kebijakan hukum pidana merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata “sesuai” dalam pengertian tersebut mengandung makna “baik” dalam memenuhi syarat keadilan dan dayaguna . Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap kebijakan legislatif yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif yaitu melaksanakan hukum pidana secara kongkrit, oleh aparat pelaksana pidana. Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit atau formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas atau material. Dalam arti sempit atau formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan atau mengenakan sanksi pidana menurut Undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Mengingat pentingnya pemidanaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), perlu diperhatikan juga berkaitan denngan teori-teori penjatuhan pidana atau teori pemidanaan, yakni : 1. Teori absolut atau “vergeldings theorie” adalah teori yang mempunyai ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat “pembalasan” (vergelding or vergeltung). Diantara penganut teori ini adalah Immanuel Kant yang memandang pidana sebagai “kattegorische imperatief” yakni; seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, sedangkan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi adanya kejahatan. Menurut Andeanes bahwa tujuan utama (primair) menurut teori ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the clims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Aliran ini berpendapat bahwa pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah menjadi suatu kehajahatan yang telah menggoncangkan masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang telah menimbulkan penderitaan anggota masyarakat lainnya, sehingga untuk mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu pidana (nestapa) terhadap pelaku. 2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Penjatuhan pidana dimaksudkan tidak untuk memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut : a. Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) b. Teori reduktif ( untuk mengurangi frekuensi kejahatan); atau c. Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, adalah untuk : 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de maatshappelijke orde). 2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad onstance maatshappelijke nadeed). 3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader). 4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijke maken van de misdadinger). 5. Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoMing van de misdaad). . 3. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua teori di atas atau gabungan dari teori absolut dan relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan : 1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera melaksanakan. 2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan . Dalam teori ini diperhitungkan adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Dalam penelitian ini akan lebih ditekankan mengenai teori relatif atau teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Pokok aliran utilitarian ini mangatakan bahwa “suatu tindakan mempunyai nilai moral apabila tindakan tersebut memberikan konsekuensi yang baik pada orang-orang lain sebanyak banyaknya”. Jeremy Bentham mengungkapkan esensi dari teori aliran utilitarianisme ini dengan semboyan : “the greatest happiness for the greatest number”. Pemikiran yang mendasari aliran ini adalah bahwa pada akhirnya setiap perbuatan manusia itu haruslah dievaluasi guna meningkatkan kesejahteraan umum atau taraf sosial (sebagai konsekuensi dari kebahagiaan/kemapanan/kepuasan yang telah dicapai oleh masyarakat mayoritas). Look to the future and promote human welfare (melihat ke masa depan dan meraih kesejahteraan masyarakat), merupakan ajaran dari aliran utilitarianisme yang berhubungan dengan etika, namun secara formal ajaran ini dapat dilihat dari prinsip utilitas, yaitu : “of all the possible action open to you, perform that action with the greatest tendency to bring about the balance of happiness over misery for mankind as a whole” (dari segala kemungkinan perbuatan yang akan dilakukan, lakukanlah perbuatan tersebut dengan mengutamakan keseimbangan dari kebahagiaan dengan mengesampingkan penderitaan bagi umat manusia secara menyeluruh). Ajaran utilitarianisme terkadang disebut dengan teori kebahagiaan terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang banyak, karena kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan “asas kegunaan atau manfaat” (the principle of utility). Salah satu penganut teori ini adalah Seneca yang terkenal dengan ucapannya ; “nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne pecceter” (artinya : no reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong doing = tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat). Johanes Andenaes menyebut teori ini juga sebagai teori pelindung masyarakat. Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, yaitu : 1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; 2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan; 3) Untuk memperbaiki si penjahat; 4) Untuk membinasakan si penjahat; 5) Untuk mencegah kejahatan. Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan atau tindakan perusakan hutan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan adalah untuk menanggulangi kejahatan kehutanan dan mencapai tujuan pemidanaan atau politik kriminal pada masa-masa yang akan datang. 5. Teori Kewenangan (Authority Theory) Wewenang merupakan bagian penting dari aspek hukum, terutama segi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena objek dari Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah berkaitan erat dengan wewenang atau kewenangan pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan kekuasaan negara sehingga ruang lingkup wewenang pemerintah meliputi wewenang keputusan (beschikking) dan juga wewenang dalam rangka melaksanakan tugas serta pengaturan (rechtgelling). Kewenangan (authority) berbeda dengan wewenang (competence) kewenangan merupakan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan eksekutif. Dalam hal kewenangan terdapat wewenang untuk melakukan kewenangan publik. Prajudi Admosudirjo memberikan pengertian wewenang adalah “kekuasaan terhadap golongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintah dibidang urusan tertentu”. Secara teoritik kewenangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yakni sebagai berikut : 1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah. 2. Delegasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan dari satu pemerintahan mengizinkan kewenangannya di jalankan oleh organ lain atas namanya. Kewenangan atributif dalam arti yuridis wewenang kamampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-undang untuk melakukan hubungan-hubungan hukum, yakni hubungan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Kewenangan delegasi adalah wewenang yang merupakan hak dan kekuasaan untuk pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan kewenangan mandat (mandate) adalah suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan adanya hubungan atasan dan bawahan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. G. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan landasan konsep yang akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang di gunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian penting dari rumusan teori. Kegunaan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang yang khusus yang lazim disebut dengan definisi opersional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua atau ganda dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memeberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel pokok yaitu; Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dan Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan. 1. Kebijakan Hukum Pidana 1.1. Kebijakan Dalam bukunya Barda Nawawi Arief” istilah kebijakan yang dalam bahasa Inggris “policy ” atau “politiek” dalam bahasa Belanda sering disebut sebagai politik yang berarti kebijakan. Secara umum politik atau kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perunndang-undangan dan pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). 1.2. Kebijakan Hukum Terdapat banyak definisi menegenai kebijakan hukum atau politik hukum. Padmo Wahjono” mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk . Sedangkan Teuku Mohammad Radhie ” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan menegenai arah perkembangan hukum yang akan dibangun. Menurut ahli lain berpendapat Satjipto Raharjo yang di kutif dari tesis Muhammad Aziz Hakim” medefinisikan politik hukum sebagai aktifitas memilih cara yang hendak dipakai untuk memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan dasar, yaitu ; 1) tujuan apa yang hendak di capai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik yang dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. 1.3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Kebijakan formulasi hukum pidana merupakan istilah yang berasal dari politiek dari Belanda dan policy dari Inggris, dari istilah asing tersebut, maka istilah “politik hukum pidana” atau sering juga disebut dengan istilah “kebijakan hukum pidana” dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain; “penal policy” atau “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Sedangakan istilah formulasi atau formula merupakan pembentukan, penyusunan atau perumusan yang berkaitan erat dengan pengaturan atau disebut sebagai kebijakan legislatif atau formulatif. 2. Penanggulangan tindak pidana Penanggulangan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal maupun non penal atau dikenal istilah upaya hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi . Kegiatan non penal dengan melakukan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau penanggulangan tindak pidana dengan penggunaan sarana penal dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana melalui penegakan hukum (law enforcement). istilah penegakan hukum dapat dipergunakan terjemahan dari echtshandhaving, yang dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan . Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanya melalui proses pengadilan. Adapula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi masyarakat berperan dalam penegakan hukum . Andi Hamzah menyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalan Bahasa Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu adalah polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang lebih luas . 3. Tindak Pidana Kehutanan (TIPIHUT) Dalam hukum kehutanan terdapat berapa peggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pidana, hal ini ditemukan dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum atau sumber hukum. istilah hukum pidana itu adalah dikenal “tindak pidana, delik, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana” atau dalam bahasa asalnya dikenal dengan “strafbaar feit” yang merupakan istilah dari bahasa Belanda yang terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie (WvSNI). Terjemahan dari istilah “strafbaar feit” merupakan istilah yang berarti suatu perbuatan dan atau peristiwa yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut atau diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya . Hukum pidana atau perbuatan pidana dibidang kehutanan dalam peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur ditemukan beberapa istilah diantarannya, penebangan liar atau pembalakan liar (illegal logging), perusakan hutan adalah perbuatan pidana yang dalam peraturan perundangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Jenis-jenis perbuatan pidana ini ditemukan seperti; pembalakan liar atau penebangan tanpa izin (illegal Logging), pertambangan tanpa izin (illegal mining), perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin, perambahan (ocuvasi) kawasan hutan, pendudukan, penguasaan hutan tanpa izin, penggunaan kawasan hutan non prosedural dan perbuatan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Perbuatan pidana berupa perusakan hutan menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global (global warming), perubahan iklim (climeted iklim), banjir, tanah longsor dan sebagainya, hal ini telah menjadi kekawatiran dan menjadi permasalahan ditingkat nasional, regional, dan internasional. Perbuatan pidana atau tindak pidana tersebut di kriminalisasi atau diformulasikan dalam ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut dan literatur lainya ditemukan istilah Tindak Pidana Kehutanan yang lazim disebut (TIPIHUT) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang dibidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya . Dalam buku hukum kehutanan yang dikemukakan oleh M. Hariyanto mendefinisikan Tindak Pidana Kehutanan sebagai “Suatu peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya". Dari berbagai ketentuan dan pendapat ahli tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa, perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana seperti perusakan hutan, pembalakan liar atau illegal logging merupakan merupakan tindak pidana dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum pidana atau sering disebut sebagai tindak pidana kehutanan (TIPIHUT). H. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum dalam studi ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Jenis penelitian hukum ini memfokuskan untuk menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum, falsafah (dogma atau doktrin) hukum. Penelitian hukum doktrinal juga dapat berupa usaha untuk menemukan hukum in concerto yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan perkara hukum tertentu. Dalam penelitian hukum normatif atau doktrinal juga menggunakan buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai bahan perbandingan, maupun sebagai petunjuk dalam menguraikan bahasan yang selanjutnya, peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini. Sebagimana dikemukakan oleh Rinal Dwokin” penelitian hukum normatif sering disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law is writen in the book) maupun yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is by the judge thorough judicial process ). 2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat komprehensif, norma-norma hukum yang terdapat di dalamnya berkaitan antara satu dengan yang lainnya secara logis dan sistematik. Bahwa di samping bertautan antara satu dengan lainnya, norma hukum juga tersusun secara hirarkis. b. Pendekatan konsep (conseptual approach), yaitu pendekatan ini digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat dalam pikiran. Menurut Ayn Rand” secara pilsafat konsep merupakan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang diisolasikan menurut ciri khas dan yang disatukan dengan definisi yang khas. Dalam pendekatan konsep (conseptual approach) penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan dengan konsep pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan serta konsep yang terkait dengan masalah itu. c. Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu perundang-undangan. 3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah bahan hukum sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum dimaksud adalah sesuai dengan penelitian hukum, mencakup : 1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terkait dengan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan. Khususnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimanan diubah dengan Undang-undang 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta peraturan hukum yang terkait lainnya. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang meberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil penelitian, rancangan undang-undang, bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana kehutanan. 3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, kamus hukum kehutanan, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian. 4. Teknik dan Penelusuran Bahan Hukum Dalam penelitian ini, untuk memperoleh bahan hukum dan bahan terkait lainnya yang diperlukan, maka digunakan teknik dan penelusuran bahan hukum sebagai berikut : a. Teknik pengumpulan hahan hukum; dilakukan dengan studi pustaka dan dokumentasi dalam studi ini dilakukan pengumpulan, menginventarisir dan mempelajari bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier atau bahan-bahan non hukum atau bahan-bahan dokumen penting yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. b. Penelusuran bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan cara menginventarisir dan mengkaji peraturan asas-asas hukum dalam perundang-undangan, serta berbagai dokumen, maupun jurnal hukum serta hasil penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang di teliti. Penelusuran bahan hukum secara normatif ini menggambarkan ketentuan dari pendekatan penelitian yang digunakan. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan bahan hukum sekunder, dari bahan kepustakaan sehingga penyusunan kerangka konsepsionalnya mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan untuk menemukan asas-asas yang tersirat dan termaktub dalam pasal perundang-undangan yang terdapat dalam ragam dan kepustakaan yang tersedia. 5. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan analisis penelitian hukum normatif, analisis penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara penafsiran berkaitan dengan asas-asas hukum yang terkait dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan. Dengan tujuan untuk memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni, penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran memperluas, dan penafsiran yang mempertentangkan . Semua tipe penafsiran di atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis dan sistematis. Penjelasan secara logis sintesis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif, yaitu cara berfikir deduktif adalah berangkat dari umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan cara berfikir induktif merupakan cara berfikir yang berangkat dari hal-hal khusus kemudian dicari generalisnya yang bersifat umum. Setelah analisis bahan hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan cara menuturkan dan menggambarkan sesuai permasalahan yang diteliti. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN A. Tinjauan Umum Mengenai Pengelolaan Hutan Indonesia 1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan “hutan”, misalnya hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh dengan pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan. Dalam Black Law’s Dictionary hutan di definisikan “Forrest is a tract of land, not necessarily wooded, reserved to the king or a grantee, for hunting deer and other game” . “Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang dipesan oleh raja untuk berburu rusa dan permainan lain”. Menurut pendapat dari salah satu ahli kehutanan Herman Haeruman J.S. menyatakan bahwa : “Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem peyangga dan pendukung kehidupan bagi banyak makhluk.” Sementara itu Mochtar Lubis mengemukakan pengertian hutan sebagai berikut : “Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbuh-tumbuhan berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet, kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai hutan”. Adapun pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh Sukardi adalah sebagai berikut : “Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh- tumbuhan pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”. Sedangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Udang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, bahwa Hutan didefinisikan adalah sebagai berikut : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya “. Selanjutnya diketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan, Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi; kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan hutan. Perencanaan kehutanan menurut ketentuan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi; inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Dalam pengelolaan hutan, konsep hutan dengan kawasan hutan dapat dibedakan, perbedaan antara hutan dan kawasan hutan dapat dilihat dari pengertian terhadap kawasan hutan sebagai mana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dalam perkembangannya bahwa definisi kawasan hutan tersebut menimbulkan polemik dan multitafsir sehingga dilakukan permohnan pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau dilakukan judicial review yang dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi dan hasil pemeriksaan tersebut telah diputuskan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, dalam putusan mahkamah tersebut mengabulkan permohonan pemohon terhadap prase kata “ditunjuk” tidak relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan , sehinga definisi kawasan hutan tersebut untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kawasan Hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan hutan adalah “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan. 2. Jenis-jenis Hutan Berdasarkan jenis-jenis hutan, dilakukan pengelompokan jenis-jenis hutan berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di dalamnya ditentukan terdapat 4 (empat) jenis hutan yaitu, hutan berdasarkan pada, Status Hutan, Fungsi Hutan, Kawasan Hutan denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air. Berdasarkan pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Pembagian hutan hutan menurut statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut . Hutan menurut statusnya pasca putusan judicial review Mahkamah Kontitusi terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara, sehingga Hutan Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari Hutan Negara , harus dimaknai sebagai Hutan Hak. Berdasarkan pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sebagai berikut : 1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya diberikan pemerintah yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke person), koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson). Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa disekitar kawasan hutan disebut hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat berbentuk : a. Hutan Taman Industri (HTI), ialah hutan negara yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan suatu industri dan masyarakat. b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha. c. Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa d. Hutan Kemasyarakatan (HKm), ialah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan. Berbagai bentuk pengelolaan hutan negara yang dilakukan dengan berbagai program pengelolaan ataupun pemanaatan dengan tujuan adalah untuk meningkatkan kualitas mutu kehidupan, kesejahteraan masyarakat, memaksimalkan potensi sumber daya alam, dengan partisipasi, pengelolaan, pemanfaatan demi kelestarian hutan dan kesejahteran masyarakat. 2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan yang dibebani alas hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara personal dapat dibedakan sebagai berikut ; 1. Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Hakim Mahkamah Konstitusi M. Alim pada saat membacakan pertimbangan hukumnya (putusan sidang Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012). 2. Hutan hak/hutan milik adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Hutan yang berada pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami maupun yang tumbuh alami pada lahan hak/milik. Berkaitan dengan hasil hutan yang bersal dari hutan hak/milik, pengaturan pengusahaan hasil hutan atau penatausahaan hasil hutan dari hutan hak diatur dalam ketentuan tersendiri didalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Pembedaan pengaturan atau penatausahaan hasil hutan tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukun antara hak masyarakat/milik (private) dengan hak negara. 2.2. Fungsi Hutan Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung dan, (3) Hutan Produksi. 1. Hutan Konservasi Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya . Hutan konservasi ini terdiri atas : 1.1. Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga . Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan cagar alam dan suaka margasatwa . 1.2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan, dinyatakan kawasan pelestarian alam ini terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002. 1.3. Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 3. Hutan Produksi Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. 2.3. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya. 2.4. Hutan Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan Resapan Air Hutan jenis ini, disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 3. Perlindungan Hutan Kegiatan perlindunggan hutan atau usaha perlindungan hutan merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar kelestarian hutan dapat tetap terjaga. Dalam melakukan kegiatan perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global (global ecosystem). Rumusan perlindungan hutan menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa perlidungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk : a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit. b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Sedangkan dalam Deklarasi Rio de Jenairo Tahun 1992 telah ditetapkan prinsip perlindungan lingkungan dalam skala global diantaranya : In order to archeve sustainable develoement, enviromental proptection shall constitue an integral part of the developement proses and cannot be concidered in issolation prom it (article 4). States shall coperate in a spirit of global patnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the earth ecosystem... (article 7) States shall enacts efektife envioromental legislation, envioromental standards, management objektifes and priorities should reflect the envioromental and developmental context to which they apply... (article 11). Artikel (prinsip) 4 merumuskan bahwa perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. Dalam artikel 7 dirumuskan tiap negara mempunyai tanggungjawab global untuk memelihara, melindungi dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem bumi, dan dalam artikel 11 dijelaskan bahwa tiap negara menetapkan pemberlakuan ketentuan lingkungan secara efektif, standar (baku mutu) lingkungan, sasaran manajemen dan standar lainnya yang mencerminkan konteks keseimbangan antara pembangunan dan lingkunagan sesuai dengan kondisi setempat. Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 bahwa, Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Menurut pendapat peneliti, pada intinya perlidungan hutan terdapat 3 (tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut merupakan inti dari kegiatan atau upaya dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Kegiatan perlindungan tersebut dilakukan melalui; upaya persuasif dengan melakukan kegiatan pencegahan dan kegiatan dilakukan dengan melakukann tindakan represif atau penindakan dengan proses penegakan hukum (law enforcement proces). 4. Legalitas Hasil Hutan Kayu Pada umumnya keabsahan hasil hutan kayu atau disebut dengan legalitas hasil hutan mencakup permasalahan yang sangat luas, hal ini dapat ditinjau dari dimulai proses perizinan, persiapan operasi areal, kegiatan produksi, pengangkutan, penatausahaan, pengolahan, hingga pada pemasaran. Legalitas hasil hutan kayu dapat dilihat dari keabsahan asal-usul atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau prosedur dari izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, dokumentasi pengangkutan dan administrasi. Proses pemasaran, perdagangan atau pengangkutannya telah teruji memenuhi persyaratan dan telah terpenuhi semua persyaratan baik dari unsur material dan formil dari dokumennya. Sistem penatausahaan hasil hutan kayu dalam ketentuan Pasal 16 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan disebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) , sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan", pada ketentuan ini terdapat sanksi, jika larangan tesebut dilanggar dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 5 tahun, serta dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta rupiah), apabila perbuatan tersebut, yang melakukan kejahatan adalah badan hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar). Ketentuan sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau orang yang memalsukan atau menggunakan SKSHH palsu . Penggunaan istilah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 atau Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bukan merupakan nama dokumen tetapi merupakan terminologi umum (general term) yang di dalamnya terdiri dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan. Dokumen legalitas atau dokumen keabsahan hasil hutan yang digunakan dalam penguasaan ataupun pengangkutan hasil hutan baik yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia . Dokumen yang termasuk Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah sebagai berikut: a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB 401 b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301 c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko model DKA. 302 d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303 e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402 f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan. Dengan demikian, SKSHH merupakan dokumen milik negara (Kementerian Kehutanan) yang berfungsi sebagai : 1. Sebagai bukti legalitas, pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan kayu. 2. Dapat digunakan untuk pengangkutan, penguasaan atau pemilikan selain hasil hutan. 3. Menjadi dasar perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) . Sedangkan dokumen legalitas dalam penguasaan ataupun untuk mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak. Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan penguasaan atau keabsahan dari hak atau kepemilikan berupa, sertifikat, girik, leter c dan dokumen kepemilikan lain yang sah. Hasil hutan dari hutan hak dalam pengusaan atau pengangkutannya digunakan dokumen legalitas yang disebut Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) , pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan hak dengan SKAU beserta turunannya dalam bentuk dokumen NOTA Angkutan, khusus untuk 23 jenis kayu diantaranya dan NOTA angkutan penggunaan sendiri tidak diperdagangkan hanya dipakai sendiri. Menurut pendapat peneliti, penatausahaan hasil hutan kayu maupun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada hutan negara dan penatausahaan kayu pada hutan hak/milik, keabsahan atau legalitasnya dalam penguasaan maupun dalam pengangkutan harus sesuai dengan ketentuan dan tatacara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen keabsahan atau legalitas hasil hutan tersebut merupakan pengaturan atau sarana atau control berupa pengawasan dan pengendalian dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan, kerugian negara serta untuk membedakan hak negara dan masyarakat terhadap hasil hutan. Selain itu juga, dokumen perijinan dan legalitas hasil hutan yang ada juga tentu memiliki potensi untuk disalahgunakan ataupun dijadikan sebagai modus operandi timbulnya kejahatan baru. Penggunaan dokumen atau adanya legalitas hasil hutan, perijinan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan sebagai pengawasan, namun hal demikaian tidak terlepas dari bagaimana integritas dan moral serta budaya (culture) dari aparatur pemerintah, para pelaku usaha dan masyarakat dalam pengusahaan hasil hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna yang terdapat dalam hutan, karena keunikan dan kelangkaannya dilakukan upaya konservasi untuk mempertahankan jenis dilakukan perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa liar. Berkaitan dengan dokumen perizinan legalitas atau keabsahan dan upaya perlindungannya, dalam hal pemindahan atau pengangkutannya terdapat dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar (SATS) yang dilindungi, Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan , baik dokumen perizinan penangkararan dan pengangkutan tumbuhan dan atau satwa liar. Dokumen pengiriman atau pengangkutan, tumbuhan dan satwa untuk dalam negeri menggunakan Surat Angkut Dalam Negeri (SAT-DN), sedangkan untuk pengangkutan tumbuhan dan satwa keluar negeri menggunakan Surat Angkut Luar Negeri (SAT-LN), karena tanpa menggunakan perijinan tersebut dikatakan sebagai perbutan penyelundupan dan atau pencurian dan atau percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”. Berkaitan dengan ketentuan perijinan terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi baik oleh center of international trade on endanger species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsenvasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengankutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Ketentuan terkait legalitas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tidak dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: a) Pasal 42 ayat (1) “Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan” berikut Pasal 63 ayat (2) “Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,¬- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan”; b) Pasal 64 ayat (2) “Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara”. Berdasarkan pada ketentuan peraturan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, menurut pendapat peneliti dalam pengusaaan terhadap tumbuhan dan satwa liar harus pada kaedah-kaedah konservasi, perlindungan dan perizinan. Perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi guna menjaga keutuhan habitat dan ekosistemnya. 5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar Berbagai macam perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan perusakan huatan atau tindak pidana kehutanan, dilakukan dengan cara atau modus operandi diantaranya adalah penebangan pohon tanpa izin atau pembalakan liar, sering disebut dalam istilah asing sebagai (illegal logging), perambahan dan kegiatan perusakan hutan lainya. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, istilah pembalakan liar didefinisikan dalam ketentuan pasal 1 ayat 4 bahwa pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Sementara itu, istilah perambahan hutan terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, sebagian ketentuan pidana dan saksi dicabut, termasuk ketentuan sanksi pidana perambahan hutan berupa mengerjakan atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana diatur pasal 50 ayat 3 huruf a Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di nyatakan tidak berlaku dan di cabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang nomor 18 Tahun 2013, sehinga penerapannya menjadi bertentangan dengan asas hukum pidana yang menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada sanksi pidananya ”nullum dillectum nullapoena legge ponalli” atau adanya kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld). Permaslahan norma tesebut di atas, tentu saja menimbulkan kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum terhadap penanganan penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Perambahan hutan dalam rumusan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H tidak ditemukan, rumusan perambahan yang kulifikasikan dalam perbuatan terorganisasi. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dimaksudkan sebagai kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri . Sedangkan istilah perusakan hutan dijelaskan dalam ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Dalam perbuatan perusakan hutan, terdapat tipologi dalam pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan istilah cukong (penyokong dana) memiliki peranan penting dibalik kejahatan pembalakan liar tersebut. Kegiatan pembalakan liar dilakukan dengan merencanakan semua langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kayu hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara sah atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan mencucinya, penyokong dana pertama-tama membayar sejumlah uang untuk para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun jasa lainya. Sebagai balasannya, penyokong dana memperoleh akses kepada hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi kayu illegal kepada pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau pedagang kayu asing. Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum pejabat pemerintah dan penegak hukum digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi seperti televisi, sepeda motor dan mobil. Barang-barang ini dikemudian hari dapat dijual untuk benar-benar mencuci harta hasil tindak kejahatan di hutan. Sebagian uang korupsi akan digunakan untuk investasi pada bisnis yang leggal, seperti transportasi, perumahan dan perdagangan, sementara sebagian lainnya akan diinvestasikan kembali pada bisnis pembalakan liar, seperti membangun pabrik industri pengolahan kayu illegal. Sebagian harta hasil kejahatan juga akan dimasukkan ke Bank di kabupaten ataupun Bank di luar negeri. Setelah menerima kayu bulat yang sudah “dicuci”, pembeli kayu memerintahkan Bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di Bank yang sama atau mentransfer uang ke-rekening cukong di Bank lain. Rekening-rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri; sehingga Bank asing dapat terlibat dalam transaksi pembayaran pembelian kayu illegal. Untuk benar-benar menyembunyikan jejak bisnis kayu illegal, cukong dapat mengintegrasikan dana dari bisnis nonkayu legal ke dalam rekening bisnis kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan, hotel dan bisnis hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang, untuk berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil kejahatan non kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu. Pemodal atau penyandang dana juga menjaga hubungan baik dengan oknum pengambil keputusan dalam pemerintahan atau instansi terkait yang menangani urusan kehutanan, termasuk aparat penegak hukum, militer dan legislatif . Pemodal atau cukong ini, biasanya melakukan transfer uang pertemanan (goodwill) ke rekening Bank yang dimiliki oleh oknum pengambil keputusan tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri. Kegiatan seperti ini juga dilakukan dengan Bank lokal juga menerima simpanan dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap dari penyokong dana atau penyandang dana dari usaha bisnis kayu illegal. Dibawah ini terdapat tabel skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan oleh penyandang dana atau cukong sebagai berikut : Gambar : Skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging dilakukan oleh cukong atau penyandang dana . Transaksi bank (non tunai) Transaksi tunai (tunai) Pada seminar dan rapat koodinasi (RAKOR) Perlindungan dan Pengamanan Hutan, di identifikasi/ditemukan dan dikemukakan berbagai permasalahan dan berbagai macam cara atau modus operandi dan tiplogi pembalakan liar dari tindak pidana kehutanan. Kegiatan tesebut dilakukan berbagai permaslahan yang kompleks dalam penaggulangan tindak pidana kehutanan atau berkaitan dengan permasalahan perbutan perusakan hutan, diataranya adalah sebagai berikut : a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT). b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam bentuk menjadi produk jadi (meubel). c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari hutan negara . d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari Penggunaan Kawasan Hutan. f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya. g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan sertifikasi dalam kawasan hutan. h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan tanpa ijin yang sah. j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi. k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur. l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi perbuatan perusakan hutan. m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan. Berdasarkan pada uraian permaslahan tersebut di atas, terjadinya kerusakan hutan disebabkan karena dari berbagai cara modus operandi dan berbagai tipologi pembalakan liar. Perbuatan atau tindak pidana perusakan hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga disebabkan adanya kelemahan-kelemahan pada norma hukum yang ada dan aparat penegak hukum dan budaya masyarakat. Dalam upaya penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan diperlukan penanganan yang dilakukan dengan upaya yang luar biasa dan terpadu secara terukur, sturuktur dan kelembagaan yang terintegrasi. 6. Perbuatan Perusakan Hutan Perbuatan perusakan hutan merupakan suatu perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, didefinisikan bahwa perusakan hutan adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Sedangkan pembalakan liar dalam pasal 1 ayat 4 adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Selanjutnya di dalam pasal 1 ayat 6 kegiatan terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih dan bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA Kebijakan formulasi hukum pidana didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konsideran yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang kemudian ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan hukum pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Sumber daya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya dengan dilakukan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatanya secara baik berkelanjutan. Sebagaimana terdapat dalam landasan konstitusional pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” . Kawasan hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang terbuka, sehingga akses bagi masyarakat untuk masuk dan memanfaatkannya sangat besar dan dapat memicu permasalahan dalam pengelolaannya. Kegiatan perusakan hutan berupa, aktifitas penebangan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana kehutanan atau dikenal dengan istilah illegal logging. Beberapa hasil temuan modus yang biasa dilakukan dalam penebangan liar adalah pengusaha melakukan penebangan dibekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta pelaku usaha melakukan manipulasi terhadap isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek penebangan liar. Praktek penebangan liar yang terjadi disebabkan karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan dan pemodal atau cukong yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya kepada masyarakat untuk kebutuhan penebangan ataupun pengangkutan. Penanggulangan terhadap maraknya tindak pidana kehutanan, dilakukanlah reformulasi kebijakan hukum pidana, dari jajaran aparat penegak hukum dari penyidik Polri maupun penyidik PPNS Kehutanan sesuai lingkup tugasnya yang bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun pengadilan/hakim, yang sebelumnya mempergunakan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan sarana menjadi instrumen hukum dalam menanggulangi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana kehutanan. Dalam Undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging yang dimaksud dengan illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah. Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo , illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. Penegakan hukum pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, setelah diberlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang, hal tersebut dikenakan ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78 mengatur sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Ketentuan penjelasan pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama sanksi pidananya. Dalam rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang sebelumnya baik, dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masih banyak kelemahan sehingga tidak mampu atau tidak efektif untuk mengakomodir tindakan kebaharuan perusakan hutan dan memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau badan hukum berupa korporasi dengan permasalahan tersebut diundangkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai solusi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan dengan kebijakan formulasi hukum pidana yang lebih ketat dan tegas. Adanya berbagai kasus diberbagai daerah dimana seseorang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil membawa dan memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang dikenakan tindak pidana kehutanan, apabila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat (social deffence) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukuplah mereka yang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi atau perut diancam dengan hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam mengantisipasi tindak pidana kehutanan, menjadi sangat penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan legislatif atau formulatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana perusakan hutan, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan bagi seseorang melakukan perbuatan perusakan hutan dan sanksi atau pidana apa yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan legislatif tersebut oleh badan yudikatif. 1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada kerusakan hutan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak perbuatan pidananya. Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan pada asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak ada aturan pidananya”, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan istilah bahasa Belanda “geen straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne schuld” dalam bahasa Jerman. Asas legalitas yang berkaitan dengan tindak pidana atau aturan pidana sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat pidana atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, termasuk juga hukum pidana berkaitan dengan prosedur dan sitem pemidanaan. Dalam kasus tindak pidana kehutanan terdapat kriteria yang dapat menunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama adalah menyangkut dengan orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer, kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Perbuatan yang merupakan tindak pidana kehutan merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik atau tindak pidana yang terkait dengan penggunaan kawasan hutan, pengelolaan hasil hutan kayu dan peredaran hasil hutan serta investasi yang ada terdapat di dalamnya. a. Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang terkait Tindak Pidana Kehutanan Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) . Perbuatan pidana pada Buku II KUHP tentang Kejahatan, berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum sebagai berikut : 1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412 KUHP) Perbutan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan atau dalam tindak pidana kehutanan, berkaitan dengan pengerusakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa “setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau merusak, memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan atau luasan kawasan hutan”. Dari ketentuan tersebut konsep pemikiran tentang pengerusakan yang terdapat dalam KUHP tersebut di atas, pengerusakan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi perlindungan dan pengawasan terhadap kawasan hutan untuk tetap menjamin keutuhan kawasan dan kelestarian fungsi hutan yang berdaya guna bagi kehidupan. Umumnya tindak pidana kehutanan hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan terhadap hasil hutan, contohnya pemanfaatan hasil hutan yang diberikan izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi over atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki termasuk penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang menyalahi prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan ekosistemnya tersebut. 2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP) Kegiatan penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan pidana pencurian dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan “barang siapa mengmabil barang sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dapat dipidana”, perbuatan tersebut dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b dan c, “menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah. Dalam ketentuan perundangan yang mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan kayu, yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan berarti kegiatan kegiatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan hukum baik yang dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan ataupun dengan unsur kelalaian. Perbuatan perusakan hutan yang dilakukan berupa penebangan kayu di dalam areal kawasan hutan atau penebangan dalam kawasan hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum. Perbutan demikian merupakan mengambil suatu yang bertentangan dengan hukum atau pencurian karena bukan menjadi haknya yang seharusnya menjadi hak negara. 3. Penyelundupan Pasal 121 KUHP Perbuatan penyelundupan hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur tentang penyelundupan. Kegiatan selama ini berkaitan dengan penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak pidana pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penyelundupan hasil hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak sesuai dengan dokumen terhadap penguasaan hasil hutan. ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan, diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan pada Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana perkebunan dalam kawasan hutan dan Pasal 17 ayat 2 huruf a, b, c, d, e, Pasal 19 huruf f “mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan huttan secara tidak sah. Pada umumnya ketentuan pasal tersebut terdapat kesamaan unsu-unsur pencurian atau penggelapan yang terdapat dalam KUHP. 4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun. Dalam praktek tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah dengan melakukan pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, atau keterangan Palsu dalam SKSHH, artinya tidak terdapat kesesuaian yang terdapat dalam dokumen SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap penggunaan kawasan hutan terlebih lagi terhadap hasil hutan kayu. Perbuatan pidana Pemalsuan dalam KUHP direformulasikan kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam ketentuan Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan, menggunakan izin palsu dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri. 5. Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP) Unsur-unsur penggelapan dalam tindak pidana dibidang kehutanan atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya, penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus dalam ketetuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling “ (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo sebagai berikut : “Bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 KUHP itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- (sembilan ratus rupiah), modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil pembalakan liar illegal logging yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan jahat dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di persamakan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d, f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, menyuruh, mengorganisasi atau menggerakkan penebangan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan jahat, mendanai, mengubah status pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan, bahkan pesekongkolan dalam menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menitipkan dan/atau menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya dan/atau menyembunyikan atau menyamarkan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. b. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang dibidang Kehutanan Dalam rangka untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan atau pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perusakan hutan, terdapat berapa peraturan perudang-undangan yang mengatur ketentuan pidana kaitannya dengan perlindungan hutan, penggunaan kawasan hutan, pemanfatan hasil hutan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan eksistemnya. Peraturan perundang-undangan atau Undang-undang yang ada dibidang kehutanan sampai saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan Undang-undang ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Perbutan pidana atau tindak pidana dalam undang-undang ini, ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 dan sistem pemidanaan atau ketentuan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana lainya diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE. Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan unsur kesengajaan atau disebabkan karena adanya kelalaian, mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan hutan dan ekosistemnya. Pertama pada ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tetang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hanya khusus pada kawasan suaka alam, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Kedua perbuatan yang dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan, dan menyelundupkan hasil hutan. Ketentuan khusus berkaitan dengan hasil hutan berupa tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan diatur lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Penanggulangan tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan, selama ini telah dilakukan dengan instrumen hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diubah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal dalam penanganan serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Belum oftimalnya penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan adalah salah satunya disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, belum secara tegas sanksi pidana bagi pelakau tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi atau yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan payung hukum dalam bentuk undang-undang merupakan landasan hukum dasar agar kejahatan perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya baik, yang dilakukan oleh orang perseorangan, badan hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan kewenangannya. Kegiatan penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai dengan huruf m dan ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian besar dicabut dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, berdampak pada penangan terhadap perkara-perkara tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan. Penanganan tindak pidana kehutanan beralih dan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terkeculi pada ketentuan pasal-pasal yang tidak dicabut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, bahwa perbuatan perusakan seperti; pembalakan liar (illegal logging), pertambangan tanpa izin dalam kawasan hutan, perkebunan tanpa izin, penggunaan ataupun pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan tanpa izin. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara, baik kerugian materil dan inmateril berupa kerusakan lingkungan, terjadinya banjir, longsor yang berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi serta meningkatkan pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat nasional, regional, dan internasional. Perbuatan perusakan hutan tersebut telah menjelma menjadi suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif, terorganisir, melintasi batas-batas wilayah dan lintas negara. Kejahatan ini dilakukan dengan berbagai modus operandi, dengan kebaharuan modus yang canggih sesuai perkembangan teknologi informasi, sarana dan prasarana. Kejahatan ini tentu mengancam keberlangsungan kehidupan mahluk hidup, sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, kehidupan bermasyarakat dan bangsa. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera bagi pelaku, diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas pencegahan dan penegakan hukum. Kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasa Perusakan Hutan di dalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana kehutanan, ketentuan undang-undang ini juga diatur subjek hukum pertanggungjawaban hukum pidana, terhadap tindak pidana kehutanan adalah orang/manusia alamiah (naturlijke person) dan badan hukum atau korporasi (rechtsperson), serta pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya. Dalam penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sering kali terjadi disvaritas pidana dan dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karena itu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dianut sistem pemidanaan dengan sanksi pidana minimum khusus dan maksimum khusus. Dalam undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang, subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi. Pengaturan sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi atau badan hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari sitsem pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel : Formulasi Tindak Pidana Kehutanan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan No. Jenis Tindak Pidana Kesalahan Sanksi Pidana 1. Pasal 82 ayat (1) Orang perseorangan ; a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin. (Pasal 12 huruf a). b. melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf b ). c. melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 12 huruf c ). ayat (2) Orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan ayat (3) Korporasi Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 2. Pasal 83 ayat (1) Orang Perseorangan ; a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 12 huruf d ) b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan. (Pasal 12 huruf e) c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar. (Pasal 12 huryf h ). ayat 2 orang perseorangan ayat 3 orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) c) dan ayat (2) c ) ayat 4 Korporasi; Kesengajaan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- dan paling banyak Rp.500.000.000,- Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 3. Pasal 84 ayat (1) Orang perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Pasal 84 ayat (2) Orang perseorangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) Kelalaian Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Pasal 84 ayat 3 Orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan, pada ayat (1) dan ayat (2) Pidana penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000-, (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) Pasal 84 ayat 4 Korporasi membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) Pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000-, (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 4. Pasal 85 ayat 1 Orang perseorangan membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf g ). Kesegajaan Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Pasal 85 ayat (2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal huruf 12 g ). Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 5. Pasal 86 ayat 1 Orang perorangan ; a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara. (Pasal 12 huruf i ). b. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara. (Pasal 12 huruf j ). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 86 ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 6. Pasal 87 ayat (1) Orang perseorangan ; a. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar. (Pasal 12 k ). b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf l ). c. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 m ) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 87 ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Pasal 87 ayat 3 Orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) dan ayat (2) Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 87 ayat (4) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 7. Pasal 88 ayat (1) Orang perseorangan ; a. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Pasal 16) b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu. (Pasal 14 ) c. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 15 ) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 88 ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 7. Pasal 89 ayat (1) Orang Perseorangan : a. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (1) huruf b) dan/atau b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (1) huruf a). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) Korporasi ; Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah). 8. ’ Pasal 90 ayat (1) Orang perseorangan mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf c). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 9. Pasal 91 ayat (1) Orang perseorangan : a. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau enyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf d) dan/atau b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf e). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 10. Pasal 92 ayat (1) Orang perseorangan; a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan. (Pasal 17 ayat (2) huruf b ) dan/atau b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (2) huruf a). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah). 11. Pasal 93 ayat (1) Orang perseorangan ; a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf c). b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf d ) dan/atau c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 12. Pasal 94 ayat (1) Orang perseorangan ; a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan membalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf a). b. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan embalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf c ). c. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung. (Pasal 19 huruf d ) dan/atau d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri. (Pasal 19 huruf f ). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). 12. Pasal 95 ayat (1) Orang perseorangan : a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya. (Pasal 19 huruf g ). b. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf h) dan/atau c. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 19 huruf i ). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). 13. Pasal 96 ayat (1) Orang perseorangan : a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24huruf a). b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24 huruf b) dan/atau c. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Pasal 24 huruf c) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-(lima belas miliar rupiah). 14. Pasal 97 ayat (1) Orang perseorangan : a. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25 ) dan/atau b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan. (Pasal 26) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 15. Pasal 98 ayat (1) Orang perseorangan turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf b) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 16. Pasal 99 ayat (1) Orang perseorangan menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf e) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,-(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). ayat (2) Orang perseorangan Kelalaian Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). 17. Pasal 100 ayat (1) Orang perseorangan mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 20). Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 18. Pasal 101 ayat (1) Orang perseorangan memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi. (Pasal 21) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). ayat (2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan Pidana penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). ayat (3) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 19. Pasal 102 ayat (1) Orang perseorangan menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 22) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 20. Pasal 103 ayat (1) Orang perseorangan melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 23) Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). ayat (2) Korporasi Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). 21. Pasal 104 Setiap Pejabat yang melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Kesengajaan Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.7.500.000.000,- (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). 22. Pasal 105 Setiap pejabat yang ; a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 28 huruf a). b. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 28 huruf b). c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 28 huruf c) d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf d). e. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf e). f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak. (Pasal 28 huruf f) dan/atau g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf g) Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 22013, sebagaimana pada tabel di atas, dalam Undang-undang ini juga diatur berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana Pasal 104, dan setiap pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan pidana tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman sanksi pidana penjara minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau denda. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur pertanggungjawaban pidana adalah subjek hukum adalah korporasi atau badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin. Dalam penelitian hukum ini peneliti menemukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat adanya permasalahan norma hukum, permasalahan norma hukum di dalamnya berkaitan dengan adanya kekosongan hukum (blank of norm), adanya kekaburan norma hukum (vage of norm) dan permasalahan konflik norma hukum (conflict of norm). Permasalahan norma hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 dinyatakan bahwa ”Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 5 tersebut di atas, bahwa penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, hanya untuk perkebunan dan/atau pertambangan. Sedangkan untuk kegiatan perambahan /pengerjaan/pendudukan kawasan hutan sebagaimana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagian penggunaan kawasan hutan tidak termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana/delik pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, disisi lain tindak pidana atau delik pidana ”mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah” sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam hal kondisi demikian seperti tersebut di atas, tentu saja menimbulkan kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum sehingga akan berdampak terhadap penanganan pencegahan dan penindakan terhadap permasalahan atau kasus-kasus penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. 2. Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana kehutanan (strrafbar fait) berupa merambah kawasan hutan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf b Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tidak termasuk yang dicabut sebagaimana ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, akan tetapi ketentuan sanksi pidana atau ancaman pidananya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 112 huruf b yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan. Menurut pendapat peneliti, dari ketentuan rumusan perbuatan pidana tersebut di atas, terdapat permasalahan inkonsistensi hukum atau adanya konflik norma hukum, sehingga tidak dapat diterapkan unsur perbuatan pidana atau tidak terjeratnya para pelaku perambahan, pendudukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan asas legalitas hukum pidana dinyatakan bahwa ”tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana jika tidak ada saksi pidana yang mengaturnya” atau dalam bahasa Belanda dikenal ”nullum dillectum nulla poena sine parapie lege ponalli” atau tidak ada undang-undang yang mengatur. 3. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 ayat 3 dikemukakan bahwa Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib untuk : a. Melaporkan dan meminta izin sita, b. Meminta izin peruntukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sejak dilakukan penyitaan. c. Menyampaikan tembusan kepada kepala Kejaksaan Negeri setempat. Dari ketentuan tersebut di atas terkait dalam hal Penyidik melakukan penyitaan kepada siapa untuk barang temuan tersebut disita.?, dari ketentuan Pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat kekaburan norma hukum (vage of norm) dalam hal barang bukti temuan terhadap tindak pidana kehutanan, sehingga diperlukan penafsiran hukum dalam hal kekaburan norma hukum sebagaimana permasalahan tersebut di atas. 4. Dalam ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan bahwa ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti. Dari ketentuan tersebut setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menetapkan barang bukti untuk kepentingan publik atau sosial, siapa yang berwenang untuk menentukan peruntukan barang bukti tersebut, hal ini juga diperlukan penafsiran atau petunjuk pelaksana teknis terhadap permasalahan norma di atas. 5. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, Ayat (1) dinyatakan bahwa Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian”. Ayat (2) dinyatakan “Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial”. Ayat (3) dinyatakan “Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, apakah barang bukti sitaan dan/atau temuan yang berasal dari kawasan hutan lindung dapat dilelang dan apakah barang bukti temuan dari kawasan hutan konservasi dapat dilelang dan hanya untuk kepentingan umum atau sosial. Dalam hal ketentuan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menurut analisa dan penelitian dari peneliti, bahwa terdapat kelemahan-kelemahan dalam norma yang ada di dalamnya, permasalahan norma hukum tersebut, tentu akan berdampak pada upaya penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. 6. Dalam hal korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum, apakah apakah korporasi dapat dikenakan sanksi pidana penjara? dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, tidak diatur secara khusus berkaitan dengan korporasi sebagai subjek hukum, sehingga terdapat adanya kekaburan norma (vage of norm) di dalamnya, dalam hal tersebut diperlukan adanya penafsiran hukum. Pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi diatur dalam Pasal 18 ayat (1), bahwa selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa : a. Paksaan pemerintah b. Uang paksa; dan/atau c. Pencabutan izin. Pada umumnya permasalahan norma hukum seperti yang ditemukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, seperti diuraikan di atas solusi permasalahan norma seperti; adanaya kekosongan norma hukum, dapat dilakukan upaya penemuan humum, sedangkan berkaitan dengan adanya permasalahan konflik norma hukum adalah dengan melihat kepada asas-asas hukum untuk meyelesaikan permasalahan konflik tersebut selanjutnya dalam hal terdapat adanya kekaburan dalam norma hukum, dapat dilakukan adalah dilakukan penafsiran hukum berkaitan dengan kekaburan norma. 2. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Kebijakan (policy) pengaturan pertanggungjawaban pidana memiliki kriteria, bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban pidana yang bersifat pribadi. Dalam hukum pidana Indonesia mengenai perbuatan pidana terdapat asas hukum pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukkum Pidana (KUHP) mengatur ketentuan yang mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis”, Asas ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut dengan asas legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum. Untuk itu dalam menjatuhkan atau menerapkan suatu pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia” dari ketentuan dalam Pasal 77 KUHP tersebut terkandung suatu prinsip, bahwa penuntutan pidana harus ditujukan kepada diri pribadi orang, jika orang yang didakwa telah meninggal dunia, maka penuntutan atas tindak pidana tersebut terhenti, artinya penuntutan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Dalam teori hukum pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa asas-asas pertanggungjawaban pidana sebagai berikut : 2.1. Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability) Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul). 2.2. Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld) Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak pidana maka didasarkan pada asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas” atau “geen straf zonder schuld” Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana, sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “, “criminal responsibility” atau “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens rea”, terjemahan aslinya ialah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Asas mens rea merupakan subjective guilt yang melekat pada si pembuat. Subjective guilt ini berupa intent (kesengajaan) atau setidak-tidaknya negligence (kelalaian). Hanya perlu diketahui bahwa di Inggris ada yang disebut sebagai “strict liability” yang berarti bahwa pada beberapa tindak pidana tertentu atau mengenai unsur tertentu pada sesuatu tindak pidana, tidak diperlukan adanya mens rea. Pemisahan antara asas legalitas dan asas culpabilitas tetapi asas tersebut saling berhubungan. Konsekuensi dipisahkannya tindak pidana dengan orang yang melakukan tindak pidana adalah untuk penjatuhan pidana tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan tindak pidana, jadi meskipun perbuatannya merupakan tindak pidana namun belum tentu orang tersebut dijatuhi pidana, orang tersebut dapat dipidana apabila memenuhi syarat lainnya yaitu orang yang melakukan itu harus mempunyai kesalahan, dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Unsur-unsur dari kesalahan artinya yang membentuk kesalahan dalam arti ungkapan dasar “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” tersebut adalah sebagai berikut : 1. Mampu bertanggungjawab 2. Mempunyai unsur kesengajaan atau kealpaan dalam hubungan dengan dilakukannya tindak pidana. 3. Tidak adanya alasan-alasan yang memaafkan bagi pembuat atau pelaku dalam melakukan tindak pidana. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian pula urut-urutan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu, pengertian dan sekaligus perbedaan antara unsur kesengajaan dan kealpaan menurut Roeslan Saleh yaitu ; “Unsur kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh aturan perundang-undangan. Baik unsur cognitif maupun unsur volitif merupakan ciri unsur kesengajaanan. Jadi baik kehendak maupun pengetahuan, sedangkan Kealpaan adalah tidak hati-hati atau kurang memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang adalah terlarang”. Perumusan pertanggungjawaban pidana ini tidak ada di dalam KUHP dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum pidana. Dalam rancangan Konsep KUHP Tahun 2004, pertanggungjawaban pidana dirumuskan dalam Pasal 34 yang berbunyi “pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”. 2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability Asas pertanggunjawaban vicarious liability diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi adalah sebagai berikut : 1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya. 2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi, dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga merupakan tindakan kehendak dari korporasi. Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban pidana, sehingga korporasi tidak dapat disamakan dengan model pertanggungjawaban vicarious liability. Perbedaan per-tanggungjawaban korporasi enterprise liability dengan vicarious liability dapat dilihat pada direktur adalah identik dengan korporasi sehingga dikatakan bahwa tindakan direktur itu juga merupakan tindakan dari korporasi asal tindakan yang dilakukan oleh direktur adalah masih dalam ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan korporasi yang dipimpinnya. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif. Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut : a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. a. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu, tidak mampu. b. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur kehilangan atau kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang karenanya pemidanaan bukan merupakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan. 3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punishment Syistem) Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem pemidanaan terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut fungsional dan dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana atau keseluruhan sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Dilihat dari sudut norma-substantif merupakan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Pengertian demikian, keseluruhan peraturan perundang-undangan rules hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari aturan umum dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus yang diatur di luar KUHP . Sumber hukum yang disusun melalui sistem kodifikasi dalam KUHP tidak hanya kumpulan peraturan hukum pidana atau norma-norma hukum pidana, akan tetapi memuat juga asas-asas hukum pidana, dengan demikian KUHP sebagai sumber hukum yang berlaku secara umum untuk semua perbuatan yang diatur dalam perundang-undangan lain, sepanjang tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan lain tertentu. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2 Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64 . Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie berlaku berdasarkan asas konkordansi kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau penambahan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, setelah diadakan perubahan dan/atau penambahan yang disesuaikan dengan kedudukan dan keadaan Indonesia yang sudah merdeka sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagai berikut : a. Pasal V menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian yang sekarang idak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku. b. Pasal VI menentukan bahwa Nama Undang-Undang Hukum Pidana Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, Strafrecht yang kemudian disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dikenal KUHP. c. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai salah satu sumber hukum pidana di Indonesia, memiliki sifat yang statis jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Artinya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP seringkali tidak dapat diterapkan pada peristiwa atau perbuatan tertentu dalam perkembangan masyarakat. Sistem pemidanaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana van Strafrecht sangat sederhana dan berhati-hati, karena pada waktu itu belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri Kehakiman Modderman mengatakan bahwa asas darimana pembuat Undang-undang bertolak adalah bahwa hanya boleh dipidana terutama sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah dengan syarat bahwa pelanggaran hukum terjadi, apabila menurut pengalaman mengingat keadaan tertentu dalam masyarakat, perbuatan itu tidak dapat ditahan sepantasnya dengan sarana lain. Ancaman dengan pidana harus tetap sebagai suatu “ultimatum remidium” . Dalam memilih pidana pembuat Undang-undanag membatasi diri, dan memilih sistem pemidanaan yang sangat sederhana dengan menganggap hal ini sebagai keuntungan besar. Dalam memori penjelasan dikatakan lebih sedikit pidana, lebih mudah untuk membuat perbandingan dari pidana dan tanpa perbandingan seperti itu tidak mungkin menjatuhkan pidana yang sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dalam hal sebab-sebab dalam individu dan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya berbagai macam kejahatan. Keuntungan dari sistem pemidanaan yang sederhana seperti yang dianut dalam KUHP adalah Pertama, sebagai keluwesan bagi pembuat Undang-undang untuk mengancamkan jenis pidana yang telah ditentukan pada suatu tindak pidana tertentu baik secara tunggal ataupun secara alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal yang bersangkutan. Kedua, dalam pidana diancamkan secara alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan pidana yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan . Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti yakni penetapan sanksi pidana dalam Undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang beruhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan kejahatan yang dilakukan, dengan demikian, tidak dipakai sistem individualisasi pidana. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan dalam pasal 50 bahwa “pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak menghapus pidana pelaku perusakan hutan”. a. Jenis-jenis pidana Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas : a. Pidana Pokok : 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Kurungan 4. Denda b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim. Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaian, melingkupi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa manusia alamiah (naturlijke person) ataupun sebagai badan hukum atau korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, diantaranya berupa : 1. Perorangan 2. Korporasi atau Pejabat Pemerintah Kesemua ketentutuan pidana ini tidak terlepas dari aturan hukum pidana pada umum (KUHP), bahwa ketentuan pidana lebih khusus diberlakukan sebagai cara untuk menanggulagi tindak pidana dalam kehutanan, melingkupi kebijakan hukum administrasi, hukum perdata atau keperdataan berkaitan dengan korporasi. Kebijakan menanggulangi kejahatan merupakan organisasi rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakkan hukum. Hal ini memudahkan bahwa hukum perdata dan administrasi menduduki tempat yang sama sebagai instrumen pencegahan kejahatan yang tidak bersifat pidana (non crimininal legal crime prevention). Dalam hubungan ini pembagian dalam ragam ilmu pengetahuan mengikuti sifat kriminologi. Kebijakan kriminal berwujud baik pengetahuan maupun sebagai penerapan (aplikatif). Kebijakan penegakan hukum dan legislatif merupakan bagian dari kebijakan sosial. b. Syarat Pemidanaan Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of inosance), kesalahan diartikan sebagai telah melakukan tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Menurut pendapat peneliti, kebijakan hukum pidana merupakan syarat pemidanaan sebagai bentuk kebijakan reformulasi tindak pidana dimasa yang akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Sebaiknya dirumuskan secara tegas dalam pasal-pasal mengenai tindak pidana kehutanan kehutanan, seyogyanya rumusan mengenai tindak pidana kehutanan tersebut adalah ”serangkaian perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan hutan tanpa adanya ijin dari pejabat yang berwenang.” 2. Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana adalah setiap perbuatan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan hutan baik langsung maupun tidak langsung. c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak pidana kehutanan dibedakan terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada disekitar kawasan hutan, badan hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas sesuai kewenangannya. Dengan dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi, ini berarti harus ada ketentuan khusus terkait dengan permasalahan : a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana. b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan. d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi. Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orang-perorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman sanksi pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum atau sistem relatif sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional a. Formulasi hukum pidana dalam racangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan nasional, masyarakat, dan individu dalam negara Republik Indonesia berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 : 732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU KUHP) Nasional dilakukan adalah : 1. Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua yang memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diakui pula adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa “Kewajiban Adat” yang harus dipenuhi oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2. Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah (naturlijke person) tetapi mencakup pula manusia hukum atau badan hukum (rechtsperson) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja. 3. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU KUHP) ini diatur mengenai jenis pidana yang berupa : 1) pidana pokok, 2) pidana mati, dan 3) pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok terdiri atas ; a. Pidana penjara; b. Pidana tutupan; c. Pidana pengawasan; d. Pidana denda; dan e. Pidana kerja sosial. Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, sebab dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Demikian pula masyarakat dapat berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana penjara. Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. 4. Di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan. Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau degradasi mental. 5. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, dianut sistem pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana minimum khusus. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan : a. Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya; b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; c. Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. 6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran menggunakan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu. 7. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, pengaturan mengenai jenis pidana dan pemidanaan secara khusus terhadap anak dikaitkan karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak. Dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini terdapat beberapa jenis tindak pidana baru yang disesuaikan dengan perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat, antara lain mengenai tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court), pencucian uang (money laundering), dan mengenai terorisme. Mengenai penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (Contempt of Court) tidak dikelompokkan dalam satu bab tersendiri, melainkan pengaturannya tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus yang merumuskan tindak pidana tersebut. Seirama dengan lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang tersendiri. b. Formulasi Hukum Acara Pidana dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diinginkan harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang terkandung sebelumnya, misalnya asas : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan; 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang; 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap; 4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman disiplin; 5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen pada seluruh tingkat peradilan; 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya; 7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan advokat; 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang; 9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang; 10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial); dan 11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat peradilan. Dalam KUHAP ini dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya kepastian hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula bahwa ruang lingkup hukum acara pidana untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, kaitannya dengan pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya hukum acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan perkembangan hukum, terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selain perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga diperluas tidak hanya pejabat kepolisian, melainkan antara lain Pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik lembaga atau badan, yang ditetapkan dalam rancangan KUHAP yang diberikan kewenangan menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, undang-undang lain tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan pejabat penyidik tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk kepastian hukum dan menghindari tumpang tindih kewenangan penyidikan dikemudian hari oleh suatu undang-undang yang mengaturnya. Keberadaan pegawai negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS, tetap diberikan kewenangan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya, tetapi dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas dan fungsi yang secara teknis memerlukan keahlian tertentu atau spesifik. Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini penyidik pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya. Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ditiadakan, misalnya, kewenangan prapenuntutan penuntut umum; kewenangan penangkapan dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan penahanan kota (konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa perpanjangan penahanan karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni dengan memberikan kewenangan masing-masing instansi yang melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Keberadaan Rupbasan tersebut pada awalnya dikehendaki untuk secepatnya melaksanakan KUHAP, namun dalam perjalanannya banyak mengalami kendala, di samping juga belum tersedianya sarana dan prasarana. Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, dengan ketentuan bahwa waktu penangkapan diperhitungkan setelah yang bersangkutan berada dalam tempat pemeriksaan, bukan pada saat ditangkap. Waktu penahanan pada semua tingkat peradilan diubah menjadi 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sehingga keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh penyidik sampai tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300 (tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh melebihi ancaman pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya dijamin dengan uang dan syarat serta besarnya jaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai rujukan atau acuan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, KUHAP ini secara umum mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor, pengadu, saksi, dan korban sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat. Bantuan hukum dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Advokat. Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam berhubungan dengan tersangka atau terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, dan petugas rutan. Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk menolak bantuan hukum. Ditentukan pula mengenai terdakwa yang berhak untuk banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat). Untuk menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, ditentukan lembaga baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga “hakim komisaris”. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga praperadilan). Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer menentukan lain. Demikian secara ringkas ketentuan-ketentuan dan pembaharuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional dimasa mendatang. c. Lembaga atau Instansi lain yang berwenang menangani Tindak Pidana dibidang Kehutanan Dalam penanganan tindak pidana dibidang kehutanan, terdapat berapa instansi/lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakan hukum dibidang kehutanan. Beberapa institusi/lembaga yang ada dan diakui oleh Undang-undang diantaranya adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polisi Kehutanan/PPNS, Kejaksaan, Pengadilan dan Satuan Pengamanan Kehutanan (SPK) pada badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta yang mengelola kehutanan dan termasuk juga Tentara Nasional Indonesia (TNI), khusus dalam melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan atau dari perbuatan perusakan hutan. Lembaga atau instansi yang diberikan kewewenangan diantaranya : a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ; 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum dan, 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum atau kejahatan, termasuk penanganan tindak pidana khusus/tertentu. Penegakan hukum dilakukan meliputi upaya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus yang diatur dalam Undang-undang Khusus. b. Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan PPNS Kehutanan Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat strategis dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya hal ini melahirkan fungsi-fungsi dalam usaha pengelolaan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Kebutuhan akan sumber daya alam bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat mutlak dibutuhkan, upaya untuk melestarikan sumber daya alam, mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Usaha untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan menjadi tugas khusus . Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) sebagai bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan. Pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando. Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada ketentuan Pasal 6 ayat 1 Penyidik adalah dimaksud huruf : a. Pejabat Penyidik Polri dan, b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Sementara dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pasal 1 ayat 17 Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penegakan hukum seyogyanya dapat dilakukan maksimal dengan adanya komitmen yang sama, adanya sinergitas dan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Upaya penanggulangan tindak pidana kehutanan dengan penegakan hukum melalui kegiatan persuasif dan represif. Kegiatan represif melalui penegakan hukum dengan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan persidangan merupakan sistem peradilan pidana yang terpadu (Integreted Criminal Justice Syistem) dalam sistem peradilan pidana Indonesia. c. Kejaksaan Republik Indonesia Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1 kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ; a. Melakukan penuntutan, b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas bersyarat. d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan penyidik. Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi. d. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Meskipun tugas utama TNI adalah sebagai institusi yang berfungsi sebagai lembaga pertahanan yang menjaga kedaulatan negara dari segala macam bentuk ancaman yang datangnya baik dari dalam maupun dari luar negeri, namun khusus dalam hal kejahatan atau tindak pidana dibidang kehutanan keterlibatan TNI sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan tentu dapat dilakukan. Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai berikut ; a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic Mission. b. Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap terjadinya penebangan liar illegal logging diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan tropis Indonesia. Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat penyidik pegawai negeri sipil, peyidik kejaksaan terkait dengan tindak pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya. BAB III KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (LP3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN 1. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan asas-asas hukum yaitu, dengan memperhatikan keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan. Dalam penggulangan pencegahan dan penegakan hukum, masyarakat mengharapkan kemanfaatan, dan adanya kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan semaunya, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dan tercapainya keadilan. Amanat yang ada dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa; dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pembentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan, lembaga dimaksud dibentuk dan berkedudukan sebagai berikut : a. Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. b. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, pembentukan lembaga pemberantasan perusakan hutan memiliki peranan yang strategis dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan karena lembaga ini berkedudukan di bawah presiden, memiliki struktur, tugas dan fungsi serta kewenangan. Selain itu lembaga P3H, ini memiliki fungsi koodinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana perusakan hutan. b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan, kerjasama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan terintegrasi . Upaya untuk dapat mengoptimalkan pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik. Peran strategis lembaga pencegahan pemberantasan perusakan hutan sebagai institusi atau lembaga dalam penanggulangan perusakan hutan dengan tugas dan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan termasuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penaganan perkara tindak pidana perusakan hutan. sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, lembaga Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan (P3H) memiliki tugas, fungsi dan kewenangan adalah sebagai berikut ; a. Melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam pemberantasan perusakan hutan. b. Mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial. Pelaksanaan tugas dan pertanggujawaban terhadap tugas serta kewenangan lembaga pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, ditentukan sesuai ketentuan dalam Pasal 57 dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 dinyatakan bahwa lembaga/badan P3H dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga dimaksud melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. Selanjutnya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan, terdapat pengawasan melekat yang dilakukan oleh deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, selain itu bertanggungjawab kepada presiden dan melaporkan hasil kerja kepada dewan perwakilan rakyat, hal ini akan menjamin pengawasan, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas kerja pemberantasan perusakan hutan. 2. Struktur Kelembagaan dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan P3H Struktur pelaksanaan tugas kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal dan beberapa orang Deputi. Dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab lembaga dimaksud. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan dengan bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut : a. Bidang Pencegahan b. Bidang Penindakan c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan. Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dengan organ dalam organisasi tersebut dapat melakukan kegiatan pencegahan, penindakan atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan, melakukan kerjasama antar lembaga penegak hukum dan melakukan pengawasan internal untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Keberadaan lembaga P3H dan kewenangan yang diamanahkan Undang-undang kepada lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan menjadi harapan untuk dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan hutan secara sistematis dan konprehensif. Kegiatan penanggulangan perbuatan perusakan hutan tentu dapat dilakukan dengan maksimal jika didukung perangkat sumber daya manusia, budaya hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang responsif dan progresif. b. Unsur-unsur dalam kelembagaan P3H Dalam penanganan penanggulangan dan pencegahan tindak pidana perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur antara lain : a. Unsur Kementerian Kehutanan Republik Indonesia b. Unsur Kepolisian Republik Indonesia c. Unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan d. Unsur lain yang terkait. Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Selanjutnya struktur dalam lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan komposisi yang konprehensif dalam pelaksanaan penanganan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, hal ini tentu akan mempermudah kerja-kerja dan efektifitas dalam mempermudah koordinasi dan supervisi dalam penanganan tindak pidana kehutanan. 3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagimana disebut sebagai kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh Undang Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undang-undang. Undang-undang yang memberikan amanat kewenangan pada Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Pesusakan (LP3H) merupakan kewenangan bersumber langsung dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, untuk melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dari berbagai pola tindak pidana perusakan hutan dengan kondisi kerusakan hutan yang terjadi dan lemahnya penegakan hukum terhadap tindakan atau perbuatan perusakan hutan. Dasar yang menjadi kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) adalah memiliki tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas (taks force) sebagai unsur pelaksana, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1, bahwa lembaga yang menangani Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 1 bertugas sebagai berikut : a. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan; b. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara perusakan hutan; c. Melaksanakan kampanye anti perusakan hutan; d. Membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi; e. Memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantsan Perusakan Hutan diberikan kewenangan berdasarkan ketentuan yang diberikan langsung oleh Undang-undang. Amanat yang diberikan untuk melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, terhadap tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ditentukan pada ketentuan Pasal 55 ayat 4 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana. Dalam pelaksanaan tugas, unsur pelaksana dalam ketentuan di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaksana satuan tugas yang dilakukan satuan tugas (taks force) dalam melaksanakan pemberantasan perusakan hutan yang bersifat strategis memiliki kewenangan dari penyelidikan sampai dengan penuntutan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga dan/atau deputi. 1. Ruang lingkup Tugas dan Fungsi 1.1. Pencegahan Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana (non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban membuat kebijakan berupa : a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan; b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan; c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan; d. Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Sesuai pada ketentuan terkait pencegahan perusakan hutan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan “Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan. Bahwa partisipasi seluruh komponen masyarakat memiliki hak dalam melakukan usaha pencegahan terhadap kerusakan hutan. Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya adalah dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan termasuk melakukan kampanye anti perusakan hutan. Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. Kegiatan atau upaya pencegahan perusakan hutan yang dilakukan seperti tersebut di atas, adalah temasuk juga upaya pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana diantaranya juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum administrasi negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan pemanaatan hasil hutan, guna untuk pencegahan perusakan hutan. 1.2. Penindakan atau Penegakan Hukum Dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan dengan cara menindak secara hukum atau penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Menyatakan bahwa ; “Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, dalam hal melakukan 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu; Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan terhadap Perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana yang dilakukan terhadap hutan, kawasan hutan dan peredaran hasil hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. Penindakan atau penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku melalui tindakan secara hukum meliputi rangkaian proses penegakan hukum yang meliputi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Proses hukum terhadap tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan bahwa perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya. 1. Penyelidikan dan Penyidikan 1.1. Penyeledikan Rangkaian proses penyelidikan merupakan tahapan awal proses perkara pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan penyidikan, dengan penyelidikan penyelidik dapat memberikan informasi data dan fakta yang akurat kepada penyidik sehingga penyidik dapat segera menentukan sikap apakah dapat dilakukan penyidikan, ditunda atau tidak perlu dilakukan penyidikan, kemudian dari hasil penyelidikan penyidik telah memiliki persiapan yang matang untuk melakukan tindakan penyidikan, sehingga semaksimal mungkin akan dapat dihindari kesalahan dalam penggunaan tindakan upaya paksa yang berakibat proses praperadilan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini . Berkaitan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Proses penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari peyelidikan, penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, proses hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana terpadu yang dikenal dengan istilah (integreted criminal justice syistem), tahapan-tahapan dalam proses hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ; 1.2. Penyidikan Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation) tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan. Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam ketentuan Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang dapat melakukan Penyidikan adalah pejabat Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sementara dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang untuk sebagai berikut : a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan. e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Wilayah Kepabeanan. Berdasarkan pada jenis, karakter dan sifat kekhususan dari tindak pidana perusakan hutan, seluruh penyidik PPNS memilki kewenangan yang sangat luas, hal ini diharapkan dapat memaksimalkan upaya penanggulangan dalam melakukan pencegahan maupun pemberantasan terhadap perusakan hutan. Rangakaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 dinyatakan bahwa “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait”. Selanjunya pada ketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bahwa penyidik berwenang untuk meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk dalam hal melakukan : a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau b. Meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan perusakan hutan. Dalam proses penegakan hukum (law enforcement proces) dan pembuktian suatu tindak pidana kehutanan terhadap tidak terlepas dari alat bukti yang cukup untuk menentukan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan ditentukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, alat bukti lain ditentukan sebagai alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau b. Alat bukti lain berupa : 1. Informasi elektronik 2. Dokumen elektronik; dan/atau 3. Peta. Kekhususan lain juga terdapat dalam Pasal 35 ayat 1 dinyatakan bahwa; untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Pada ayat 4 dalam hal permintaan keterangan kepada Bank terkait keuangan tersangka atau terdakwa; penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada Bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan berlangsung. Selanjutnya tindakan penyidik yang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan, sesuai dengan tahapan ketentuan beracara dan memenuhi telah memenuhi syarat formil dan materil dalam peraturan perundangan. Sedangkan upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan dilakukan dimulai dengan penangkapan, penahanan penyitaan dan penggeledahan sampai dengan pelimpahan perkara beruapa pelimpahan tersangka dan barang bukti tindak pidana kehutanan kepada jaksa selaku penuntut umum. 2. Penuntutan Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai penuntut terhadap perkara tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus juga dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya di ketentuan Pasal 137 dijelaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan delik atau tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpakan perkara pada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain jaksa diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrahts) sebagai eksekutor. Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang penuntut umum adalah sebagai berikut : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini. j. Melaksanakan penetapan hakim. Sementara itu, di dalam ketentuan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, diatur bahwa untuk mempercepat penyelesaian tindak pidana perkara perusakan hutan . penyidik, penuntut umum wajib untuk melakukan : a. Penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikandan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari; b. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari; c. Penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai penyidikan; d. Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan e. Instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan pengukur kayu yang diminta penyidik dengan mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan. Berdasarkan dari ketentuan tersebut di atas dalam proses penyidikan dan penuntutan terdapat proses percepatan terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan, hal ini terlihat dari adanya ketentuan mengatur jelas dan satu kesatuan yang konprehensif dalam penanganan perkara perusakan hutan. Bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik penuntut umum atau hakim pada Pasal 36 berwenang untuk : a. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait. b. Meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan tersangka. c. Meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri. d. Menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang dan/atau e. Meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. Dari kewenangan tersebut di atas diatur dengan tegas dan jelas, bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim dalam penanganan perkara perusakan hutan, dalam hal tersangka atau terdakwa dapat meminta data kekayaan, perpajakan dan keuangan kepada lembaga terkait dan kepada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), melarang seseorang untuk berpergian ke luar negeri, menetapkan sebagai tersangka dan meminta pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya kepada pimpinan atau atasanya dalam hal berkaitan dengan adanya dugaan melakukan tindak pidana kehutanan atau telah melakukan perbutan perusakan hutan. 3. Persidangan di Sidang Pengadilan Proses persidangan merupakan proses pemeriksaan dan pembuktian yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam penanganan perkara pidana secara hukum (litigasi). Tahapan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses peradilan, karena sebagai institusi lembaga pengadilan merupakan institusi/lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk menyatakan dan memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya berdasarkan hukum dan sesuai dengan peraturan-perundangan yang belaku. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa atau penuntut umum adalah : a. Apakah benar suatu peristiwa telah terjadi b. Apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi d. Siapakah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Dalam proses persidangan pembuktian merupakan penentu berhasil tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak pidana atau terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan keputusannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan alat bukti sebagai berikut : a. Alat bukti Keterangan Saksi b. Alat bukti Keterangan Ahli c. Alat bukti Surat d. Alat bukti Petunjuk e. Alat bukti Keterangan Terdakwa Berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan bahwa terdakwa bersalah, telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya . Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam ketentuan lain Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, ditentukan Alat bukti lain dalam perkara perbuatan perusakan hutan ditentukan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan alat bukti lain adalah sebagai berikut : 1. Informasi elektronik 2. Dokumen elektronik, dan/atau 3. Peta. Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditentukan juga alat bukti dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan. Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum dengan tindak pidana kehutanan. 1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Mekanisme pemeriksaan terhadap perkara perusakan hutan di sidang pengadilan pada Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan pada ayat 2 Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau kuasanya. Selanjutnya pada ayat 3 terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan upaya hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan dijatuhkan, diumumkan, atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dinyatakan dalam Pasal 52 bahwa pemeriksaan terhadap perkara perusakan hutan ditentukan pada : ayat (1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum. ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal, dimohonkan banding, perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Ayat (3) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi, perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Menurut pendapat peneliti, dalam penanganan perkara tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dengan dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, mereformulasikan perbutanan pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan hutan dan mengamanhkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), terdapat upaya konprehensif dan percepatan dalam penanganan tindak pidana perusakan yang terintegrasi, sehingga menjamin adanya kepastian hukum, tercapainya kemanfaatan dan keadilan. 2. Hakim Pemeriksa Perkara Perusakan Hutan Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara perusakan hutan, komposisi hakim dalam pemeriksaan perkara perusakan hutan memiliki kekhususan, dalam hal ini disebabkan sifat dan karakter dari tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan yang teroganisir, menimbulkan kerugian negara dan berdampak luas tehadap berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan. Dalam pemeriksaan di persidangan hakim pemeriksa terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc , sebagai pemeriksa yang mengadili tindakan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan harus benar-benar memiliki profesionalisme dan integritas, pemeriksaan perkara tindak pidana perusakan hutan sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan bahwa : 1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua orang hakim ad hoc. 2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara perusakan hutan. 4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada masyarakat. Penanganan perkara dan hakim pemeriksa dalam proses peradilan dalam penanganan perkara perusakan hutan berbeda dengan penanganan perkara pada pemeriksaan perkara umum lainnya. Pemeriksaan perkara pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan dilakukan oleh hakim karier dan hakim ad hoc. Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara di sidang peradilan, pemeriksaan perkaranya dilakukan dengan komposisi hakim pemeriksa 1 (satu) orang hakim karier dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Ketentuan dalam pengangkatan hakim ad hoc diajukan oleh Mahkamah Agung ke Presiden setelah diumumkan kepada masyarakat. Pengaturan berkaitan dengan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc dalam penanganan perkara perusakan hutan, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Warga Negara Indonesia. 2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan. 4. Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dalam bidang kehutanan. 5. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih. 6. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela 7. Cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik. 8. Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan 9. Melepaskan jabatan struktural dan jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc. Proses penanganan perkara di pengadilan merupakan benteng terakhir keadilan, maka dalam proses mengadili perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan para hakim harus memiliki keahlian, berpengalaman dibidang kehutanan dan tidak melakukan kolusi dan korupsi. Profesionalisme aparat penegak hukum baik; penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H). Hakim yang akan dibentuk untuk memeriksa perkara tindak pidana perusakan hutan di persidangan, yang berasal dari hakim karier maupun hakim ad hoc, menjadi harapan dalam upaya untuk mewujudkan perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. 4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional Peran serta masyarakat diatur juga dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, tugas fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan meliputi; kewenangan Pencegahan dan Penindakan atau Penegakan Hukum serta kewenangan lainya. Pada BAB VI diatur juga peran serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan Pemberantasan perusakan hutan, dimana mengatur hak dan kewajiban, termasuk perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, perlindungan hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses peradilan sebagai saksi pelapor, saksi, saksi ahli sesuai peraturan perundang-undangan. Lembaga P3H ini, memiki tugas dan fungsi sebagaimana yang ditentukan pada BAB VII, Lembaga P3H dapat melakukan kerjasama internasional dengan negara lain dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga kepentingan nasional. Kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat dilakukan dalam bentuk : a. Kerja sama bilateral b. Kerja sama regional atau b. Kerja sama multilateral. Dalam melakukan kerjasama pemerintah atau lembaga P3H, dapat dilakukan dengan melakukan suatu perjanjian. Dalam hal perjanjian belum ada, kerjasama dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik resiprositas . Pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, kerja sama internasional dalam rangka pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan dalam hal : a. Manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan; b. Kerja sama konservasi dan restorasi kawasan hutan; c. Pemberdayaan masyarakat; dan d. Pemerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi legalitas kayu yang diakui secara internasional. Kerjasama internasional tersebut dalam rangka mencegah perdagangan dan/atau pencuian kayu tidak sah, kerjasama internasional dalam pengelolaan hutan. Kerjasama internasional yang dilakukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara perusakan hutan, pemerintah dapat melakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kerjasama internasional dalam rangka penyelidikan dilakukan melalui kerjasama interpol negara masing-masing negara. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN C. KESIMPULAN Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat diajukan kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian dimaksud adalah : 1. Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai dengan maksimum khusus. 2. Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) adalah bersumber dari kewenangan yang diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk, kedudukan, ruang lingkup kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55, 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan pemberantasan atau penindakan. Tugas dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat, partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye anti perusakan hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan lembaga P3H, melalui penegakan hukum (law enforcement) melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan, diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga, memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana kehutanan. D. S A R A N Ber dasarkan hasil penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Dari kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan baik, pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Ketentuan norma berupa jenis tindak pidana, subjek hukum pertanggungjawaban pidana, sistem pemidanaan dan hukum acara sendiri dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diperlukan adanya penyempurnaan dan harmonisasi, sehingga menjadi norma yang efektif, responsif dan sesuai dengan semangat pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khusunya kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan diharapkan dapat mengakomudir kepentingan negara dan masyarakat dalam hal perlindungan masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social welfare) bagi masyarakat. 2. Kewenangan yang diamanahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga P3H memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan, bahwa konflik antar lembaga atau instansi yang berwenang dapat dilakukan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan terkait kewenangan dan/atau koordinasi antar pimpinan dan dapat dilakukan kesepahaman bersama memoradum of understanding (MOU) antar pimpinan lembaga-lembaga terkait untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga yang berwenang. DAFTAR PUSTAKA A. Buku – Buku Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 2006. Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence) termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Kharisma Putra Utama, Jakarta), 2009. Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Penyalahgunaan Komputer, (Universitas Atmajaya Yogyakarta), 1999. Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta), 2003. ______________, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (PT. Rineka Cipta, Jakarta), 1996. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta), 2012. Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Arikha Media Cipta, Jakarta), 1995. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang), 2000. _______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 2002. _______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), 2002. ________________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Balai Penerbitan Undip, Semarang), 1996. _______________ , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 2005. Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Ghalia indonesia, Jakarta), 1998. Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan Pendekatan Anti Pencucian Uang, (Center for International Forestry Research CIFOR, Jakarta), 2005. Darmono, Pengenyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan Hukum, Studi kasus ketetapan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atas nama Dr. Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, (Solusi Publishing, Jakarta), 2013. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, cet., Kelima, (Gramedia Pustaka Utama), Jakarta, Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Alfa Beta, Bandung), 2007, hlm. 3 Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) – Kementerian Kehutanan RI, Jakarta), 2010. Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence Dalam Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan Dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta), 2003. H.B Sutopo, Metode Penelitian Hukum Kualitatif II, (Universitas Negeri Semarang Press, Surakarta), 1998. IGM. Nurdjana, et. al., Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, cet. III, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), 2008. J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan HASNAN, cetakan kedua, (Binacipta, Bandung), 19887. Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), Jakarta, 2006. J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya Bhakti), 2011 Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The Phylosophy of Law an Introduction To Jurisprudence, (Totowa NJ, Rowman & Allenheld), 1984. Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 1999 Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, (Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta), 1999. ______________, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1989. Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang), 2005. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Ghalilia Indonesia, Jakarta), 1986. Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-pokok pikiran Revis Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, (CV. Arti Bumi Intara Yogyakarata), 2011. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung), 1996. ______________, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Genta Publishing, Yogyakarta), 2010. S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Alumni AHAEM - PETEHAEM, Jakarta), 1986. Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, edisi 1., cet. 10 (PT. Raja Grafindo, Jakarta), 2011. Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 1996. _______________, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Rineka Cipta, Jakarta), 2005. Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di Bidang Kehutanan, cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta) 2012. Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan di Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan-Indonesia), 2005. Sukaradi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atmajaya, Yogyakarta), 2005. Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Ghalilia Indonesia, Jakarta), 1973. Anonim, Seri Hukum dan Perudangan KUHAP dan KUHP, (SL Media, Jakarta), 2014. _______________, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade), 2008. ______________, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan, (Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian Office, Jakarta), 2013. B. Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I, II, III dan IV. b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional, terakhir Tahun 2013 d. Udang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diubah Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. g. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara h. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. i. Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Desertasi, Thesis, Jurnal dan Makalah Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum Khusus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi Program Studi Doktoral Universitas Brawijaya), Mei 2014. Dila Romi Aprilia, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Illegal Loging, (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia), 2012. I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani, Penegakan Hukum Kehutanan dalam Rangka Antisipasi Dampak Climate Change di Indonesia, (Seminar Nasional Program Studi Strata dua (S-2) Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Semarang), September 2008. Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan Kegiatan Polisi Kehutanan Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta, 2012. Andi Pramaria, Makalah bahan seminar dan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan di NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram, Maret 2015. d. Internet dan Media M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal, 18 juni 2009 jam 10.00 wita ________________,Hukum Kehutanan dan Tata Usaha Kayu, http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal 5 Desember 2014. http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia, diakses pada tanggal 10 Januari 2015, jam 11.00 wita. ________________, Ketentuan legaliatas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar, http://blogkonservasi.blogspot.com., diposting pada tanggal 20 Desember 2013, jam 15. 00 wita. http://ugm.ac.id, Pemerintah segera menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tentang Hutan Adat, diposting pada tanggal, 21 Februari 2014, jam 12.40 wita. Romli Atmasasmita, Pengertian dan tujuan hukum, http://statushukum.com, diposting pada tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.